Jangan Lupakan Koperasi, Berantas Rentenir Dan Riba
Perdagangan tekstil dan perkebunan di Indonesia sepertinya selalu dikuasai asing. Mereka mengeruk sumber daya alam. Dan perdagangan dari hulu hingga hilir pun di kuasai. Akibatnya masyarakat terus digerus dengan kemiskinan. Untuk memecah kebuntuan proses perekonomian rakyat muncullah pergerakan ekonomi yang digagas Serikat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 dengan pimpinan Samanhoedi di Solo.
Latar belakang didirikannya SDI oleh H. Samanhudi di Solo adalah karena adanya keinginan untuk memajukan kepentingan ekonomi para pedagang Islam di Indonesia. Pada saat itu para pedagang keturunan China telah lebih dulu maju usahanya dibandingkan milik pribumi. Sehingga para pedagang China memiliki status yang lebih tinggi dari penduduk Hindia Belanda lainnya. Di bawah pimpinan Haji Samanhoedi, SDI berkembang pesat dan menjadi organisasi paling berpengaruh pada waktu itu.
Kontroversi kamar dagang dan koperasi
Seperti yang ditulis Muskinat, Sarekat Dagang Islam didirikan untuk menghadapi persaingan dagang dengan orang China dan sikap superioritas mereka terhadap orang pribumi sehubungan dengan berhasilnya Revolusi China di kota-kota besar. Para pedagang China mendidirikan Sianghwee (kamar dagang), yang didukung oleh ordonansi pemerintah kolonial Belanda yang menyatakan, bahwa orang China diberi kebebasan bergerak lebih besar demi perubahan dan kepentingan perdagangan.
Dengan demikian, mereka dapat membeli bahan-bahan langsung dari bahan importir. Sebaliknya, dalam kasus usaha batik, misalnya, para pengusaha batik pribumi harus membeli bahan dari pedagang Timur Asing (vreemde Oosterligen) yakni China dan Arab, tetapi sebagian besar pedagang-pedagang perantara ini adalah orang-orang China.. Akibatnya, harga batik dari perusahaan Jawa lebih tinggi dibanding harga batik dari perusahaan Timur Asing, Sehingga dengan sendirinya pedagang China dapat menekan harga batik milik perusahan-perusahaan pribumi.
Ternyata memang sebagian besar perusahaan batik Indonesia telah banyak yang jatuh ke tangan-tangan orang-orang China. Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta dan Semarang tidak lagi dikerjakan batik halus atau batik tulis tetapi batik cap atau batik kasar. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan ini, maka Haji Samanhoedi seorang pengusaha dan pedagang batik dari Surakarta, menyadari bahaya yang semakin mengacam yaitu semakin besarnya pengaruh China di bidang perekonomian ditambah dengan besarnya peluang-peluang yang diberikan pemerintah Belanda kepada pedagang China berupa keringanan-keringanan, dibanding kepada pedagang-pedagang Indonesia sendiri. Hal ini dirasa sangat tidak adil, dan menghambat kemajuan perdagangan pribumi khususnya pedagang batik.
SDI Sebagai Pelopor
Haji Samanhoedi berusaha memperbaiki keadaan untuk itu ia mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Sarekat Dagang Islam (SDI). Mengenai pendirian SDI, banyak pendapat tentang tahun pendiriannya, dalam wawancara Tamar Jaya di Jakarta pada tahun 1955, Haji Samanhoedi memberikan keterangan sebagai berikut:
“Dengan ikhlas, untuk kemurnian sejarah pergerakan Indonesia, dengan ini saya terangkan bahwa Sarekat Dagang Islam di lahirkan pada tanggal 16 Oktober 1905, di rumah saya di kampung Sandokan, Solo dengan delapan orang teman yaitu saudara Soemawardoyo, Wiryotirto, Soewandi, Soeropranoto, Jarmani, Hardjo Soemarto, Soekir, Martodikoro. Inilah panitia pertama pendirian tersebut. Kemudian setelah didapat kata sepakat mendirikan Sarekat Dagang Islam, maka dibentuklah pengurus baru.”
Pergerakan ekonomi yang dilakukan SDI terus berjalan hingga ke daerah-daerah seluruh Indonesia. Dan pola yang dibangun tak lebih dari seperti pebuatan ekonomi yang dinamakan koperasi. Tapi nama yang popular disebut dengan SDI.
Munculnya istilah koperasi
Di Indonesia koperasi mulai diperkenalkan oleh Patih R.Aria Wiria Atmaja pada tahun 1896, dengan melihat banyaknyak para pegawai negeri yang tersiksa dan menderita akibat bunga yang terlalu tinggi dari rentenir yang memberikan pinjaman uang. Melihat penderitaan tersebut Patih R.Aria Wiria Atmaja lalu mendirikan Bank untuk para pegawai negeri, beliau mengadopsi system serupa dengan yang ada di jerman yakni mendirikan koperasi kredit. Beliau berniat membantu orang-orang agar tidak lagi berurusan dengan renternir yang pasti akan memberikan bunga yang tinggi.
Keberadaan lembaga ini di Indonesia diawali tahun 1886 oleh R. Aria Wiraatmadja dan Patih Purwokerto yang mendirikan Hulp en Spaarbank. Lembaga yang menolong kaum priyayi dari cengkraman lintah darat pada masa itu. Ini mendapat dukungan dan menjadi bagian dari pelaksanaan politik etis yang menggunakan model koperasi kredit Raiffeisen.
Seorang asisten residen Belanda bernama De Wolffvan Westerrode, merespon tindakan Patih R.Aria Wiria, sewaktu mengunjungi Jerman De Wolffvan Westerrode menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian.
Sifat gotong royong
Setelah itu badan usaha mulai cepat berkembang di Indonesia, hal ini juga didorong sifat orang-orang Indonesia yang cenderung bergotong royong dan kekeluargaan sesuai dengan prinsip koperasi. Bahkan untuk mengansitipasi perkembangan ekonomi yang berkembang pesat pemerintahan Hindia-Belanda pada saat itu mengeluarkan peraturan perundangan tentang perkoperasian. Pertama, diterbitkan Peraturan Perkumpulan Koperasi No. 43, Tahun 1915, lalu pada tahun 1927 dikeluarkan pula Peraturan No. 91, Tahun 1927, yang mengatur Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi bagi golongan Bumiputra.
Pada tahun 1933, Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan Peraturan Umum Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi No. 21, Tahun 1933. Peraturan tahun 1933 itu, hanya diberlakukan bagi golongan yang tunduk kepada tatanan hukum Barat, sedangkan Peraturan tahun 1927, berlaku bagi golongan Bumiputra.
Setelah jepang berhasil menguasai sebagian besar daerah asia, termasuk Indonesia, system pemerintahan pun berpindah tangan dari pemerintahan Hindia-Belanda ke pemerintahan Jepang. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai, namun hal ini hanya dimanfaatkan Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Sekaligus membentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya.
Usulan M. Hatta
Lalu kita mengenal Moh. Hatta sebagai bapak koperasi. Beliau mengusulkan didirikannya 3 macam koperasi :
Pertama, adalah konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai.
Kedua, adalah produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan).
Ketiga, adalah kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal.
Bung Hatta mengatakan bahwa tujuan koperasi yang sebenarnya bukan mencari laba atau keuntungan, namun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bersama anggotanya.
Sebagaimana dikuti di jurnal.id, dengan rasa peduli Hatta kepada rakyat dan ekonomi Indonesia, Hatta mendorong gerakan ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Menurut Hatta, tujuan negara yaitu memakmurkan rakyat dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan dan bentuk perekonomian yang paling cocok bagi Indonesia adalah ‘usaha bersama’ secara kekeluargaan.
Lily Gamar Sutantio, dalam buku Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan karya Rosihan Anwar, menjadi saksi keberhasilan Bung Hatta menghidupkan koperasi di Banda Neira selama masa pengasingannya pada 1930-an. Menurut putra asli Banda yang pernah dididik langsung Bung Hatta itu, ada dua orang lagi yang ikut membantu Bung Hatta membangun koperasi di Banda, yakni Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri.
Hatta dan cikal bakal koperasi
Mulanya mereka menggagas sebuah organisasi sosial dan pendidikan yang bergerak di bidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi. Dinamakan Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe), ketiganya menjadi donatur tetap. Bung Hatta dipercaya mengurus bidang koperasi Perbamoe. Dari sinilah dia mencontohkan model urundaya masyarakat untuk kesejahteraan bersama.
“Kita akan memonopoli semua hasil bumi yang turun dari perahu kemudian didistribusikan pada masyarakat setempat,” kata Bung Hatta.
Bung Hatta dan Pebamoe memiliki cara tersendiri dalam menarik minat masyarakat Banda terhadap koperasi. Bila ada perahu datang, muatannya diambil langsung oleh koperasi Perbamoe untuk dijual kembali ke penduduk. Dengan memotong rentetan jalur distribusi ini, harga asli barang tidak akan berbeda jauh dengan harga jualnya.
Alhasil, penduduk bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah, petani maupun nelayan tidak merugi, dan koperasi tetap memperoleh keuntungan yang cukup untuk kas perkumpulan. Dari kas itulah Perbamoe mendapat modal untuk menyewa rumah lengkap dengan perabotannya untuk sekretariat. Kas itu pula yang digunakan Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Mr. Iwa untuk membangun perpustakaan yang koleksi bacaannya bisa dinikmati oleh semua orang.
“Koperasi merupakan bentuk usaha yang berdasarkan atas azas kekeluargaan, karena koperasi yang menyatakan kerjasama antara para anggotanya sebagai suatu keluarga dan menimbulkan tanggung jawab bersama sehingga pada koperasi tidak ada majikan dan tidak ada buruh,” kata Bung Hatta seperti dikutip Y. Harsoyo, dkk dalam Ideologi Koperasi: Menatap Masa Depan.
No comments:
Post a Comment