Kiai Hasyim Memanggil Kiai Dahlan dengan Panggilan Mas...
Muhammadiyah dan NU ( Nahdlatul Ulama ) adalah karunia terbesar umat muslim di Indonesia. Tanpa mengecilkan peran organisasi Islam lain di Indonesia, keberadaan Muhammadiyah dan NU ibarat dua tangan yang saling melengkapi.
Muhammadiyah dan NU pun seringkali lebih tampak berbagi tugas dan peran daripada bersaing. Karenanya, berbagai sisi perbedaan itu tampak tidak sepantasnya dipertentangkan dengan unsur meninggikan atau meremehkan satu pihak lainnya.
Dalam sejarahnya, warisan pertentangan antara Muhammadiyah dan NU dikembangkan oleh masing-masing pihak yang terlampau serius dalam memaknai perbedaan fikih dan kalam. Padahal, sejarah hubungan Muhammadiyah dan NU adalah hubungan persaudaraan yang erat sebagaimana digambarkan dua pendirinya: Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari .
Kemesraan Dua Bapak Umat
Merujuk pada buku karya Imron Mustofa berjudul "KH Ahmad Dahlan Sang Penyantun" (2018), sebagaimana dikutip laman resmi Muhammadiyah, dua bapak umat Islam di Indonesia ini bersahabat sejak sama-sama berguru kepada Kiai Saleh Darat asal Semarang. Imron menulis, saat itu Kiai Dahlan berumur 16 tahun sedangkan Kiai Hasyim berumur 14 tahun.
Perbedaan usia inilah yang membuat Kiai Hasyim memanggil Kiai Dahlan dengan panggilan ‘Mas’ (kakak), sebaliknya Kiai Dahlan memanggil Kiai Hasyim dengan panggilan ‘Adi’ (adik). Dua tahun belajar dengan Kiai Saleh Darat, keduanya pun akhirnya berpisah.
Meskipun ada catatan yang menuliskan pertemuan Kiai Dahlan dengan Kiai Hasyim sempat terjadi beberapa tahun kemudian saat Kiai Dahlan bertamu di pondok pesantren Tebu Ireng, hubungan keduanya berlanjut saat sama-sama belajar di kota suci Makkah.
Saling Bertanya Kabar
Kisah paling menarik dituliskan Imron Mustofa saat Kiai Ahmad Dahlan melakukan perjalanan dakwah Muhammadiyah ke Jawa Timur pada tahun 1921.
Di Surabaya, kedatangan Kiai Dahlan diketahui oleh murid Kiai Hasyim Asy’ari, yakni Kiai Mas Mansur yang kelak berguru pada Kiai Ahmad Dahlan dan menjadi Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Kiai Mas Mansur saat itu langsung menjemput Kiai Ahmad Dahlan dan mempersilahkan beliau menginap di rumahnya. Pada pertemuan itulah Kiai Ahmad Dahlan bertanya tentang kabar Kiai Hasyim Asy’ari.
“Bagaimana kabar Kiai Hasyim Asy’ari? Beliau sehat,” tanya Kiai Ahmad Dahlan.
“Insyaallah, Kiai. Kami sudah cukup lama tidak bertemu. Tetapi, dari cerita kawan-kawan, beliau dalam keadaan sehat walafiat,” jawab Kiai Mas Mansur sebagaimana ditulis Imron.
Kiai Ahmad Dahlan juga menanyakan perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang milik Kiai Hasyim beserta kekagumannya pada beliau. Kiai Mas Mansur pun balik mengisahkan kekaguman Kiai Hasyim Asy’ari pada Kiai Ahmad Dahlan.
Atas kedekatan silsilah keilmuan inilah, Kiai Ahmad Dahlan tak ragu mempercayakan perkembangan dakwah Muhammadiyah kepada Kiai Mas Mansur sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya.
Pahlawan
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud juga pernah mengatakan KH Ahmad Dahlan ddan KH Hasyim Asy’ari adalah murid KH Sholeh Darat Semarang.
Selepas nyantri di bawah asuhan Kiai Sholeh Darat selama dua tahun, keduanya disarankan untuk menimba ilmu di Makkah. Tentu, mereka berdua dibekali oleh sang guru terkait dengan ulama-ulama yang harus diserap ilmunya ketika di Makkah.
Sepulang dari tanah Haram, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy’ari mendirikan NU.
Menurut H Marsudi, baik Kiai Dahlan maupun KH Hasyim menjadikan organisasinya itu sebagai sarana untuk berdakwah menyebarkan Islam. Keduanya sama-sama memiliki kemampuan untuk menyusun strategi dakwah yang jitu.
“Yang hebat dua-duanya bisa memosisikan target market of dakwah yang berbeda,” katanya.
Kiai Dahlan yang tinggal di kota menggunakan sekolah sebagai sarana dakwah. Hingga kemudian sekolah menyebar ke desa-desa. Sementara, Kiai Hasyim yang berangkat dari desa menggunakan pesantren sebagai ‘motor dakwah.’
KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Ia wafat pada 23 Februari 1923 di usianya yang ke-54 tahun. Pada 18 November 1912, Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Ia diganjar pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 1961 karena telah memelopori kebangkitan umat Islam.
KH Hasyim Asy’ari lahir di Demak pada 10 April 1875 dan wafat pada 25 Juli 1947 pada di usia 72 tahun. Pada 1926, bersama dengan ulama-ulama Nusantara Kiai Hasyim memprakarsai berdirinya NU. Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1964 atas jasa besarnya melawan penjajah.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment