Dari Abu Lahab Murokab, Gatoloco, Hingga Jahiliyah Digital

Buku stensilan Gatolotjo

Buku stensilan Gatolotjo

Foto: Muhammad Subarkah
Kisah tentang jahilyah dunia literasi dan digital.
Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Bila hari ini Emha Ainun Nadjib bicara lugas di tayangan Youtube mengenai fenomena kontroversi penghinaan agama seraya mengatakan tak peduli apa itu 'abu rokok, abu duda, atau abu-abu' lainnya, memang tak terlalu mengherankan. Ini karena beberapa tahun silam 'budayawan dari Yogyakarta' itu sudah bicara yang hampir senada.

Apa yang dikatakan Emha, intinya pun sekarang tak ada yang berbeda dengan apa yang nyatakannya kala itu, yakni pada Sabtu dini hari di depan masa pengajian ‘Kenduri Cinta’ yang memadati pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Di depan masa pengajiannya yang sudah dia gelar selama lebih dari 20 tahun itu, Emha secara terbuka menyindir situasi sosial yang terjadi pada masa sekarang atau yang akrab disebut sebabagi generasi milenial atau generasi ‘zaman now’.

Emha mengungkapkan kemirisan hatinya karena melihat langsung betapa zaman ini sudah begitu ‘gila’ membanalkan nilai dan ajaran yang diyakini kaum Muslim. Di media sosial, asma Allah dan Rasullah SAW sudah secara terbuka dijadikan bahan pelecehan.

Menurut Emha, di zaman inilah Allah dan Rasulnya secara terbuka dihinakan secara luar biasa. Kedua sosok itu secara vulgar ditulis dan dipublikasikan seraya menyebut alat kelamin dan laku persetubuhan. Perilaku ini tak pernah ada dalam sejarah Indonesia dan Nusantara.

“Dan di zaman inilah Allah dan agama Islam dan umatnya ini tidak dibela. Namun, pada saat ini juga ada orang yang dibela secara luar biasa, tanpa malu tanpa ragu, seolah orang itu adalah mahluk luar biasa dan segala-galanya serta kini telah menjadi sesembahan barunya,’’ lanjut Emha.

Ironisnya, lanjut Emha, di zaman jahilyah dahulu ada sosok Abu Lahab yang menjadi penentang utama dakwah Nabi Muhamamd SAW. Dia tidak pernah melakukan perilaku penghinaan dan penistaan semasif dan sekasar seperti sekarang ini. Maka, jelas sekali kini telah lahir sosok Abu Lahab kuadrat (Abu Lahab Murakab, bahasa Arabnya, red).

“Jadi zaman ini memang bisa disebut zaman ultrajahilyah!’’ kata Emha menandaskan. Bahkan, katanya, bisa saja dirinya kini mulai merasa putus asa dengan Indonesa, tapi pihaknya pada saat yang sama tidak pernah merasa putus asa terhadap pertolongan Allah SWT.

Renungan itu terasa keras menggedor kesadaran. Di media sosial orang terlihat dengan gampang memaki apa saja yang dianggap suci oleh Muslim. Tak ada ragu dan menganggap hal itu absah karena dianggapnya negara ini tak butuh dengan agama, termasuk tak membutuhkan dukungan umat Islam.

Harus diakui pula, banyak di antara mereka yang suka mengunggah pernyataan tak beradab di media sosial terindikasi punya sakit kejiwaan, minimal adalah wong edan ora konangan (orang gila tapi tak ketahuan, red).

 
Mereka kadang teriak seraya menujuk kepada orang lain bahwa 'agama dan Tuhan tidak peru dibela'. Namun, ketika berbicara kepada diri sendiri dan kelompoknya mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah demi menambah kemuliaan 'Tuhan' atau kepentingan yang diyakininya.
Bila di zaman lalu ada Darmog Gandul, Gatoloco, hingga cerpen "Langit Makin Mendung"-nya Ki Panji Kusmin, apa yang disebutkan anak 'zaman old' itu belum sevulgar dan meluas seperti sekarang ini.

Celakanya lagi, mereka juga tak bersikap kesatria arena banyak di antara para penulis kebalanan itu tidak berani menyebut jati dirinya alias dengan membuat akun palsu. Dan bila ada yang berani memakai nama yang jelas, maka ketika ditangkap polisi mereka segera bersikap cemen; menangis dan kelojotan tak keruan dan memohon-mohon minta ampun.

Tapi, apa sih sebenarnya yang terjadi. Maka, jawabnya jelas, begitu banyaknya sikap dan tulisan yang banal terhadap ajaran Islam jelas menunjukkan sentimen terhadap Islam kini tengah menanjak naik. Lalu, Islam yang seperti apa yang harus dipandang sentimen atau negatif? Jawabnya, ya seperti ajaran Snouck Hurgronje bahwa Islam politiklah yang harus ditebas habis, Islam ibadah tak diganggu alias dibiarkan berjalan seperti biasa.

Adanya situasi itu, tepat bila kita mengkaji kembali pandangan sejarawan Australa, MC Ricklefs, mengenai soal Gatoloco (lihat buku: Mengislamkan Jawa, Serambi, Cet 1 November 2013), Ricklefs menyatakan bila di antara kaum priyayi di Jawa pada masa itu memang tumbuh sentimen anti-Islam. Mereka beranggapan bahwa peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan dan bahwa kunci modernitas yang sesungguhnya terletak kesalahan peradaban.

Selain itu, mereka pun percaya bila kunci modernitas yang sesunguhnya itu terletak pada penggabungan pengetahuan moderen ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu–Jawa. Islam dalam hal ini dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut: Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1870-an, para penulis dari Kediri memang telah meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang ‘mengagumkan’, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serial Dermagandul, dan mengolok-olok Islam. Karya tersebut ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit.

Rickles menengarai, buku itu mungkin ditulis untuk memperingati berdirinya sebuah sekolah milik pemerintah kolonial bagi kaum elite di Probolinggo pada 1878 atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini–dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk agama Kristen.

Pada bagian lain dalam buku itu, Ricklefs lebih lanjut menyatakan bila Babad Kediri yang ditulis pada 1873 itu menampilkan satu sejarah yang konon rahasia tentang kemenangan Islam di Jawa, kabarnya terjadi karena pengkhianatan Sultan Demak pertama yang memerangi ayahnya sendiri dengan para wali di sekitarnya. Di sinilah muncul Sabdo Palon, penasihat Raja Majapahit, yang mendesak Sultan mempertahankan keyakinan Buddhanya. Ternyata, Sabda Palon adalah dewa punakawan Semar. Pelindung 'adidunia' bagi semua orang Jawa.

Dalam kajiannya itu Ricklefs juga menyatakan, Suluk Gatholoco--benar-benar kasar dan gila-gilaan–ditulis tidak lebih lama dari tahun 1872. Karya ini menghina Islam dari berbagai segi, bahkan menafsirkan ulang kalimat syahadat sebagai metafora hubungan seksual.

Kisah tentang jahilyah dunia literasi dan digital.

Sedangkan buku ketiga, Serat Dermagandhul, menggabungkan revisionisme Babad Kedhiri dan kegilaan cabul Gatoloco. Karya ini meramalkan bahwa setelah tiga tahun (yaitu pada 1970-an) orang Jawa akan mengabdikan diri mereka pada pembelajaran modern dan menjadi orang Jawa sejati kembali dan kemudian pindah agama ke Kristiani.

Dari cerita para orang tua, buku-buku itu yang gampang ditemukan pada era Soekarno, tetapi di larang selama Orde Baru. Namun, pada 2005 dan 2006 Dermagandhul diterbitan ulang di Surakarta dan Yogyakarta oleh pengarang yang tampaknya berbeda dan menggunakan nama samaran (noms de plume) dari satu penulis yang lebih suka namanya anonim karena takut masih adanya larangan resmi penerbitan.

Namun, beberapa waktu silam, stensilan buku Gatoloco versi penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, Tjetakan ke V tahun 1958 memang terbukti masih bisa didapatkan. Di kios buku antik yang berada di pinggiran Alun-Alun Utara Surakarta (tak jauh dari Kraton dan Masjid Besar Surakarta). Sampul gambar buku ini memakai lukisan sketsa seorang lelaki yang duduk bersimpuh di depan seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah gua. Perempuan itu digambarkan dengan memakai kebaya dan kain. Lekuk tubuh keperempuannya terkesan ditonjolkan.

Jadi, soal sentimen dan laku banal terhadap ajaran Islam, sudah berlangsung semenjak zaman jahiliyah sampai zaman modern ini. Namun, dari waktu ke waktu, kekasaran dan kebanalannya kian bertambah. Tingkat tindakan nekadanya kini sudah berlipat-lipat dari Abu Jahal dari suku Quraisy yang jahiliyah (bodoh atau tak beradab) itu karena disebarkan secara sangat masif melalui sarana zaman canggih media sosial yang menembus segala batas waktu, media, dan ruang.

Jadi, tepat bila Emha menyebut zaman ini adalah zaman ultrajahilyah dengan munculnya sosok Abu Lahab murakab alias kuadrat. Entah siapa yang mampu mengurangi kejahiliyahan ini?

Maka, belajarlah. Ingat media sosial terbukti telah menghancurkan begitu banyak negara, terutama negara yang terkena angin pusaran kehancuran ‘Arab Spring!

Maka marilah kita renungi nasihat pujangga sufi tanah Jawa, Ranggawarsita:

Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi. Melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, Boya keduman milik, kaliren wekasanipun. Ndilalah kersaning Allah, begja begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.

(Menyaksikan zaman edan, tidaklah mudah untuk dimengerti. Ikut edan tidak sampai hati. Bila tidak ikut, tidak kebagian harta, akhirnya kelaparan. Namun kehendak Tuhan. Seberapa pun keberuntungan orang yang lupa. Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada).

 

No comments: