Jejak Perang Diponegoro: Dari Perang, Pesantren, Hingga Seni

Situs dangau empu Astrajingga yang mengobati sakitnya Pangeran Diponegoro di tengah perbukitan Brujul, Peniron, Kebumen.

Situs dangau empu Astrajingga yang mengobati sakitnya Pangeran Diponegoro di tengah perbukitan Brujul, Peniron, Kebumen.

Foto: muhammad subarkah
Jejak Dakwah Pasukan Diponegoro
Pilihan Pangeran Diponegoro untuk berperang gerilya di kawasan itu berbukit di perbukitan di Jawa Tengah bagian selatan --lazim juga disebut oegunungan Urut Sewu atau Pegununungan Serayu Selatan --  tampaknya pun tepat. Ini terbukti dalam peta operasi militer Belanda, di wilayah perang Jawa yang terbentang dari Banyumas, Kedu hingga Pacitan, wilayah selatan Jawa itulah sebagai konsentrasi pendirian benteng tentara lapangan.
Tapi uniknya, bila dilihat jejaknya sekarang, bekas lokasi pendirian benteng stelsel yang didirikan untuk memecah gerak pasukan Diponegoro, hampir selalu berdiri di kampung berpenduduk Muslim yang kental. Dan setelah dilacak lagi, lazimnya kampung tempat berdirinya benteng Belanda itu merupakan bekas markas gerilnya Diponegoro. Uniknya lagi, bekas markas Diponegoro jamak merupakan masjid atau pesantren.

Contohnya, bila dilihat wilayah Kebumen Utara merupakan wilayah dakwah Islam yang kuat. Ini terbukti di dekat itu kawasan itu ada pesantren tua, Somalangu. Atau juga lokasi bekas benteng stelsel yang ada di Kebumen Selatan, yang berada di dua kampungsantri, yakni Petanahan dan Podoluhur.

Hasil gambar untuk sebaran benteng stelsel

Benteng stelsel yang merupakan semacam benteng lapangan yang terbuat dari kayu keras, terutama batang kelapa yang dijadikan dindingnya, merupakan benteng yang kecil yang merupakan benteng 'Lockdown' sehingga gampang dipindah. Benteng ini akan menginduk pada sebuah benteng besar yang menjadi pusat pengendali pasukan.

Sisa benteng lapangan itu pada Perang Jawa itu sudah tak ada. Yang tersisa salah satunya adalah benteng induk pasukan. Benteng ini masih berdiri hingga sekarang di Gombong. Benteng dan Gombong ini para era akhir kolonal juga masih dipakai sebagai pusat latihan tentara KNIL. Salah satu tentara jempolan yang lahir dari pendidikan di benteng ini adalah mantan Presiden Soeharto.

Dalam sejarahnya, Siasat ini mulai diterapkan pada tahun 1827. Penggagasnya adalah Jendral de Kock dengan maksud mengurung gerak pasukan Diponegoro yang melakukan gerilya dan pusat komandonya yang terus berpindah.

Maka benteng ini kemudian dibangun disekujur wilayah perang Jawa, mulai dari  Semarang, kemudian Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo, dan Magelang, hingga kawasan Selatan Barat Jawa Tengah (Kedu dan Banyumas), dan Jawa Timur. Selama kurun 1827 hingga 1830 Belanda membangun benteng ini di  165 lokasi.

Dukungan dunia pesantren terhadap perjuangan Diponegoro memang sangat kuat. Bahkan, khusus untuk di kawasan Kebumen utara, misalnya di sana peran Pesantren Somalangu dan jaringannya yang sudah eksis sejak zaman kerajaan Demak, tak bisa diremehkan. Para santri dari pesantren ini kemudian banyak  mendirikan pesantren berpengaruh di wilayah Selatan Jawa tersebut.

Pesantren Somalangu sebagai salah satu poros pesantren tua dahulu didirikan seorang utusan Sultan Demak, Raden Patah yang berasal dari Handramaut: Syekh Abdul Kahfi. Dari prasti yang terbuat dari semacam batu jade (batu biru), Pesantren ini ditengarai didirikan pada 25 Sya’ban 879 H atau Rabu, 4 Januari 1475 M. Kalau benar, maka pesantren ini bisa disebut pesantren tertua di Asia Tenggara. (Namun, mendiang sejarawan DR Kuntowijoyo yang sempat mengadakan penelitian di tempat itu pada dekade akhir dekade awal 1970-an, mengatakan bila pesantren di Somalangu itu berdiri sejak awal Kesultanan Mataram,red).

Dalam sejarahnya, Syekh Abdul Kahfi, berhasil tinggal di dusun Somalangu  (kini bernama desa Sumber Adi) yang dahulu bernama ‘Alang-Alang Wangi’ setelah beradu ilmu dengan seorang resi yang mengelola sebuah candi Hindu (sisa candi ini terlihat pada dua buah Yoni dan Lingga yang cukup besar).

photo
Sepasang Lingga dan Yoni bekas candi di dekat Pesantren Somalangu Kebumen.
Catatan sejarah juga, di pesantren inilah terjadi konflik pertama kali antara para anggota Laskar pejuang Islam yang tergabung dalam AOI (Angkatan Umat Islam) dengan tentara RI di bawah komando Ahmad Yani, menjelang tahun 1950-an.

''Konflik itu terjadi imbas kebijakan 'Rera' (Reorganisai Tentara) yang digagas Wapres Moh Hatta. Para anggota Laskar AOI yang sebelumnya gigih berperang melawan Belanda sepanjang garis demarkasi sekitar Gombong-Kebumen-Banyumas, tiba-tiba akibat kebijakan itu mereka tak bisa jadi tentara resmi,'' tutur Moh Fahmi peneliti pesantren dan dosen sebuah perguruan tinggi yang ada di Kebumen.

Celakanya, lanjut Fahmi, konflik serta kesalahpahaman antara Laskar AOI dan tentara RI kala itu makin membesar karena juga adanya bau persaingan ideologi. Laskar AOI yang berlatar belakang Islam merasa terancam dengan paham sebagian tentara RI yang kala itu mereka duga sudah berafliasi paham komunis.

"Maka konflik pecah, sebelum sempat ditengahi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku menteri pertahanan. Dusun dan pesantren Somalangu diserbu tentara dari kesatuan "kuda Putih' yang komandoi Ahmad Yani.  Puluhan rumah di bakar, para anggota AOI di kejar-kejar. Kyai Somalngu, yang akrab dipanggil Romo Pusat, mati tertembak dalam pengejaran di dekat perbukitan Srandil Cilacap,'' kata Fahmi lagi Jejak Dakwah Pasukan Diponegoro

Pada sisi lain, keliatan dukungan kepada ‘perang jihad’ --termasuk Perang Diponegoro hingga perang kemerdekaan -- dari warga penduduk di sekitar itu juga terjejak pada pengaruh kental dakwah Islam dalam bentuk pertunjukan musik yang dikenal dengan Jamjaneng. Musik ini menjadi ikon wilayah Kebumen. Sajiannya sangat khas, yakni pencampuran antara dakwah Islam dan budaya lokal.

Dan kebetulan pengantar ziarah ke situs perang Diponegoro asal Peniron, Taufik, adalah salah satu keturunan pemain dan pelestari budaya Jamjaneg itu. Dan bagi mereka yang tinggal dan mengalami masa remaja di Kebumen tahun 1970-80-an pasti kenal jenis musik atau kesenian dakwah ini. Saat itu Jamjaneng menapaki masa puncak kejayaan. Di setiap perhelatan penduduk di sana, tiada hari tanpa jamjaneng. Pertunjukan ini digelar selama semalam suntuk.

Apa itu Jamjaneng (disebut juga dengan Janeng)? Taufik mengatakan Jamjaneng, adalah bentuk musik tradisional khas Kebumen yang merupakan sarana dakwah Islam. Kesenian Jamjaneng ini lebih menjurus ke syair-syair yang Islami.

“Tak semua lagu Jamjaneng merupakan lagu dakwah. Sebab, dalam kesenian Jamjaneng, lagu dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah lagu wajib, lagu ini merupakan lagu pokok, berisikan puji-pujian kepada Allah, ataupun berisi tentang petuah-petuah hidup yang menyangkut tentang agama Islam,’’ katanya.

Yang kedua adalah lagu Blederan, lagu Blederan. Sajian musik  ini lebih bersifat menghibur dan ringan, lagu ini kadang digunakan sebagai penghibur agar tidak mengantuk.” Kesenian Jamjaneng dimainkan hanya menggunakan perasaan para penabuhnya, tak ada notasi yang mengatur dan mengikat. Hanya menggunakan improvisasi para pemainnya. “

Tangga nada dalam Kesenian Jamjaneng adalah tangga nada pentatonik. Karakteristik Instrumen Rata-rata alat musik dalam Jamjaneng dimainkan dengan cara dipukul. Kayu yang digunakan untuk membuat instrumen tersebut berasal dari kayu Glugu (pohon kelapa) dan menggunakan kulit kambing.

Instrumen ini dibuat oleh seorang pembuat khusus. Para tokoh pembuatnya antara lain: Sunan Kalijaga. Sunan kalijaga ini merupakan orang yang pertama kali mempelopori kesenian sebaga sarana media dakwah Agama Islam

“Para tokoh pembuat Jamjaneng lainnya adalah Syekh Nur Muhammad yang merupakan penemu kesenian Jamjaneng. Tokoh berikutnya adalah Syekh Zamzani yang merupakan tokoh yang perintis dan pendiri kesenian Jamjaneng sebagai dakwah agama Islam. Bahkan kata ‘Janeng’ sendiri diambil dari kata namanya: Zamzani = Jamjaneng,’’ ujarnya.

 

photo
Reportoar asli lagu dan syair Jamjaneng karya Mbah Ahmad Yusup.
Yang terakhir, kata Taufik adalah kakeknya yang bernama Ali Yusup. .’’Mbah Amir Yusup Tokoh yang mempopulerkan kesenian Jamjaneng di Kabupaten Kebumen, Beliau juga pengarang lagu-lagu Jamjaneng yang masih terus di lestarikan sampai hari ini. Beliau memang asli atau berasal dari Desa Peniron Kecamatan Pejagoan Kebumen.

Lalu apa betuk peninggalan kesenian dari pasukan Diponegoro yang dahulu bergrilya dan tinggal di wilayah ini? Taufik mengatakan salah satunya adalah dalam bentuk tarian cepetan. Tarian ini menceritakan tentang perlawanan penduduk desa atas munculnya segala macam hantu.

''Di tarian itu ada pesan yang tersembunyi selama punya iman tak usah takut terhadap kolonial yang mereka padankan dengan hantu. Kalau dilawan pasti mereka akan ketakutan,'' kata Taufik menandaskan.

No comments: