Kisah Keturunan Para Pangeran Mataram Mengaji di Pesantren
Mereka baru diizinkan kembali ke Kartasura pada masa Paku Buwono II. Peristiwanya tak lama setelah Amangkurat III wafat pada 1734.
Kepulangan itu dilakukan karena para kerabat Amangkurat III masih menyimpan beberapa pusaka Mataram. Mereka diminta mengembalikan pusaka, seperti keris dan bende. Salah satunya bende Kiai Bicak. Tetapi karena konflik yang terus terjadi sejak geger Pecinan sampai perang sukses Jawa ketiga (1749-1757), membuat Raden Bagus Kemuning tidak nyaman dan pada akhirnya keluar dari istana.
Raden Bagus Kemuning pun mulai melakukan pengembaraan menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren di Tanah Jawa dan bergaul dengan kehidupan para kiai dan santri secara akrab, bahkan beliau rela melepaskan gelar kebangsawanannya.
Pada tahun 1755, terjadi perjanjian Giyanti Raden Bagus Kemuning memilih bergabung dengan Pangeran Mangkubumi, tetapi setelah itu beliau lebih memihak untuk bergabung bersama rakyat kecil daripada memasuki istana.
Dalam pengembaraannya Raden Bagus Kemuning yang dikenal sebagai Kiai Hasan Tuqo dan menetap di Senuko Godean bertemu dengan Raden Mas Sandeyo putra sulung dari RM Amangkurat IV dengan RA. Retno Susilowati, putri Untung Suropati yang bergelar Adipati Wiranegoro. RM Sandeyo adalah kakak dari Pangeran Mangkubumi, yang juga memilih menjauhi kehidupan istana dan dikenal sebagai Kiai Nur Iman yang bertempat di dusun Mlangi.
Sewaktu berkobar perang Diponegoro (1825-1830) Kiai Hasan Tuqo dan Kyai Nur Iman manjadi penasihat Pangeran Diponegoro. Kiai Taftazani, seorang pengajar agama (asal Sumatra?) di Mlangi menjadi guru spiritual Pangeran Diponegoro dan adiknya Pangeran Adisurya yang 'moksa' di gunung Sirnabaya, Karanggayam, Kebumen Utara.
Kiai Taftazani kemudian pindah ke Surakarta sebelum pindah dan wafat dan dimakamkan di Kayulawang Loano Purworejo.
Kiai Salim putra Kiai Nur Iman dan Kiai Abdurrauf putra Kiai Hasan Tuqo diangkat sebagai senopati laskar Diponegoro. Kiai Salim wafat di Ndimoyo dan dikenal sebagai Kiai Syahid. Adapun Kiai Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Magelang dan sekitarnya yang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogyakarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Muntilan.
Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun, letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam Desa Gunung Pring).
Kelak perjuangan Kiai Abdurrahman diteruskan oleh putranya, Nahrawi, yang dikenal dengan sebutan Mbah Dalhar.
Kelak setelah dewasa, Nahrawi meneruskan pesantren ayahnya, Kiai Abdurrahman, tapi letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri, yaitu Kiai Abdurrahman.
Menginjak usia 13 tahun, Nahrawi belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
Di sini, ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun. Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun Mbah Nahrawi dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen, untuk mengaji kepada Syekh Abdul Kahfi Tsani selama 8 tahun.
Pada tahun 1896, Nahrawi diminta oleh gurunya, yaitu Syekh Abdul Kahfi Tsani untuk menemani putra sulung beliau yang bernama Sayid Abdurrahman untuk berguru ke Makkah.
Syekh Abdul Kahfi Tsani punya keinginan menyerahkan pendidikan putra sulungnya kepada sahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi Mufti Syafi’iyyah, yang bernama Syeikh Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Sayid Abdurrahman bersama santri Nahrawi berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan kemudian lanjut sampai di Semarang.<
Ada kisah yang mengagumkan dari santri Nahrawi. Saking ta’dzimnya Nahrawi kepada putra gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal, Sayid Abdurrahman telah mempersilakan Nahrawi agar naik kuda bersama. Namun, itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hijaz), santri Nahrawi dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath Syekh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani, yaitu didaerah Misfalah. Dalam perjalanan menuntut ilmu pada Syekh Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani, Sayyid Abdurrahman diminta oleh gurunya dan para ulama Hijaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu.
Sepulang dari Makah, Sayyid Abdurrahman selaku Mursyid Thariqah Syadziliyyah yang mendapat ijazah langsung dari Syekh Muhtarom al-Makki didapuk menjadi pengasuh pesantren menggantikan abahnya pada tahun 1915.
Sayyid Abdurrahman Al-Hasani yang dijuluki Batholul Islam (Pahlawan Islam) karena begitu besarnya perjuangannya dan kedalaman ilmunya di Tanah Hijaz ini wafat pada 25 Sya’ban 1357/1938 M dan dimakamkan di Jeddah, Arab Saudi.
Sementara itu, santri Nahrawi belajar di Tanah Suci hingga mencapai waktu 25 tahun. Selama di sana, santri Nahrawi pernah melakukan khalwat selama 3 tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula, beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya.
Dalam hal adab selama di Tanah Suci, mbah santri Nahrawi tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Ketika berada di Hijaz inilah, Syekh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani memberi nama “Dalhar” pada santri Nahrawi. Hingga akhirnya, ia memakai nama Nahrowi Dalhar.
Ketika berada di Hijaz ini pula Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syekh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani.
Setelah pulang dari Tanah Suci, sekitar tahun 1900 M, ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watucongol, Muntilan, kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur.
Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri dari eks-Karesidenan Kedu saja, tetapi juga sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan, ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta, eks-Karsidenan Banyumas dan dari Jawa Barat.
Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus diasma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang.
Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing yang dilemparkan para pejuang mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai, apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik.
Banyak sekali tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920-1959. Di antaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo; KH Dimyathi, Banten; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890-Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Beliau kemudian dimakamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
---------
Sumber:
KH. R. Bagus Khasantuko
KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa
Pondok Pesantren Somalangu, Salah Satu Pesantren Tertua
Nur Iman Mlangi
Kisah Hidup Kyai Taftazani, Guru Ngaji Pangeran Diponegoro yang Jarang Diketahui
Makam Kyai Taptajani, Guru Pangeran Diponegoro & Bupati Cokronegoro ada di Purworejo !
No comments:
Post a Comment