Sedih dan Lapar: Ada Apa dengan Lebaran 1960-an dan 2020?

Bung Karno saat membuka Asian Games 1962

Bung Karno saat membuka Asian Games 1962

Foto: wikipedia
Soal kelaparan di awal tahun 1960-an.
Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Ketika semalam menelpon guru besar falsafah Islam sekaligus penyair sufi, Prof DR  Abdul Hadi WM untuk mengucapkan selamat lebaran dan mohon maaf lahir batin, ada pertanyaan yang membuatnya tercekat. Pertanyaan itu adalah: Prof benarkah rakyat Indonesia sekarang banyak yang lapar?

Mengapa pertanyaan ini diajukan? Jawabnya karena siang sebelumnya sempat menelpon ke kampung halaman. Para kerabat berkata jangan khawatir, di kampung aman karena zona hijau dan baru saja panen.’’Di sini panen padi dan sayur melimpah. Alhamdulillah. Bagaimana di tempatmu? Kami justru khawatir kamu kekurangan makan di Jakarta,’’ kata mereka.

Kekhawatiran itu makin menjadi. Ini karena kebetulan pula ada seorang sahabat, Teguh Setiawan, yang baru saja mengeluhkan bila adiknya yang berada di pedalaman Kalimantan dan mengelola kebun sawit kini susah makan. Menurutnya, mobil dan motor mereka memang punya tapi beras susah didapat. Bahkan sempat beberapa hari lalu makan seadanya, sehari sekali.

‘’Ini tragis. Seumur-umur adik saya tak pernah mengeluh susah makan. Kini dia sudah mengaku minta  bantuan buat beli beras. Mau jual mobil yang dipakai mengangkut sawit — bahkan motor yang biasa dipakai ke kebun --  tak bisa karena juga tak ada yang beli. Rakyat petani kebun sawit sama-sama tak punya uang,’’ katanya seraya mengisahkan adiknya yang sudah 20 tahun mengelola kebun sawit.

Bukan hanya itu, kisah Teguh, untuk menanam tanaman pangan di sana juga sangat susah. Karena sawit membuat tanaman lain susah hidup.’’Celakanya lagi, harga sawit yang dulu luar biasa mahal, kini murah sekali. Harganya anjlok. Bahkan untuk biaya petik dan angkut tak menutupi harga jual panen sawit. Akhirnya sawit dibiarkan membusuk dan rontok dari pohon. Tragis sekali,’’ katanya ketika menceritakan kisah nestapa dari sang adik itu.
                           

                                    ******

Nah, kisah kekhawatiran akan merebaknya bencana kelaparan itulah yang kemudian berkelebat di kepala  dan kemudian ditanyakan kepada Prof Hadi selaku orang tua yang sudah melintasi berbagai zaman pemerintahan.

Dan ketika dia hendak menjawab soal ini dari ujung telepon sesaat kemudian terdengar hela nafasnya yang berat. Mengapa? karena menurutnya soal ini mengisahkan zaman dirinya kala duduk di bangku SMA di Surabaya.

‘’Saga ingat waktu itu sekitar tahun 1962. Kala itu baru saja ada Asian Games dan Ganefo di Jakarta yang sangat meriah dan gemanya sampai ke Surabaya. Kami yang kala itu duduk di bangku SMA merasakannya. Apalagi saat itu ada indoktrinasi soal Nasakom dan berbagai ide politik kenegaraan Bung Karno saat itu,’’ kisahnya.

Namun, katanya, terus terang ketika kini ada pertanyaan apakah zaman itu sama situasinya seperti sekarang, jawabnya memang benar adanya. Serupa meski lain era. Apalagi sudah terpisah waktu hampir 60 tahun.

‘’Persis dengan sekarang, Hampir mirip. Tak berapa lama berselang dari acara pesta olahraga tandingan olimpiada Ganefo (The Games of the New Emerging Forces )dan Asian Games, bencana muncul di mana-mana. Gunung Agung meletuslah dahysat. Tak hanya satu kali, bahkan dua kali. Pura Besakih rusak berat. Sampai-sampai Gubernur Bali saat itu mengungikan warganya dengan jadi transmigran ke Lampung, ‘’ kenang Abdul Hadi.

  • Keterangan foto: Unjuk rasa mengeluhkan ketersediaan beras pada 1960-an.
Celakanya, tak cukup dengan bencana kekurangan pangan saat itu juga merebak. Kabar kelaparan di berbagai tempat di Jawa, misalnya Gunung Kidul, Grobogan, dan lainnya — terdengar kencang. Kisah rakyat susah makan atau pun mengganjal perut kosong dengan ‘gaplek’ (singkong yang dikeringkan) menjadi kabar yang umum. Para pegawai negeri di jatah makanan ‘bulgur’.

‘’Situasi ini makin menjadi-jadi ketika terjadi inflasi yang dahysat. Barang-barang naik harganya dengan tak terkendali dan berubah naik alias semakin mahal dalam setiap hari. Pokoknya susah sekali,’’ lanjutnya. Dalam kisah ini ada juga cerita yang mirip ketika ibunya gagal beli 'stagen' gegara inflasi yang menggila dan adanya kebijakan pemotongan uang atau kebijakan 'gunting Sjafruddin'.

Lalu bagaimana situasi politik saat itu? Abdul Hadi menjawab, situasi juga sangat tak menentu, Dan ini memuncak sampai beberapa tahun kemudian, yakni pada peritiwa berdarah G30S PKI di 1965.’’Jadi dalam masa rentang tiga tahun dari tahun 1962, kondisi politik sangat panas. Persaingan ideologi menjadi. Perpecahan di mana-mana.”

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn%3AANd9GcQy7GF65aZoZG3mgOGjo2CM9qIe3tVkawMLqPIjARFxo_s1FCm3&usqp=CAU

Tak hanya itu saja, ungkap Abdul Hadi, organisasi masa, termasuk ormas Islam banyak yang pecah. “Seingat saya ormas semacam Pelajar Islam Indonesia (PII) pecah dua, yang satu pro gerakan komunis yang satunya antikomunis. Singkat kata udara terasa serba panas dan terasa sekali suasana  akan terjadinya pertumpahan darah yang tidak tahu kapan meledaknya.”

Yang paling unik, kisah Abdul Hadi, Bung Karno juga sibuk turun menenangkan suasana. Kritikan dari media massa luar negeri yang mengatakan rakyat Indonesia kepalaran ditolaknya metah-mentah. Kala itu dia sibuk ke luar masuk warung, restoran, dan tempat makan di ibu kota bersama para wartawan. Rupanya Bung Karno ingin menunjukan kepada dunia bahwa kabar rakyat yang kelaparan hanya isapan jempol kekuatan ‘Nekolim’ barat.

‘’Bahkan seingat saya, pada sekitar tahun 1964 ada lagu karya Bung Karno: ‘Bersukaria’. Lagu ini sangat terkenal karena dinyanyikan para penyanyi top seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Rita Zahara, dan Nien Lesmana. Saya sedikit ingat sepenggal liriknya: Siapa bilang bapak dari Blitar, Bapak itu dari Prambanan. Siapa bulang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan,’’ ujar Abdul Hadi dengan nada ringan dan sedikit terkekeh.  Lagu lain yang kala itu terkenal adalah lagu soal Manipol Usdek dengan jargon gayang kepala batu.

Dan ketika hendak mengakhiri pembicaraan Prof Hadi kembali mengatakan situasi sekarang yang terjadi memang amat mirip dengan tahun-tahun pasca penyelenggaran Asian Games  tahun 1962. Dia mengaku kalau ingat situasi itu dia merasa sedih.

‘’Maka bersatulah wahai rakyat Indonesia. Hanya itu yang membuat kita tahan menghadapi tantangan kehidupan,’’ tegasnya.

Terkait kisah ancaman kelaparan Indonesia pada tahun 1960-an, teringat kepada tulisan karya 'Abah Awi Shahab' di Republika pada 6 Agustus 2009. Tulisan ini seperti terkait suasana rakyat pada tahun-tahun awa pasca reformasi 1998, yang kala itu juga sempat terjadi kerawanan pangan. Waktu itu marak sekali bantuan pangan yang disebarkan ke rakyat dalam program dengan nama 'social safety net' (jaringan kesekaamat sosial). Tulisan 'Abah' (panggilan akrab kami Alwi Shahab) begini selengkapnya.

Di Jakarta tiap terjadi kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya membuat suasana ibu kota jadi gawat. Boleh dikata tiap hari terjadi demo dan aksi massa menuntut turunnya harga-harga kebutuhan pokok. Di tengah harga yang makin menjerat kehidupan rakyat itu, demo-demo juga dibarengi masalah politik yang terus memanas akibat politik konfrontasi. Seperti menjelang natal, tahun baru, dan Idul Fitri 1964-1965, harga barang kebutuhan sehari-hari melonjak gila-gilaan. Yang menyedihkan, barang-barang hilang dari pasaran.

Nganteuran dan Munjung, Tradisi Berbagi Makanan Jelang Idul Fitri ...

  • Keterangan: Berbagai makanan menjelang lebaran yang dalam tradisi Betawi disebut  'ngejot'
 Seperti dilaporkan Henk Ngantung, gubernur Jakarta masa itu, ketika alat-alat negara mengadakan penertiban di pasar-pasar, yang terjadi justru beras menghilang dari ibu kota. ”Tidak perlu saya lukiskan bagaimana suasana ibu kota kala itu. Jangankan rakyat yang tidak mampu, yang mampu pun sama nasibnya karena beras menghilang di pasaran,” tulis Henk Ngantung mengenai kesan-kesannya sebagai gubernur DKI dalam buku ”Karya Jaya”.

 Pada masa Gubernur Soemarno, dilakukan dropping beras di kantor-kantor pemerintah, koperasi-koperasi, pasar, hingga ke RT dan RK (kini RW). Pokoknya, pada tahun 1950-an dan 60-an antre-antrean panjang terjadi di banyak tempat di ibu kota. Mereka rela berdesak-desakan hampir tiap hari untuk mendapatkan beras dan sejumlah bahan pokok lainnya, seperti gula dan minyak tanah.

 Seperti juga sekarang melalui Bulog, pemerintah kala itu juga ikut campur menangani distribusi. Pemerintah menganggap tidak mungkin ada perdagangan bebas beras tanpa campur tangan pemerintah, apalagi produksi dalam negeri tidak mencukupi. Anehnya, sekalipun dropping dilakukan harga beras bukannya turun, malah harganya semakin melonjak. Boleh dikata kala itu hampir tiap hari terjadi kenaikan harga beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Kala itu merupakan hal biasa di rumah-rumah orang makan nasi dicampur jagung atau bubur karena mahalnya harga beras.

Sementara, beras dropping untuk Jakarta banyak yang nyasar ke daerah lain. Pemerintah menganggap dropping tidak berjalan efektif bila sistem antre beras tidak diawasi. Apalagi, mereka yang sudah dapat pembagian beras di kantor-kantor ikut-ikutan menikmati dropping. Agar tak sampai dobel menerima jatah beras, pada masa gubernur Soemarno (1960-1965), ia mengeluarkan kartu keluarga khusus pembagian beras. Pegawai negeri tidak berhak lagi untuk menerimanya.

 Di samping beras, melalui kartu khusus ini juga dilakukan pembagian gula, minyak tanah, dan kebutuhan pokok lainnya. Kebijakan ini memang bisa mencegah terjadinya manipulasi beras dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Tapi, sayangnya tidak dapat mencegah kenaikan harga barang-barang tersebut. Boleh dikata harga beras kala itu bukan saja tidak pernah stabil, malah terus merambat naik. Yang menyedihkan, pada saat-saat puasa dan menjelang Idul Fitri warga selalu dirisaukan kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari.

 Bahkan, tekstil kala itu ikut-ikutan menghilang dari pasaran. Yang sering dituding penyebabnya adalah kelompok ‘kapitalis birokrat’ (kapbir) dan kaum spekulan. Kala itu merupakan pemandangan biasa bila para demonstran membawa spanduk di jalan-jalan berbunyi ”Ganyang Kapbir, Ganyang OKB” (orang kaya baru). Atau ”Ganyang Setan Kota dan Setan Desa”. Terutama, demo yang dilakukan kelompok kiri.

 Generasi sekarang mungkin banyak tidak mengenal bulgur. Pertengahan 1960-an bulgur pernah menjadi bahan makanan pengganti beras. Konon, makanan yang di AS menjadi konsumsi kuda ini ketika didistribusikan di Jakarta banyak yang tidak tahu cara memasaknya. Di kira seperti beras, langsung dimasak. Dampaknya banyak yang perutnya kembung dan sakit-sakitan. Penyebabnya, bulgur jadi melar di perut sehingga banyak yang dibawa ke rumah sakit. Seharusnya sebelum dimasak dikukus dulu selama sehari.Rol

No comments: