Islam Membangun Negara Tanpa Pajak dan Utang (3/Tamat)
Membangun negara tanpa pajak dan utang, mungkinkah? Berikut pandangan Islam terhadap penerapan pajak dalam negara dan cara mengelolanya.
Ulasan ini adalah lanjutan dari penjelasan Ustaz Farid Nu'man Hasan terkait pihak yang mengatakan ada kewajiban selain zakat dari rakyat kepada pemerintah. Ini juga menjadi pendapat dari imam 4 mazhab.
Syekh Al-Qaradhawi berkata:
فقهاء من المذاهب الأربعة يجيزون الضرائب العادلة:وبعد أن فندنا كل الشبهات التي يتمسك بها معارضو شرعية الضرائب العادلة، يحسن بنا -لتأكيد ما بيَّناه في هذا الفصل- أن نذكر أن الفقه الإسلامي قد عرف ضرائب غير الزكاة، أعني ضرائب عادلة أقرها جماعة من فقهاء المذاهب المتبوعة، كما عرفوا الضرائب غير العادلة، ورتبوا عليها أحكامًا.لكنهم لم يطلقوا على هذه وتلك اسم "الضرائب" بل سماها بعض الفقهاء من المالكية: "الوظائف" أو "الخراج". وسماها بعض الحنفية: " النوائب " -جمع نائبة- وهى أسم لما ينوب الفرد من جهة السلطان، بحق أو باطل .وسماها بعض الحنابلة: "الكلف السلطانية" أي التكليفات المالية التي يُلزم بها السلطان رعيته أو طائفة منهم.
Ahli Fiqih Madzhab Empat Membolehkan Pajak yang Adil
Setelah kita bantah semua syubhat yang dijadikan pegangan pihak yang menentang digunakannya sistem pajak yang adil. Ada baiknya untuk memperkuat keterangan kita dalam bagian ini, kita katakan bahwa fiqih Islam telah mengenal pajak-pajak selain zakat, yakni pajak yang adil yang telah ditetapkan jamaah ahli fiqih dari madzhab-madzhab yang dianut sebagaimana mereka juga telah mengatahui pajak-pajak yang tdk adil dan menetapkan hukum-hukumnya.
Akan tetapi para ahli fiqih itu memang tidak mengistilahkannya dengan nama "pajak", tetapi sebagian ahli fiqih Maliki menamakannya dengan wazha-if atau kharraj. Sebagaian Hanafi menyebutnya Nawa-ib, jamak dari naaibah, yaitu nama bagi sesuatu yang menggantikan seseorang dari pihak Sultan dengan sesuatu yang hak atau batil.
Sebagian pengikut Hambali menamakannya dengan Kalf as-Sulthaniyah, yaitu beban harta yg diwajibkan sultan trhadap rakyatnya atau kepada sebagian dari mereka. (Ibid)
Samakah Pajak dengan Maks?
Jika diperhatikan definisinya, maka jelaslah maks lebih pas disebut dengan "pajak yang zalim". Tentunya hal itu memang terlarang. Sedangkan yang kita bahas adalah pajak yang adil (Adh-Dhara-ib Al 'Adilah), manusiawi, memiliki maslahat yang jelas, dan memang diambil dari sumber yang baik dan patut, dan disalurkan untuk kepentingan kebaikan pula; seperti belanja negara untuk pembangunan, biaya peperangan, pendidikan, gaji tentara dan guru, dan semisalnya.
Oleh karena itu Imam Adz-Dzahabi menjelaskan tentang muks:
المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق
"Pemungut pajak termasuk di antara pembela kezaliman, bahkan dia merupakan kezaliman itu sendiri, karena dia memungut sesuatu yang bukan semestinya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak. (Al Kabaair, Hal. 115)
Jadi, pendapat yang lebih kuat dan inshaf adalah pajak itu tidak apa-apa selama sesuai prinsip keadilan, inilah pendapat mayoritas ulama, baik klasik maupun kontemporer. Jika rakyat dizalimi karena pajak terlalu banyak dan besar, sehingga mereka merasa tercekik, maka ulama sepakat haramnya.
Syekh Abdullah Al-Faqih (dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 5811), juga mengatakan bahwa pajak yang adil itu boleh dan bekerja di kantor pajak juga boleh, selama untuk kemaslahatan umum seperti jalanan, rumah sakit, sekolah, dan semisalnya. Adapun pajak yang haram adalah pajak yang zalim, jika biaya belanja negara dari sumber lain sudah memadai, maka menurutnya tidak perlu pajak.
"Masing-masing negara kondisinya tidak sama. Di Indonesia, 70% biaya belanja negara diperoleh dari pajak, jika diharamkan secara mutlak maka bisa terjadi kegoncangan. Seandainya kekayaan negeri ini dikelola dengan baik, kita percaya tanpa pajak Indonesia tetap mampu berjalan dan berlari, sebagaimana Arab Saudi," kata Ustaz Farid Nu'man.
Wallahu A'lam
(rhs)
Rusman H Siregar
No comments:
Post a Comment