Suku Mante, Pertanyaan yang Kerap Membebani Guru

MENJADI guru terkadang kita dituntut menjadi seorang yang mahatahu, harus cakap menjawab semua pertanyaan siswa tanpa cacat

Suku Mante, Pertanyaan yang Kerap Membebani Guru
IST
MUHAMMAD YUSRIZAL, S.Pd., alumnus Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala dan Guru Honorer SMAN 11 Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

MENJADI guru terkadang kita dituntut menjadi seorang yang mahatahu, harus cakap menjawab semua pertanyaan siswa tanpa cacat. Sedangkan di lingkungan sosial masyarakat, guru dituntut untuk paham semua hal yang tidak dipahami masyarakat. “Guru digugu dan ditiru”, itulah sepenggal kalimat sarat makna yang harus dipikul selama guru masih hidup di Bumi.

Mengajar di Aceh, provinsi berjuluk Serambi Makkah ini, tentunya Islam adalah oksigen yang harus hadir dalam semua lini kehidupan. “Lage zat ngon sifeut (seperti zat dengan sifatnya)” Islam tidak bisa dipisahkan. Ajaran Islam tidak bisa ditampik oleh seorang guru dalam mengaitkan materi ajar terhadap peserta didik. Guru hadir bukan untuk memperkaya ilmu duniawi semata, melainkan juga memperkaya sanubari (keimanan, ketaatan terhadap agama).

“Pak, apa benar manusia purba itu ada?” tanya seorang siswa kepada saya. Pertanyaan demikian tentu akan selalu menghampiri guru yang mengampu pelajaran sejarah di sekolah, tidak boleh tidak. Di sinilah seorang guru harus bersikap arif dan bijaksana dalam mengupas materi yang dalam tanda kutip “berseberangan” dengan pemahaman agama Islam.

Tentu, Charles Darwin (1809-1882) ilmuwan berkebangsaan Inggris tersebut telah cacat pikir saat mengatakan manusia merupakan hasil evolusi dari spesies hewan kelompok mamalia (kera). Hasil dari evolusi tersebut menghasilkan hewan yang berakal budi (manusia). Ia tidak sadar telah merendahkan diri dan leluhurnya sendiri.

Selain itu, teori evolusi juga dianggap bertentangan dengan pandangan kitab agama samawi (langit) tentang penciptaan. Dalam Islam, manusia pertama di Bumi adalah Nabi Adam dan pasangannya Hawa, keduanya imigran dari surga. Setelah keduanya beranak pinak, menyebarlah miliaran manusia di muka Bumi, hingga tahun 2021 jumlahnya 7,8 miliar. Dengan demikian, Islam menjadi agama yang berada di garda terdepan menentang teori “prematur” Darwin.

Pada Maret 2017 Aceh dihebohkan dengan beredarnya video manusia kerdil yang melintas jalanan setapak di hutan Aceh Besar. Video tersebut tidak sengaja terekam oleh komunitas trail di Aceh dan lokasi persisnya masih dirahasiakan sebagai wujud melindungi suku dimaksud. Diyakini orang berpostur mini tersebut adalah suku Mante yang kehidupan dan keberadaannya masih mengandung sejuta tanya. Di jagat maya orang-orang dihebohkan dengan keberadaan suku yang satu ini, tidak hanya hangat jadi perbincangan di kalangan masyarakat Aceh, tetapi juga menjadi buah bibir masyarakat nasional, Indonesia.

Setelah beberapa tahun beranjak, konotasi negatif dijadikan guyonan pelabelan “Mante” kepada seseorang yang dianggap kolot dan tertinggal. Penasaran dengan suku Mante, seorang siswa kembali melontarkan pertanyaan kepada saya yang kala itu sedang memberikan materi ajar mengenai “Manusia Purba di Indonesia”.

“Apa benar suku Mante itu ada, Pak?” tanya seorang siswa sambil melirik ke salah satu rekan kelasnya, seakan mengisyaratkan bahwa Mante yang dimaksud adalah rekannya tersebut yang dianggap kolot dengan gaya “awot”. Setelah menasihati dan melerai perundungan di dalam kelas, saya pun mulai bercerita sekilas tentang sejarah suku Mante.

 Begini kisahnya

Jauh sebelum beredarnya video Mante tersebut, tahun 1961 Muhammad Said--peneliti sejarah dan wartawan Republikein yang meninjau Konferensi Meja Bundar di Belanda, 1949--telah menyinggung suku tersebut dalam “Aceh Sepanjang Abad”, bukunya setebal 832 halaman. Said mencoba mengupas siapa kita masyarakat Aceh yang mendiami Tanoh Aulia  ini.

Tercatat, telah ditemukan batu bergosok sebelah peninggalan zaman batu pertengahan (mesolitikum) pada empat lokasi penggalian (ekskavasi), tiga di Aceh Utara (sekarang Lhokseumawe dan Aceh Utara) yaitu di Krueng Geukueh, Bukit Panggoi, dan Kandang. Satu lagi di Aceh Timur, di antara Kuta Binjai dan Alue Ie Mirah. Juga ditemukan bukit kerang kjokkenmoddinger, sisa makanan di beberapa titik pantai Sumut hingga ke Aceh Timur.

Perkakas serupa juga ditemukan di bagian Indo Cina, seperti di Bacson (Vietnam) dan di Hoa Binh (tenggara Hanoi, Vietnam) menjadi penguat bahwa dari daerah tersebutlah pendukung kebudayaan zaman batu pertengahan. Selanjutnya, orang-orang dari Indo Cina ini berkelana ke Muang Thai, Semenanjung Melayu, dan ke berbagai tempat di Indonesia, termasuk ke Aceh.

Orang-orang ini bercirikan rambut agak keriting, hidung pesek, dan berbadan sedikit pendek, warna kulit hitam. Di Sri Lanka orang-orang ini dikenal dengan sebutan Vedda, di Malaysia disebut orang-orang Senoi dan Yakun. Sedangkan di Indonesia disebut orang Sakai (Riau), Kubu (Jambi dan Sumatera Selatan), Mentawai (Kepulauan Mentawai), Enggano (Pulau Enggano), dan orang Toala (Sulawesi). Sedangkan di Aceh disebut Mante, tepatnya Manteue.

Said menyebut, dahulu orang Mante dikenal dengan hidup primitif, tinggal memencil di pedalaman Sagoe XXII, Lampanah (sekarang Aceh Besar). Mereka merupakan keturunan penghuni zaman purbakala yang sisa-sisa perkakasnya dapat ditemukan di Aceh Utara dan Aceh Timur tersebut.

Kehadiran zaman batu muda (neolitikum) menggantikan zaman batu pertengahan di Asia Tenggara diperkirakan terjadi sekitar 2.500 tahun SM, ditandai dengan kehadiran orang Melayu Tua atau Proto-Melayu. Kedatangan mereka mengharuskan orang Veddoid (Manteue) di Aceh menyingkir ke pedalaman. Sebab, orang-orang Melayu Tua ini telah mengenal rumah, beternak, bercocok tanam, dan kemampuan membuat periuk tanah. Kemampuan mereka lebih maju dibandingkan orang Manteue. Orang Melayu Tua berkulit sawo matang seperti orang mongol.

Berkisar 300 tahun SM, Aceh khususnya didatangi oleh orang-orang Deutero-Melayu atau dikenal dengan Melayu Muda. Orang Melayu Muda ini peradabannya lebih maju dari Melayu Tua. Mereka bisa membuat perkakas dari tembaga maupun besi. Orang-orang Melayu ini dipastikan datang dari Campa (sekarang Vietnam), Kocin Cina, dan Kamboja. Dapat disimpulkan bahwa asal-usul orang-orang Melayu adalah dari Indo-Cina.

Melayu Tua yang kalah saing dengan Melayu Muda menyingkir ke pedalaman Aceh, sekarang dikenal dengan orang Gayo dan Alas. Di luar Aceh dikenal dengan orang Batak, Nias, dan Toraja.

Pada golongan Melayu Tua banyak dijumpai keaslian kebudayaan hingga sekarang ini. Sedangkan golongan Melayu Muda menempati wilayah-wilayah pesisir Aceh dan aktif berkontak dengan wilayah luar melalui jalur maritim. Tentu, saya adalah orang yang tidak mengimani teori evolusi besutan Charles Darwin tersebut. Kepada siswa saya jelaskan juga demikian. “Sekadar jadi pengetahuan saja, jangan dipercaya dan diimani,” jelas saya.

Perihal suku Mante? Sebagai seorang guru sejarah berketurunan Aceh, saya belum bisa berkiblat untuk  percaya atau tidak  perihal keberadaan suku yang satu ini.

No comments: