Akhir Tragis Cucu Abu Bakar, Lehernya Dipenggal Lalu Disalib
ABDULLAH bin Zubair atau Ibnu Zubair adalah putra dari pasangan Zubair bin Awwam dan Asma binti Abu Bakar . Zubair juga merupakan keponakan dari istri pertama Nabi Muhammad, Siti Khadijah .
Ada kisah menarik antara Abdullah bin Zubair, saat masih anak-anak, dengan Umar bin Khattab . Kisah ini bermula ketika Umar sedang berjalan-jalan di kota Madinah. Ketika itu banyak anak kecil yang sedang bermain di jalan, namun ketika mereka melihat Umar, anak-anak itu lari tunggang langgang meninggalkan jalanan tersebut.
Hanya saja, ada satu anak yang tidak lari. Umar lalu mendekati anak tersebut dan bertanya, "Hai anak, kenapa kau tidak ikut lari bersama mereka ? "
Anak kecil itu menjawab, "Kenapa aku harus lari, sedang aku tidak bersalah padamu?"
Umar lalu menepuk-nepuk pundak anak itu, dan berkata "Sungguh suatu saat nanti, engkau akan menjadi seorang yang besar"
Pada umur 36 tahun, masa khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Zubair bersama dengan adik ibunya, Aisyah binti Abu Bakar , ayahnya Zubair bin Awwam serta sepupu ibunya Thalhah bin Ubaidillah mereka terlibat fitnah besar dan terjadilah Pertempuran Unta atau Jamal di daerah Basrah. Peperangan ini mengakibatkan hampir 20.000 orang muslimin meninggal, termasuk ayahnya sendiri, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubadillah.
Selama masa kekuasaan Muawiyah, Ibnu Zubair tidak aktif dalam politik , tetapi pada masa Yazid I, ia menolak untuk berbaiat terhadap khalifah yang baru.
Setelah kematian Husain bin Ali di Pertempuran Karbala, Ibnu Zubair kembali ke Hejaz, di mana ia menyatakan dirinya sebagai khalifah yang sebenarnya, dan dia mulai membentuk pasukan.
Secepatnya ia mengonsolidasikan kekuasaannya dengan mengirim seorang gubernur ke Kufah. Segera, Ibnu Zubair memantapkan keuasaannya di Iraq, Selatan Arabia dan bagian terbesar Syam, serta sebagian Mesir.
Ibnu Zubair memperoleh keberuntungan yang besar karena ketidakpuasan rakyat terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Salah seorang pendukungnya adalah Muslim bin Syihab, ayah dari Ibnu Syihab al-Zuhri yang kemudian menjadi cendekiawan muslim terkenal.
Di sisi lain, Yazid mencoba untuk menghentikan pemberontakan Ibnu Zubair dengan menyerbu Makkah pada tahun 64 H, ia mengirim pasukan yang dipimpin oleh Husain bin Numair.
Pada saat pengepungan Makkah, Husain menggunakan katapel. Peluru katapel ini pernah menghancurkan Ka'bah. Tetapi karena mendengar kematian Yazid yang tiba-tiba, maka Husain bin Numair menghentikan pengepungan tersebut dan kembali ke Damaskus. Maka Ibnu Zubair dapat terbebaskan dan ia membangun kembali Ka'bah yang berantakan karena serbuan pasukan Umayyah. Kematian Yazid yang tiba-tiba ini mengakibatkan pula makin berantakannya kekuasaan Bani Umayyah dan perang saudara antar Bani Umayyah.
Hal ini mengakibatkan kekuasaan Islam terbagi menjadi dua bagian dengan dua khalifah yang berbeda, tetapi hal ini tidak bertahan lama. Perang saudara Umayyah dapat disudahi, dan Mesir dan Syria diambil alih oleh Marwan I. Pemberontakan Khawarij di Iraq terhadap Ibnu Zubair pun terjadi, hal ini mengakibatkan kekuasaan Ibnu Zubair hanya dapat bertahan di Hejaz.
Tentu saja, Banu Umaiyah terus berjuang menaklukkan Ibnu Zubair. Mereka melancarkan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan. Hingga akhirnya datanglah masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik menunjuk Hajjaj ats-Tsaqafi untuk menyerang Makkah.
Hajjaj ats-Tsaqafi dikenal bengis, buas dan kejam. Mengenai pribadi jenderal perang Banu Umayah ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan: "Andainya setiap ummat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedang kami hanya datang dengan kesalahan Hajjaj seorang saja, maka akan lebih berat lagi kesalahan kami dari mereka semua..!"
Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang upahannya, Hajjaj datang memerangi Makkah. Dikepungnya kota itu serta penduduknya, selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapat makanan dan air, dengan harapan agar mereka meninggalkan Ibnu Zubair sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara.
Karena tekanan bahaya kelaparan itu banyaklah yang menyerahkan diri. Ibnu Zubair pun menjadi sendiri. Namun, walaupun kesempatan untuk meloloskan diri dan menyelamatkan nyawanya masih terbuka, tetapi Ibnu Zubair memutuskan akan memikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Maka ia terus menghadapi serangan tentara Hajjaj itu dengan keberanian yang tak dapat dilukiskan, padahal ketika itu usianya telah mencapai tujuh puluh tahun.
Percakapan
Dan tidaklah dapat kita melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali jika kita mendengar percakapan yang berlangsung antara Abdullah dengan ibunya yang agung dan mulia itu, Asma' binti Abu Bakar, yakni di saat-saat yang akhir dari kehidupannya. Ditemuinya ibunya itu dan dipaparkannya di hadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitupun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi.
Kata Asma kepadanya: "Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu! Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, maka sabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabisan.”
“Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah. Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas bersamamu!"
Ujar Abdullah: "Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya. Dan sekali-kali tidaklah anakanda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas."
Kata Asma pula: “Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya, Engkau terima disertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubeir ini, pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur ... !"
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal. Dan beberapa saat kemudian, Abdullah bin Zubeir terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, hingga syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya.
Peristiwa itu menjadikan Hajjaj kuasa Abdul Malik bin Marwan berkesempatan melaksanakan kebuasan dan dendam kesumatnya, hingga tak ada jenis kebiadaban yang lebih keji kecuali dengan menyalib tubuh syahid suci yang telah beku dan kaku itu.
Bundanya, wanita tua yang ketika itu telah berusia sembilan puluh tujuh tahun, berdiri memperhatikan puteranya yang disalib. Dan bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia tegak menghadap ke arahnya tanpa bergerak. Sementara itu Hajjaj datang menghampirinya dengan lemah lembut dan berhina diri, katanya: "Wahai ibu, Amirul Mu'minin Abdulmalik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan baik. Maka adakah kiranya keperluan ibu?”
Bagaikan berteriak dengan suara berwibawa wanita itu berkata: "Aku ini bukanlah ibumu. Aku adalah ibu dari orang yang disalib pada tiang karapan!”
Tiada sesuatu pun yang kuperlukan dari padamu. Hanya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadis yang kudengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabdanya:
"Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang durjana ...! Adapun si pembohong telah sama-sama kita ketahui. Adapun si durjana, sepengetahuanku hanyalah hamu!"
Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu datang menghiburnya dan mengajaknya bersabar. Maka jawabnya: "Kenapa pula aku tidak akan sabar, padahal kepala Yahya bin Zakaria sendiri telah diserahkan kepada salah seorang durjana dari durjana-durjana Bani Isra'il."
Oh, alangkah agungnya anda, wahai puteri Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu 'anhu! Memang, adakah lagi kata-kata yang lebih tepat diucapkan selain itu kepada orang-orang yang telah memisahkan kepala Ibnu Zubeir dari tubuhnya sebelum mereka menyalibnya!
Tidak salah! Seandainya kepala Ibnu Zubeir telah diberikan sebagai hadiah bagi Hajjaj dan Abdul Malik, maka kepala Nabi yang mulia yakni Yahya 'alaihissalam dulu juga telah diberikan sebagai hadiah bagi Salome, seorang wanita yang durjana dan hina dari Bani Israil! Sungguh, suatu tamsil yang tepat dan kata-kata yang jitu.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment