Kisah Penangkapan dan Eksekusi Al-Hallaj yang Sangat Menyentuh
Kisah Husain ibn Manshur atau banyak disebut al-Hallaj ini disadur dari buku Negeri Sufi karya Mojdeh Bayat dan Muhammd Ali Jamnia.
===
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktik apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan salat wajib, dengan salat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang di dalamnya --yang salah satunya berbobot setengah ons.
Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya. Suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Makkah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, "Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar."
Penangkapan
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid'ah, "Akulah Kebenaran."
Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, "Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian."
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar di bawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan.
Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya.
Junaid menjawab, "Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan."
Al-Hallaj dijebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? Ia menjawab, "pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku disuruh kembali!"
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. Ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri.
Ia berkata kepada mereka: "Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini," kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka.
Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. "Engkau tidak ikut bersama kami?" tanya mereka.
"Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!" jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.
"Mengapa engkau tidak sekalian pergi?" tanya mereka.
"Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman," jawabnya
Eksekusi
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, "Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!"
Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, "Jangan takut, putra Manshur."
Mengenang hari itu, seorang sufi Syaikh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk dieksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, "Haqq, Haqq, ana al-Haqq --Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran."
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin. Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. "Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?" tanya orang-orang.
"Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku," jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar pembantaian
Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama
bersama dengan singa
tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, "Apa itu tasawuf?"
Al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. "Adakah yang lebih tinggi dari ini?" tanya Syibli.
"Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!" jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, "Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?"
Al-Hallaj menjawab, "Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik."
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, "Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab "Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya."
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, "Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah." (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa).
Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, "Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!"
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. "Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?" tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.
"Mengapa," tanya mereka. "Engkau membasahi lenganmu dengan darah?"
Ia menjawab, "Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah."
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya.
Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, "Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu."
Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur'an:
"Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar."
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase "Cukuplah sudah satu kekasih."
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, "Akulah kebenaran", sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, "Akulah Kebenaran."
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, "Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami."
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, "Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?" Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment