Benarkah Raja dan Bangsawan Jawa Kadrun?

 

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920.

Foto: Gahetna.nil
Beranikah kalian sebut raja dan bangsawan Jawa Kadrun?
Muhammad Subarkah, jurnalis Republika.
Hari-hari ini negara kita memang terbelah dengan fakta olok-olokan yang meluas, yakni antara Kadrun (kadal gurun) dan kampret. Model pembelahan ini muncul dan marak sejak persaingan politik perebutan kursi gubernur DKI Jakata, hingga semakin eksis dalam putaran dua pilpres terakhir. Sebutan kadrun untuk menyebut mereka yang bersemangat sama Islam dengan dianggap ke Arab-araban, yang kampret untuk mereka yang terpengaruh budaya di luar itu (anti Islam).

Dan bila dilihat dari kajian sejarah fenomena ini juga bukan hal luar biasa. Bahkan sudah terjejak merupakan agenda lama sejak zaman kolonial, yakni seusai perang Jawa (1825-1830). Kala itu kolonial berusaha keras memisahkan Islam yang ternyata merupakan alat yang paling efektif untuk menggalang perlawanan rakyat. Tak hanya membuat skema permisahan politik antara bangsawan dan pesantren (umat Islam), mereka juga berusaha keras mencabut Islam dari benak sejarah orang Jawa. Tak hanya bikinkan pendidikan dan sistematika sejarah, kolonail juga  buatkan lembaganya.

Namun, usaha itu tentunya tak berlangsung mulus setelah datang kemerdekaan. Bahan ketika muslim mulai terdidik, pada tahun 1980-an muali muncul kajian yang menguliti agenda itu. Salah satunya dari DR Aqib Suminto, yang menulis berita Politik Islam di Hindia Belanda. Setelah itu muncul banyak peneliti lain yang juga mengulitinya. Sosok terdepan ada pada sejarawan Australia MC Ricklefs dan pakar filologi Amerika Serikat, Nancy K Florida.

Dan bagi Muslim Indonesia, situasi pertarungan 'olok-olokan' dalam perkembangan mutakhir mirip sekali dengan apa yang terjadi sebelum geger pemberontakan PKI 1965. Kala itu ajaran dan sosok Islam dilecehkan habis-habisan. Ada kisah sandiwara 'Gusti Allah Mantu', Haji menjadi termasuk anggota tujuh setan desa, pesantren disebut kandang bobrok, santri sebagai orang yang disebut kumpulan orang penderita penyakit gudig.

                       *****

Gambaran peyoratif ini bertolak belakang dengan situasi yang terjadi pada Jawa seblum 1830, yakni pada rentang 'awal' pendirian Kerajaan Mataram. Para bangsawan dan raja semua akrab sekali dengan ajaran Islam. Bahkan Ustaz Salim Fillah dari Yogyakarta, mengatakan Pendiri Kesulatanan Yogyakarta adalah keturunan Arab. Sultan Hamengku Buwono itu punya darah Arab dari ibunya dari kalangan Basyaiban.

Uniknya, apa yang dikatakan Salim Fillah berseuain dengan pernyataan pengamat keagamaan yang merupakan murid langsung MC Ricklef: Fachry Ali. Dia mengatakan dengan mengutup laporan dari duta VOC ke Mataram pada masa Amangkurat I, R. Van Goens.''Rudolf Van Goens kala itu menceritakan raja dan bangsawan Mataram memang beda dengan rakyat pribumi. Mereka tinggi besar dan punya kulit berbeda dengan pribumi Jawa yang kecil-kecil. Mereka ganteng-ganteng,'' kata Fachry.

Ketika soal ini ditanyakan kepada sejarawan UI DR Didik Pradjoko, mengatakan apa yang dikatakan Fachry sangat mungkin. Itu karena leluhur para bangsawan itu memang orang pesisir yang bercampur baur dengan pendatang. Jadinya wajar kalau mereka beda dengan pribumi Jawa yang ada di pedalaman.

Keterangan foto: Santri Jawa.

                         ****

Lalu apa buktinya bila para raja dan bangsawan Mataram itu kental dalam memeluk agama Islam? Salah satunya jawabnya adalah pada sejarawan kolonial DR. HJ De Graaf yang sangat tersohor itu. Dalam bukunya 'Puncak Kekuasaan Mataram' dia menulis soal sosok dan pemanpilan Raja Mataram terbesar Sultan Agung seperty yang ditulis dalam laporan H. de Haen yang kala itu berkunjung ke Mataram.

Dia pada tahun 1662 menulis begini: Pangeran Ingalaga ini adalahseseorang yang berada dalam puncak kehidupannya, berusia sekitar 20 atau 30 athun, berbadan bagus, Sejauh pengamatan kami, sedikit lebih hitam dari pada rata-rata orang Jawa, hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, dan lamban bila berbicara, berwajah tenang dan bulat tampaknya cerdas. Memandang sekelilingnya seperti singa.

Pakaian raja juga menarik perhatiannya: pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian orang Jawa lainnya, dengan kopiah dan kain linen di kepala, dengan kain buatan negeri menutup badannya yang dilukis putih-biru dengan keris di badan bagian depan dengan ikat pinggang dari emas yang disebut sabuk. Pada jari-jarina terlihat cincin dengan banyak intan yang gemerlapan.

Atas gambar itu De Graaf kemudian menjelaskan: Kopiah dan linen hampir dapat dipastikan adalah kuluk putih, yang sejak masuknya Islam dipakai oleh mereka yang taat atau yang ingin dianggap taat beribadat. Kain yang dilukis dalah kain dalam negero yang dibatik.

Keris di sini dipakai di sisi depan, berlainan dengan kebiasaan kemudian. Tentang penutup badan bagian atas atau tentang alas kaki tidak ada berita.

Pada 1624, utusan Jan Vos memperhatikan raja: Selain kuluk putih, juga memakai sebagai kain serasse gobar, jadi sebuah 'sebuah kain serasah kebar', sebuah kain batik panjang dari Koromandel dengan mosaik panjang 5,10 m dan lebar 64 cm... Raja memakai terompah darikayu, seperti yang sekarang dipakai orang Muslim yang saleh. 

Mengenai soal ketaatnya pada ajaran Islam, pada 1624 dia melihat orang dengan mengenakan janggut panjang ada di sekitar raja: Orangnya sopan, berbadan gagah ini adalah 'para imam Arab atau penghulu kepala' karena orang Jawa berjanggut panjang jarang dijumpai.

Raja kala itu pun secara teratur pergi ke Masjid. Para pembesar wajib mengikutnya. Juga pada gerebk pusa 9 Agustus 1622, Raja pergi ke masjid meskipun itu bukan tahun Dal. Rupanya Sultan Agung tiap tahun menghadiri perayaan tersebut. Juga sebelum 1533, tawanan perang harus dikhitan dengan ancaman hukuman mati.

Graaf kemudian menulis: Demikianlah, ada beberapa petunjuk, sejak sebelum berlakunya tarikh Islam, Raja Mataram sungguh-sungguh mentaatu peraturan agama Islam. Bahwa setelah dewasa ia menjadi lebih keras dalam hal ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap sekelilingnya, itu tidak mengherankan. Hingga kini di keraton-keraton itu masih ada pangeran lanjut usia menjadi lebih saleh.

Kenyataan ini berlanjut hingga era Pakubuwana ke IV di Mataram Surakarta yang hidup sezaman dengan Pangeran Dipanegara di Mataram Yogyakarta. Kedua bangsawan ini begitu taat pada ajaran Islam bahkan sejak kecil belajar di pesantren dan pengikut tarekat syatariah.

Khusus untuk Pakubuwana ke IV malah lebih unik. Meski dia raja Jawa dia dalam kesehariannya memakai serban dan jubah. Dia juga memberikan khotbah Jumat di Masjid Keraton. Rakyat Mataram pun menyebutnya sebagai 'Sultan Wali'. Pakubuwana IV meninggalkan banyak tembang yang berisisi ajaran Islam. Selain itu semua bangsawan Jawa saat itu adalah pengikut tarekat Syatariah. Contohnya misalnya ada pada sosok bangsawan Arunbinang, yang merupakan birokrat terkemuka di Kraton Surakarta.

Genap Berusia 263 Tahun, Ini Foto 4 Ikon Kota Yogyakarta Dulu dan Sekarang

Keterangan foto: Perayaan maulid nabi (Sekaten) di Keraton Yogyakarta pada tempo dulu.

                        *****

Nah, situasi inilah yang kemudian berubah setelah kekalahan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Sebagai pemenang Kolonial Belanda kini menggembang mutlak kerajaan Mataram. Mulai dari sinilah Islam berusaha dipisahkan dalam masyarakat Jawa dan kemudian menyebarluarkan idiom baru bahwa Jawa itu bukan Islam, melainkan Hindu-Budha. Aksioma inilah yang kemudian disebut Nancy K Florida sebagai omongan orang 'nglindur' (mengigau).

Jadi dari sanalah asal usul maraknya sebutan peyoratif terhadap Islam yang kini disebut sebagai 'kadrun itu'. Contoh ini jelas sekali misalnya dalam pembuatan dan penyebarluasan kitab 'Gatoloco' yang terbit di Kediri. Kawasan ini berada di lerang gunung Semeru dan dikenal pula sebagai pusat penyebaran agama Kristen di Jawa. bersama wilayah Jombang.

Suluk Gatholoco, Cara Berdialog Dengan Sang Pencipta Melalui Hubungan Seks  - MerahPutih

Jadi masihkah berani menyebut para raja dan bangsawan Kesultanan Mataram itu identik dengan 'kadrun'? Kalau berani, maka itu sisa pikiran kolonial yang masih tersisa sampai sekarang.Rol 

No comments: