Saat Perayaan Idul Fitri dan Idul Adha Ditiadakan Spanyol
Lembaga Inkuisisi, yang didirikan sejak 1478, dipakai sebagai alat pukul. Walaupun Inkuisisi sejatinya adalah pengadilan gerejawi, paus menyerahkan pelaksanaannya kepada masing-masing negara Katolik. Ribuan orang tercatat sebagai korban, termasuk mereka yang mengaku telah meninggalkan iman semula karena masih saja dituding penguasa sebagai pura-pura Katolik.
Raja dan ratu tersebut juga berupaya menghapus jejak-jejak kebesaran Islam di al-Andalus. Memang, usaha keduanya bukanlah hal yang baru. Raja Castile-Leon, Alfonso VI, setelah menaklukkan Toledo pada 1085 memaklumkan misi penaklukkan kembali atau Reconquistaatas seluruh Semenanjung Iberia dari tangan Islam.
Puluhan kali kerajaan-kerajaan Katolik melakukan pertempuran untuk meruntuh kan kedaulatan Muslimin dari kawasan tersebut. Barulah sejak kerajaan Aragon bersatu dengan Castile-Leon yang ditandai dengan pernikahan antara Ferdinand II dan Isabella I pada 1469-misi tersebut semakin santer. Granada pun menjadi thaifa terakhir di Andalusia.
Maka, tidak ada lagi perayaan hari- hari besar Islam, seperti Idul Adha atau Idul Fitri, di Spanyol. Sebaliknya, dengan semangat Reconquista Ferdinand II dan Isabella I menjadikan Diadela Toma sebagai hari libur nasional. Perayaan yang jatuh tiap tanggal 2 Januari itu menjadi momen pengingat jatuhnya Granada ke tangan Kristen, tepatnya pada 2 Januari 1492. Bahkan, hingga kini selebrasi tersebut masih digelar secara rutin tahunan oleh sebagian masyarakat Spanyol.
Sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16, kaum Muslimin Andalusia tidak tinggal diam terhadap kekejaman Spanyol. Dapatlah dipahami bahwa tujuan akhir metode Inkuisisi bukanlah kristenisasi, melainkan pengusiran seluruh umat Islam dari Iberia.
Berbagai perlawanan pun bergelora di kota-kota di Spanyol. Akan tetapi, rezim setempat dapat memadamkan satu per satu pemberontakan yang terjadi. Sering kali, penguasa menggunakan cara-cara yang sangat kejam dan jauh dari rasa kemanusiaan, semisal membakar orang hidup-hidup.
Dalam situasi demikian, wajar saja bila umat Islam setempat meminta bantuan kepada raja-raja Muslim di luar negeri. Tokoh-tokoh mereka mengirimkan utusan dan surat kepada sejumlah sultan dengan harapan, para penguasa yang seiman itu dapat menyelamatkan penduduk Andalusia dari kezaliman raja dan ratu Katolik ekstrem. Pengiriman duta tersebut menimbulkan kehebohan di dunia Islam.
Tak sedikit pemimpin Muslim yang segera menyampaikan pesan kepada paus di Roma. Petinggi Katolik itu diingatkan, kaum Nasrani di bawah pemerintahan Islam dilindungi kebebasannya dalam beragama dan muamalah.
Mengapa orang-orang Islam di Iberia menerima kezaliman yang luar biasa? Bagaimanapun, paus tampak acuh tak acuh dengan pelbagai protes yang berdatangan. Spanyol seperti dibiarkan untuk membersihkan unsur Islam dari negerinya.
Pada waktu itu, Turki Ottoman belum menyandang titel kekhalifahan.Meskipun demikian, kerajaan Islam itu tetap menjadi salah satu tumpuan harapan kaum Muslimin Andalusia. Mereka berkirim surat kepada raja Utsmaniyah saat itu, Sultan Beyezid II.
Isinya antara lain sebagai berikut, seperti dikutip sejarawan Ali Muhammad ash- Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah(2003), "Semoga Allah memanjangkan umur kerajaan dan hidup Tuan. Semoga Dia menolongmu dengan kemenangan atas musuh, dan menempatkanmu di tempat yang diridhai dan dimuliakan. Kami adukan kepada Tuan semua yang kami alami dan rasakan."
Dalam surat yang sama, mereka juga mengeluhkan hasil diplomasi yang dilakukan kekhalifahan Islam saat itu, Dinasti Mamluk. Kerajaan Islam yang berpusat di Mesir itu memang telah merespons surat penduduk Muslim Andalusia terkait tragedi Reconquista. Sultan Mamluk pun mengirimkan utusan kepada paus dan kerajaan Katolik. Akan tetapi, para pemuka Nasrani setempat tidak menanggapinya secara serius.
No comments:
Post a Comment