Hajar Aswad (2): Tragedi Berdarah Batu Hitam dari Masa ke Masa
HAJAR ASWAD sudah tak orisinil lagi. Batu hitam ini awalnya seputih susu, menjadi legam karena tercemar dosa-dosa manusia. Batu dari surga ini pun sempat menjadi rebutan, pernah dijarah dan dirusak.
Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun 317 H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid, Hajar Aswad menjadi delapan bongkahan kecil. Rusak akibat dalam pengambilannya dengan cara mencongkel dari tempatnya
Adalah Abu Thahir , Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan peperangan terhadap kaum Muslimin.
Kisahnya, pada musim haji tahun 317 H, tepatnya pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji yang menjadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.
Ia memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang lelaki memukul dan mencongkelnya. Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumbar : “Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?”
Abu Thahir menuju daerahnya dengan membawa Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.
Perbuatan Abu Thahir al Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dikatakan: “Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya”.
Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapnya pada tahun 339 H. Pada saat mengungkapkan kejadian tahun 339 H, al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula.
Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin. Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan.
Pada tahun 339 H, sebelum mengembalikan ke Makkah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah, dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat menyaksikannya.
Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : “Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar”.
Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Makkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di Makkah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H.
Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa unta. Punuk-punuk unta sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam perjalanan.
Jauh sebelum peristiwa Qaramithah, Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan Kerajaan Arab Saudi dalam situsnya menyebut, ada beberapa peristiwa terkait batu hitam ini.
Pertama kali yang meletakkan Hajar Aswad adalah Nabi Ibrahim AS dan batu itu diyakini sebagai permata yang berasal dari Surga.
Ketika Bani Bakar bin Abdi Manaf bin Kinanah bin Ghaisyan bin Khaza'ah mengusir keturunan Jurhum dari wilayah Makkah, Amr bin Harits bin Madhadh Al Jurhumi membawa serta dua patung emas kepala rusa dan Hajar Aswad dan dipendam di sumur Zamzam, seterusnya mereka berangkat menuju Yaman.
Namun, pemendaman Hajar Aswad di dalam sumur Zamzam tidak bertahan lama karena seorang wanita dari Bani Khaza'ah memberitahukan kepada kaumnya bahwa dia melihat orang Jurhum memendam Hajar Aswad di sumur tersebut. Kemudian, mereka meletakkan Hajar Aswad kembali ke tempatnya. Hal ini terjadi sebelum pembangunan oleh Qushay bin Kilab.
Pada 606 M, ketika Makkah kebanjiran yang menyebabkan kerusakan pada Ka'bah, banyak kabilah Quraisy yang bersengketa mengenai orang yang harus meletakkan batu mulia ini ke tempatnya. Setelah disepakati, orang yang harus meletakkannya adalah orang yang pertama kali masuk ke Ka'bah. Rasulullah SAW menggelar sebuah kain persegi empat, dan para pemimpin kabilah diminta untuk memegang setiap sudut kain tersebut, lalu Rasulullah SAW meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya.
Baca juga: Tak Ada Desak-desakan dan Cium Hajar Aswad
Sekitar 180-an H, Abdullah bin Zubair memasang lingkaran pita perak di sekeliling Hajar Aswad. Pemasangan pita perak itu dilakukan agar Hajar Aswad tetap utuh dan tidak mudah pecah. Pemasangan pita perak berikutnya dilakukan pada 189 H, ketika Sultan Harun ar-Rasyid berkuasa.
Kemudian pada 990 H datang seorang laki-laki asing (bukan orang Arab) membawa sejenis kapak dan dipukulkannya ke Hajar Aswad, Pangeran Nashir menikamnya dengan belati hingga mati.
Tahun 1268 H, Sultan Abdul Majid, Khalifah Utsmaniah (1225-1277 H/1839-1861 M), menghadiahkan sebuah lingkaran emas untuk dililitkan pada Hajar Aswad, sebagai pengganti lingkaran pita perak yang telah hilang.
Lingkaran emas itu kemudian diganti semula dengan lingkaran perak oleh Sultan Abdul Aziz, Khalifah Utsmaniah (1861-1876 M).
Pada 1331 H, atas perintah Sultan Muhammad Rasyad (Muhammad V, memerintah pada 1909-1918), lingkaran pita perak itu diganti dengan lingkaran pita perak yang baru. Untuk menjaga dan mengekalkan keutuhannya, Hajar Aswad sering dililit dan dilingkari dengan lingkaran pita perak.
Peristiwa lain yang pernah terjadi adalah ketika di akhir bulan Muharram 1351 H datang seorang laki-laki dari Afghanistan. Ia mencungkil pecahan Hajar Aswad dan mencuri potongan kain Kiswah serta sepotong perak pada tangga Ka'bah. Penjaga masjid mengetahui perbuatan itu kemudian menangkapnya, dia pun dihukum mati.
Pada 28 Rabiul Akhir 1351 H datang Raja Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al Faisal As Saud ke Masjid al-Haram dalam rangka perekatan pecahan Hajar Aswad akibat perbuatan tentara terkutuk tadi. Perekatan tersebut dilakukan setelah diadakan penelitian oleh para ahli untuk menentukan bahan khusus yang digunakan untuk merekat batu pecahan Hajar Aswad, yaitu berupa bahan kimia yang dicampur dengan minyak misik dan ambar.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment