Misteri Hilangnya Jejak Benteng di Tangerang, Kota Benteng Tapi Tanpa Benteng
Istilah Benteng bagi masyarakat Kota Tangerang sudah begitu melekat. Sebutan Benteng merujuk pada nama lain atau sebutan untuk Kota Tangerang atau wilayah pusat Kota Tangerang yang dibelah sungai Cisadane.
Uniknya, meski julukan atau sebutan Benteng sudah begitu melekat, namun wujud bangunan Benteng itu sendiri tidak ada di Kota Tangerang. Bahkan jejak-jejak bangunan Benteng di Kota Tangerang seolah hilang misterius tanpa bekas.
Penulis sendiri yang tinggal di Tangerang sejak kecil pada 1980, belum pernah melihat wujud Benteng itu. Bahkan bekas-bekas bangunan Benteng atau posisi persis bekas Benteng tersebut pun tidak tahu. Hanya kenangan masa kecil yang masih melekat tentang sebutan Benteng.
Ketika Lebaran saat mendapat uang pemberian dari sanak saudara, bersama teman-teman selalu pergi ke pusat Kota Tangerang. Kami selalu kompak berseru, “Yuk, kita jalan-jalan ke Benteng.” Maksudnya kami berjalan-jalan ke pusat kota, bukan berwisata mengunjungi bangunan Benteng.
Unik memang, mendapat julukan Benteng tapi tak ada bangunan Bentengnya atau bekas jejaknya sekalipun. Masyarakat, termasuk penulis pun, sampai saat ini akhirnya menerima sebutan Benteng untuk Kota Tangerang, tanpa perlu merisaukan seperti apa bangunan benteng tersebut dan di mana jejak keberadaanya.
Bahkan, Mona Lohanda, seorang peneliti sejarah Batavia yang juga warga Kota Tangerang kelahiran 4 November 1947 mengakui sulit menemukan jejak Benteng tersebut. "Benteng itu sulit diketemukan jejaknya,” ungkap Mona. “Yang aku tahu, tidak pernah ada penggalian-penelitian arkeologis. Aneh juga ya?” katanya kepada nationalgeographic.grid.id pada 11 Mei 2019.
Mona Lohanda juga dikenal sebagai arsiparis dan selama empat dekade menekuni dunia kearsipan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Setelah pensiun, Mona Lohanda meninggal di Tangerang, 16 Januari 2021.
Memang ada sepotong jalan di pusat Kota Tangerang yang diberi nama Jalan Benteng Makassar. Letak jalan tersebut berada di sebelah barat sungai Cisadane, masuk wilayah Kelurahan/Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Nama Benteng Makassar diperkirakan memiliki kaitan erat dengan keberadaan dan letak bangunan Benteng yang sudah hilang.
Jejak keberadaan Benteng di Kota Tangerang tidak sepenuhnya hilang. Dalam beberapa arsip Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17, peta-peta tua, dan lukisan litografi, disebutkan keberadaan dan gambar Benteng di Tangerang.
Menurut tulisan F de Haan dari arsip VOC resolusi 1 Juni 1660 disebutkan, untuk mengawasi Tangerang, maka dianggap perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan perbatasan sungai Tangerang, karena pasukan Banten kerap melakukan serangan secara mendadak. Sesuai perjanjian antara kompeni VOC dan Bupati Tangerang pertama Raden Aria Soetadilaga pada 17 April 1684, wilayah Tangerang meliputi antara sungai Angke dan Cisadane.
Pemandangan Benteng (Fort) Tangerang dilukis Johannes Rach, seniman Denmark yang bertugas di VOC.
Menurut peta yang dibuat pada 1692, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya di sebelah Utara Kampung Baru. Namun, ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepat di muara sungai Tangerang.
Pada 1739 telah berdiri Benteng atau Fort Sampora (Serpong) dan Fort Tangerang sebagai bangunan pertahanan yang memisahkan kedua belah pihak, yaitu VOC dan Kesultanan Banten. Batas wilayah kekuasaan tersebut adalah sungai Cisadane. Fort Sampora dan Fort Tangerang merupakan sebuah bangunan yang menandakan batas terjauh teritorial dari VOC Belanda.
Peta Benteng (Fort) Tangerag dan Fort Sampora (Serpong).
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia pada 3 April 1750, Gubernur Jenderal Zwaardeczon menginstruksikan, membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Tujuannya agar pasukan dari Banten tidak dalam melakukan penyerangan. Termasuk merobohkan bangunan-bangunan dalam pos penjagaan lama yang berdinding bambu dan diganti dengan tembok.
Benteng baru yang akan dibangun direncanakan punya ketebalan dinding sekitar 20 kaki. Di sana akan ditempatkan 30 orang Eropa di bawah pimpinan seorang Vandrig (Peltu) dan 28 orang Makassar yang akan tinggal di luar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai dibangun, personel penjaga berjumlah 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dimaksud orang hitam ini adalah orang-orang Makassar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis pertahanan kompeni dalam menghadapi serangan pasukan Banten.
Denah Benteng (Fort) Tangerang Tahun 1705.
Kemudian pada 1801, dilakukan perbaikan untuk memperkuat pos atau garnisun itu dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke Tenggara, tepatnya terletak di sebelah Timur Jalan Besar Pal 17 (paal adalah jalan yang ditandai tonggak batu). Namun, sejak 1812 Benteng ini sudah tidak terawat lagi.
Bahkan “Superintendant of Publik Building and Workd” pada 6 Maret 1816 menyatakan, “…Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorang pun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak, bahkan diambil orang untuk kepentingannya.”
Bila sejak 1816 saja keberadaan Benteng di Tangerang sudah rusak dan tidak terurus, rasanya bisa dimaklumi jika saat ini wujudnya sudah tidak ada. Apalagi pusat Kota Tangerang saat ini sudah sesak dengan perkantoran, pusat bisnis, dan permukiman penduduk.
Bukan hal mudah untuk mencari jejak Benteng tersebut. Beruntung sebutan Benteng untuk Kota Tangerang tetap lekat, sebagai pengingat bahwa pernah ada Benteng pertahanan berdiri di sana.
(wib)
Wasis Wibowo
No comments:
Post a Comment