Hukum Memasuki Gereja Menurut Mazhab Syafi'iyah
Ustaz DR Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ulama terkait hukum seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah lain. Namun, mayoritas para ulama, baik dari kalangan Mazhab Syafi'iyyah maupun mazhab lainnya seperti Hanafiyyah sepakat menghukumkan haram dan melarang untuk memasukinya, terlebih mengikuti perayaan dan berkhutbah di sana.
Bahkan, para imam Mazhab Hanafiyyah menyatakan Haram secara mutlak, sebagaimana pandangan Ibn Najm di dalam kitab:"البحر الرائق" (7/364) dan Kitab "حاشية ابن عابدين" (2/43)".
Sedangkan menurut pandangan para imam mazhab dari kalangan Syafiiyyah sendiri, seperti Imam Syahibuddin ar-Ramli di dalam karyanya: Nihayatul Muhtaj نهاية المحتاج (2/63) pun juga mengharamkan bagi seorang muslim yang memasuki gereja, dengan perkataan beliau:
"...لأنها مأوى الشياطن يمتنع علينا دخولها عند منعهم لنا منه وكذا إن كان منها صور عظيمة..."
Pandangan para imam Mazhab Syafi'iyyah lainnya yang juga menyatakan keharaman memasuki gereja adalah Imam Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalli dalam karyanya:
حاشيتا قليوبي وعميرة على شرح المحلي " (4/236)
Pandangan terkait keharaman seorang muslim memasuki gereja, terlebih memberikan khutbah dan mengikuti perayaan mereka juga didukung hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Umar Ibn Khattab, Nabi bersabda:
روى البيهقي بإسناد صحيح عن عمر رضي الله عنه قال : "... ولا تدخلوا على المشركين في كنائسهم ومعابدهم فإن السخطة تنـزل عليهم"
Diriwayatkan dari Umar Ibn Khattab dengan sanad yang sahih dari Umar Ibn Khattab, Nabi bersabda: "Janganlah kalian memasuki gereja-gereja peribadatan musyrikin serta ritual peribadatan mereka, sebab kemurkaan Allah atas mereka."
Demikian kajian yang kami peroleh dari berbagai referensi kitab-kitab Fiqh Syafi'i agar menjadi pengetahuan dan kesadaran bagi kita bersama. Intinya, bukan soal toleransi yang dilarang, tapi soal hukum normatif Fiqhiyyahnya yang dilanggar batasannya.
Apakah toleransi harus mencampuradukkan antara dua keyakinan yang jelas berbeda menjadi sama? Sepertinya Islam tidak mengajarkan seperti itu. Batasannya jelas "Laakum diiinukum walayaddin" (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat dan pandangan tentang hukum dan dalil pada ulama yang memperbolehkan atau memakruhkan, semuanya kembali kepada pilihan masing-masing.
Wallahu A'lam
(rhs)SINDOnews
No comments:
Post a Comment