Mau Ikut Ki Hajar Dewantara, Ubahlah UI jadi Pesantren
DALAM pidatonya, 2 Mei 2021, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, menyatakan tekadnya untuk mengikuti pemikiran Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Kata Nadiem Makarim: “Mulai hari ini, pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia tersebut haruslah kita jiwai dan kita hidupkan kembali agar lekas tercipta pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia, serta terwujudnya kemerdekaan belajar yang sejati.”
Menyimak pidato Mendikbud Ristek tersebut, patutlah kita bertanya, apakah selama ini pemikiran Ki Hajar Dewantara tidak dijiwai dan tidak dihidupkan untuk diikuti? Padahal, Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei, ditetapkan berdasarkan hari lahir Ki Hajar Dewantara. Bahkan, semboyan Pendidikan Nasional pun mengutip kata-kata Ki Hajar: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.”
Tapi, baiklah, kita menghargai tekad pemerintah untuk memajukan Pendidikan Nasional, dengan – katanya – mau mengikuti pemikiran Ki Hajar Dewantara. Akan tetapi, patutlah disadari, bahwa jika tekad itu benar-benar mau diwujudkan, maka – menurut hemat saya — pemerintah seyogyanya membuat sejumlah “Pondok Pesantren”, sebagai model pendidikan nasional yang ideal. Sebab, itulah gagasan Ki Hajar Dewantara.
Gagasan itu dituangkan oleh Ki Hajar, pada bulan November 1928, di Majalah Wasita, Jilid I No.2. Dalam artikel berjudul “Sistem Pondok dan Asrama Itulah Sistem Nasional”, Ki Hajar menulis, bahwa hakikat pondok pesantren adalah terjadinya proses interaksi intensif antara Kiai dan santri, sehingga terjadi proses pengajaran dan pendidikan.
“Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau jaman kabudan dinamakan “pawiyatan” atau “asrama”. Ada pun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumah Kiai guru (Ki Hajar), yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat rumah pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan,” demikian kata Ki Hajar Dewantara (Lihat, buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 2013, cetakan kelima, hlm. 370-371).
Dalam tulisan itu, Ki Hajar menyebut, bahwa di pondok pesantren, pengajaran (onderwijz) dan pendidikan (opvoeding), selalu saling terkait atau berhubungan. Pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai akhlak, sedangkan pengajaran adalah proses alih ilmu pengetahuan. Dalam istilah pendidikan, paduan antara pengajaran dan pendidikan, disebut sebagai “ta’dib”.
Dalam berbagai tulisannya, Ki Hajar Dewantara menekankan, bahwa inti sari pendidikan adalah proses penanaman adab dan kesusilaan. Ia mengecam keras pendidikan model Barat yang hanya menekankan pada aspek intelektualitas. Ia mengkritik kaum bangsawan yang lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan aspek intelektual dan aspek fisik semata. Tujuan Pendidikan semacam itu hanya untuk mendapatkan ijazah, yang hanya memungkinkan para siswa menjadi buruh.
Dan patut dicatat, Ki Hajar sangat kritis terhadap sistem pendidikan Eropa yang mengabaikan kecerdasan budi pekerti, hingga menimbulkan penyakit “intelektualisme”, yakni mendewa-dewakan angan-angan. Kata Ki Hajar: “Semangat mendewa-dewakan angan-angan itu menimbulkan “kemurkaan diri” dan “kemurkaan benda”; kemurkaan diri dan kemurkaan benda, atau “individualisme” dan “materialisme” itulah yang menyebabkan hancurnya ketenteraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat.” (Ibid, hlm. 149).
Bukan hanya itu, sistem Pendidikan Barat, menurut Ki Hajar Dewantara, akan membawa bangsa kita terus bergantung kepada bangsa-bangsa Barat: “Pendidikan dalam semangat kolonial telah mencegah terciptanya masyarakat sosial mandiri dan merdeka lahir batin, hanya menghasilkan suatu kehidupan yang tergantung kepada bangsa-bangsa Barat.”
*****
Karena itulah Ki Hajar Dewantara sangat menekankan makna “mendidik” dan “Pendidikan”. “Mendidik”, menurut Ki Hajar, “Berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.” (Ibid, hlm. 482).
Sedangkan “Pengajaran adab”, menurut Ki Hajar Dewantara, bermaksud memberi macam-macam pengajaran, agar sewutuhnya jiwa anak terdidik, bersama-sama dengan pendidikan jasmaninya. (Ibid, hlm, 467). Karena itu, hakikat “pendidikan” adalah: “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” (Ibid, hlm. 20).
Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara, intisari pendidikan adalah penanaman adab untuk membentuk manusia yang berpribadi dan beradab, dan pondok pesantren merupakan sistem ideal yang dapat mewujudkan tujuan pendidikan tersebut.
Karena itu, sudah sepatutnya, pondok pesantren menjadi perhatian serius dari pemerintah. Dalam hal ini, bukan hanya menjadi kewenangan Kementerian Agama, tetapi juga menjadi kewenangan Kemendikbud Ristek. Pemerintah perlu membangun pondok-pondok pesantren ideal yang bisa dijadikan sebagai model pondok pesantren ideal.
Sebenarnya, saat ini, ada sejumlah pesantren milik pemerintah yang bisa dikembangkan menjadi pesantren model, atau pesantren percontohan, seperti Madrasah Insan Cendekia di Serpong dan berbagai tempat lainnya. Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri – seperti IPB – juga telah menerapkan model Pendidikan pesantren, meskipun hanya berlangsung setahun, dan belum menggunakan konsep pendidikan pesantren, sebagaimana seharusnya.
Sebab, menurut saya, dalam sejarah Pendidikan Islam, pesantren memiliki – setidaknya – enam rukun: (1) Ada keteladanan pimpinan dan guru (2) pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid-din), (3) Penanaman jiwa merdeka dan mandiri (4) Penanaman nilai-nilai perjuangan (5) Pengutamaan adab atau akhlak mulia, dan (6) Penanaman rasa cinta dan kepedulian terhadap NKRI dan kondisi masyarakat.
Jika gagasan ini dikembangkan, maka sudah saatnya, kampus-kampus di Indonesia mengembangkan diri menjadi pondok pesantren. Maka, insyaAllah, akan muncul nama-nama: Pesantren UI, Pesantren ITB, Pesantren Universitas IPB, Pesantren UGM, Pesantren Unpad, Pesantren Unair, Pesantren Undip, Pesantren ITS, Pesantren USU, Pesantren Universitas Andalas, Pesantren Unsri, Pesantren Unhas, dan sebagainya.
Konsep Pendidikan berbasis adab inilah yang sangat ditekankan juga oleh para tokoh Pendidikan lainnya, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, dan sebagainya. Mereka sangat menekankan pentingnya penanaman adab dan akhlak dalam proses Pendidikan. KH Hasyim Asy’ari menjelaskan lebih mendalam dan sistematis masalah ini dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim.
Meskipun tidak menulis kitab khusus tentang adab, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, misalnya, dikenal memiliki adab yang tinggi dalam mendidik para muridnya. Selain memberikan teladan, beliau juga tak henti-hentinya memberikan motivasi dan inspirasi dalam perjuangan. Sampai-sampai Bung Karno mengakui, ketika berusia 15 tahun, ia sudah “menginthil Kiai Dahlan”.
Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan pun, sangat menekankan adab guru-murid dalam pendidikannya. Ia menulis buku berjudul “Kesopanan Tinggi”, dan juga diktat berjudul “Hai Poetrakoe!” (tahun 1946). Raja Ali Haji menggubah pentingnya masalah adab dan akhlak ini dalam Gurindam 12. Dan sebagainya.
Jadi, jika Menteri Nadiem Makarim, serius mau menghidupkan dan mengikuti konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, sudah ada cara praktisnya. Tentu saja, pesantren model saat ini harus dikembangkan dan diaktualkan dengan tantangan era industri 4.0. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 3 Mei 2021).*
Penulis peneliti INSISTS, pengasuh Pesantren Attaqwa College-Depok (ATCO). Rep: Admin Hidcom
No comments:
Post a Comment