Konsep Zakat Syari’ah dan Zakat Thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani

Konsep Zakat Syari’ah dan Zakat Thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Ilustrasi/Ist
SEPERTI halnya salat , Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani juga membagi zakat menjadi dua: zakat syari’ah dan zakat thariqah . Zakat syari’ah secara umum sama seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh sedangkan zakat thariqah lebih menjurus ke zakat pahala untuk orang yang miskin amal ibadahnya.

Zakat Syari’ah
Dalam kitab sirr al asrâr Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani berkata:

ِلَى يَا إ َ ْن يُ ْع ِط َى ِم ْن َك ْس ِب الدُّنْ ال َّشِر ْيعَ ِة أ َّما َز َكوةُ َ أ ِ ف ٍن َ ٍة ِم ْن نِ َصا ٍب ُمعَيِّ فِى ُك ِّلِ َسنَ ُمعَيَّنَةً تَةً َّ َم ْصَرفِ ِه ُم َؤق

“Zakat syari’ah adalah zakat yang diberikan seseorang dari hasil usaha duniawinya bagi ashnâf yang telah ditentukan, pada waktu tertentu, setiap tahun dan dengan nishab yang telah ditentukan pula”
Yang dimaksud dengan hasil usaha duniawi adalah harta yang didapat dari pekerjaan yang halal.

Golongan atau ashnaf yang berhak menerima zakat sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah Al-Taubah ayat 60: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang faqir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya ( mu’allaf ), untuk memerdekakan hamba sahaya (budak), untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk orang yang berada di jalan Allah ( fî sabîlillah ), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. llah Maha mengetahui, Maha Bijaksana”.

Dan harta yang wajib dizakati adalah harta yang sudah mencapai nishab dan sudah mencapai haul. Jadi secara syari’ah pendapat beliau tidak jauh berbeda dengan pendapat ulama fiqih.

Dan zakat syari’ah ini disebut juga dengan shadaqah, seperti perkataan Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani: “Ia disebut shadaqah karena pahalanya (penerimaan Allah) lebih dahulu sampai kepada Allah daripada kepada orang faqir dan yang dimaksudkan”.

Maksudnya adalah pada saat seseorang berniat menunaikan zakat dan sebelum zakat diserahkan kepada orng yang berhak, amal zakat orang tersebut sudah diterima oleh Allah dan Ia mendapat pahala dari Allah bahkan sebelum zakat tersebut disalurkan atau dibagikan.

Zakat Thariqah
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani berkata:

ِن األُ ِن َوال َم َساِكْي ِ ي َرا ِء الدِّ قَ ُ ِلَى ف ْخ َر ِويَّ ِة إ َ ْن يُ ْع ِط َى ِم ْن َك ْس ِب األُ َى أ ِه ِة فَ َّطِر ْيقَ ال َّما َز َكوةُ َوأ ِة َ ْخ َر ِويَّ

“Sedangkan zakat thariqah ialah zakat yang diberikan seseorang di jalan Allah dari usaha ukhrawi kepada orang-orang yang faqir dalam masalah agama dan miskin dari nilai-nilai ukhrawi”.

Maksud dari usaha ukhrawi adalah pahala yang didapatkan setelah melaksanakan ibadah-ibadah. Jadi yang dimaksud dengan zakat thariqah di sini adalah zakat pahala untuk orang-orang yang faqir dan miskin pahala karena kurangnya ilmu pengetahuan tentang agama sehingga amal ibadahnya sedikit bahkan ditolak oleh Allah SWT, seperti perkataan Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani sebagai berikut:

“Zakat thariqah diberikan kepada ahli maksiat dari hasil amalan ukhrawi (sang muzakki) untuk mendapat ridha Allah SWT. Lalu Allah mengampuni para ahli maksiat itu. Amalan ukhrawi yang dimaksud adalah shadaqah, salat, puasa, zakat, haji, bacaan tasbih, tahlil, bacaan Al Qur’an, kepedulian sosial dan amalan-amalan baik lainnya.

Dengan begitu, tak ada pahala bagi orang yang berzakat tarekat (karena sudah diberikan kepada orang “fakir”), maka jadilah dia orang yang pailit (bangkrut dalam arti tidak memiliki lagi pahala ibadah bagi dirinya). Dan Allah mencintai hambaNya yang pailit akibat kepeduliannya”.

Konsep zakat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini sangat berkaitan dengan aspek sosiologis. Orang yang berzakat sesuai dengan konsep zakatnya. Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Ia tidak hanya menzakatkan hartanya untuk faqir miskin saja. Tetapi ia juga menzakatkan pahalanya untuk orang yang miskin pahala.

Ia bukan hanya peduli pada kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga kebutuhan rohaninya. Jadi orang yang berzakat sesuai dengan konsep zakatnya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Orang-orang sufi dalam kategori ini sangat mengasihi orang-orang awam yang lalai dan selalu menyia-nyiakan dirinya. Amalan mereka kurang, dan dosa mereka bertambah. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar, namun mereka tidak sadar dan hidup dalam kelalaian.

Karena itulah kaum sufi menaruh iba terhadap orang-orang yang seperti ini, sehingga semua amalan baik yang dikerjakannya tidak bertujuan untuk meraih pahala yng banyak untuk diri sendiri di hari kiamat.
(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: