Kesedihan Haji Agus Salim

Dikenal galak saat berdebat dan jenaka saat mengisahkan berbagai lelucon, siapa nyana Haji Agus Salim pernah menangis tersedu-sedu. 
Hendi Johari
          header img
Haji Agus Salim (Arsip Nasional Belanda)

Tak ada yang meragukan kiprah Haji Agus Salim (HAS) sebagai seorang pejuang. Sejak aktif di Volksraad (1921—1924), dia telah dikenal kritis dan garang terhadap berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang dianggap menindas rakyat. Bahkan ketika merasa segala kritiknya tak disambut, dengan lantang dia berpidato bahwa Volksraad tak lebih sebagai “komedi omong yang disensor” dari sebuah parlemen gadungan.

“Usai melakukan kritiknya itu, Haji Agus Salim lantas keluar dari Volksraad,”ujar Agustanzil Sjahroezah, salah seorang cucu dari HAS.

Di lain waktu, HAS pernah balik mempermalukan orang-orang yang menghinanya. Alkisah, suatu hari beberapa aktivis muda Syarekat Islam (SI) Merah yang berhaluan komunis mendatangi sebuah rapat yang menghadirkan HAS sebagai pembicara utamanya.  Tujuan mereka datang tak lain hanya ingin “mengacaukan” rapat tersebut. Maklum sebagai anak-anak muda, mereka lagi “genit-genit”nya secara intelektual.

Setiap HAS yang memiliki jenggot kambing itu bicara, maka anak-anak muda kiri tersebut serempak menyahutinya dengan suara: “embeeekkkk”. Satu kali didiamkan. Dua kali masih tidak diacuhkan. Begitu kali ketiga embikan berjamaah itu terdengar, tiba-tiba HAS mengangkat tangan seraya berkata:

“Tunggu sebentar. Bagi saya,adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun berkenan datang ke ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali, mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan, agar sementara, mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekadar menikmati rumput di lapangan. Sesudah pidato yang saya tujukan kepada manusia ini selesai, silakan mereka kembali masuk dan saya akan pidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Perlu diketahui, dalam Islam, kambing pun memiliki haknya sendiri. Karena saya menguasai banyak bahasa, maka saya akan memenuhi hak mereka.”

Demi mendengar kata-kata HAS itu, orang-orang yang hadir di sana bergemuruh dalam tawa. Adapun anak-anak muda itu, alih-alih meninggalkan ruangan, mereka yang seolah-olah  menjadi “sekelompok  badut muda”  terpaksa harus “menikmati" ejekan masal itu dengan muka merah padam.

Namun HAS yang cerdas, sangar dan jenaka pernah sangat bersedih. Itu terjadi pada akhir Januari 1946, saat HAS mendengar kabar anak ke-5-nya, Achmad Sjewket Salim gugur dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang di Lengkong, Tangerang.

Paatje memang berduka sekali dengan meninggalnya Sjewket karena sebelumnya Sjewket yang selalu sakit-sakitan itu sudah dilarang untuk masuk Akademi Militer Tangerang,” ungkap almarhumah Bibsy Soenharjo (Siti Asia), salah satu putri HAS.

Ketika memimpin perjuangan diplomasi di Mesir pada 1947, HAS terlihat sering menggunakan sebuah jaket militer usang. Menurut diplomat senior M. Zein Hassan, kendati anggota delegasi Indonesia lainnya agak penasaran dengan kebiasaan orang tua tersebut, namun tak ada yang berani menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan.

Hingga suatu malam, selagi semua anggota delegasi RI duduk di beranda atas Hotel Continental Cairo untuk menikmati cahaya bulan yang keperak-perakan, tetiba HAS menyanyikan secara lantang sebuah lagu perjuangan.

“Kami yang hadir semuanya terdiam seperti terpukau,” ungkap M. Zein Hassan dalam bukunya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri.

Situasi semakin hening begitu lagu selesai dinyanyikan, sejenak HAS terdiam lantas menangis tersedu-sedu, seolah ingin melepaskan segala sesak dada yang menekan dirinya. Lagi-lagi tak ada yang berani bertanya atau memulai pembicaraan. Keheningan itu mulai dipecahkan lagi oleh suara HAS sendiri.

“Lagu itulah yang dinyannyikan anak saya, ketika pelor Jepang menembus dadanya…” kata HAS dalam nada parau.

Sejurus kemudian, HAS kembali diam. Lalu saat beberapa detik berlalu, dia menghalau lagi keheningan sambil menunjuk jaket militer yang selalu dipakainya sehari-hari selama di Mesir.

“Baju inilah yang dipakainya ketika ia jatuh menjadi syahid…” ujarnya.

Sjewket, remaja 19 tahun yang telah tiada itu, memang selalu hidup dalam benak HAS. Bisa jadi dia sempat merasa menyesal karena tidak bisa meyakinkan putranya itu untuk tidak menjadi seorang prajurit. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein yang pernah mendengar langsung dari adik Sjewket, Islam Salim, HAS pernah menasehati Sjewket untuk berjuang lewat jalan lain. Toh perjuangan mempertahankan proklamasi tidak harus lewat menjadi seorang prajurit, kata HAS.

“Tapi ya dasar pemuda yang sedang semangat-semangatnya ingin berjuang, Sjewket diam-diam mendaftarkan diri ke Akademi Militer Tangerang dan lulus hingga dia gugur bersama komandannya, Mayor Daan Mogot,” ungkap Rushdy.

Mohamad Roem pernah melukiskan rasa cinta HAS kepada Sjewket. Ketika HAS sedang serius berdiskusi dengan para aktivis muda di rumahnya, tetiba datang Sjewket (yang saat itu berusia 4 tahun) mendekati HAS. Dalam bahasa Belanda, Sjewket kecil minta kepada ayahnya untuk menggaruk punggungnya yang terasa gatal.

“Dengan wajah penuh kasih sayang, perhatian Haji Agus Salim langsung beralih kepada anaknya dan sesudah bertanya (juga dalam bahasa Belanda) sebelah mana yang gatal agar dapat digaruk dengan cepat, Haji Agus Salim menjalankan apa yang dimintakan,” ungkap Roem seperti tercuplik dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah.

No comments: