Kisah Masuknya Islam Najasyi, Raja Habasyah yang Bijaksana

Kisah Masuknya Islam Najasyi, Raja Habasyah yang Bijaksana
Ilustrasi/Ist
BELIAU bisa dikatakan tabi’in, namun boleh pula dikatakan sebagai sahabat. Hubungannya dengan Rasulullah SAW berlangsung melalui surat menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi SAW melakukan salat ghaib untuknya, salat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya. Dialah Ashamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan An-Najasyi.

Buku “Mereka adalah Para Tabi’in” karya Dr Abdurrahman Ra’at Basya, mengungkap ayah Ashamah adalah raja negeri Habasyah dan tidak memiliki anak melainkan beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu.

Sebagian tokoh Habasyah berbisik, “Raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi tahta bila raja wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik kita bunuh sang raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki dua belas putra yang membelanya masa hidup dan menjadi pewarisnya jika meninggal.”

Dengan gencar setan membisiki dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh rajanya dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.

Selanjutnya Ashamah diasuh oleh pamannya. Tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli berargumen dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan pamannya dan diutamakan lebih daripada anak-anaknya sendiri.

Namun setan kembali memprovokasi para pembesar Habsyah. Mereka kembali berembuk. Di antara mereka berkata, “Kita khawatirkan bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahandanya dahulu.”

Akhirnya mereka menghadap raja dan berkata, “Tuanku, kami tidak bisa merasa tentram dan aman bila Tuan belum membunuh Ashamah atau menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam.”

Mendengar permintaan tersebut raja sangat murka dan berkata, “Sejahat-jahat kaum adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah, aku tak akan melakukannya.”

Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat itu.

Tak lama setelah diusirnya Ashamah tiba-tiba terjadi peristiwa yang di luar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh menimpa sang raja yang sedang berduka akibat kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian dia wafat.

Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra raja, namun ternyata tak ada seorang pun dari mereka yang layak menduduki tahta. Mereka menjadi cemas dan gelisah, lebih-lebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga telah menunggu kesempatan untuk menyerang.

Kemudian ada salah seorang di antara mereka berkata, “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian kecuali pemuda yang kalian usir itu, jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah, maka carilah dia dan pulangkanlah dia.”

Mereka pun bergegas mencari Ashamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebaga raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara baik dan adil. Kini Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya didominasi oleh kezhaliman dan kejahatan.

Saat bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki tahta di Habasyah, di tempat lain Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad SAW untuk membawa agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu persatu assabiqunal awwalun memeluk agama ini.

Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Makkah sudah merasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, Rasulullah SAW bersabda, “Di negeri Habasyah bertahta seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di dalam istananya sampai Allah membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini.”

Maka berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah sekitar 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.

Akan tetapi pihak Quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke Makkah.

Mereka mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal menyukai barang-barang dari Makkah.

Sesampainya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil menyuap mereka dengan hadiah yang dibawa. Keduanya berkata, “Di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah pesatuan kami. Maka nanti jika kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami.”

Setelah memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabi’ah menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan orang-orang Habasyi. Najasyi menyambut keduanya dengan baik karena sebelumnya telah kenal dengan Amru bin Ash. Kemudian tokoh quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dimpimpin oleh Abu Sufyan.

Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian Amru mulai bicara, “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama baru itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan”.

Najasyi menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka. Mereka berkata, “Benar tuanku, kita tidak tahu tentang agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.”

Najasyi berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan menyerahkan mereka kepada kalian. Tetapi kalau mereka dalam kebenaran, maka aku akan melindungi dan memilihara mereka selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah kepada diriku yang telah mengembalikan aku ke negeri ini setelah terusir karena karena ulah orang-orang keji.”

Kaum muslimin yang hijrah itu pun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di antara mereka ada yang berkata, “Apa jawaban kita jika ditanya tentang agama kita?”

Yang lain menjawab, “Kita katakan saja apa yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya dan kita jelaskan apa-apa yang diajarkan Rasulullah SAW dan Rabb-nya.”

Berangkatlah mereka menuju istana, di sana mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam secara Islam.

Amru bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak sujud kepada raja?” mereka pun menjawab, “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah.”

Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memperhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata, “Apa sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”

Setelah memohon izin, Ja’far menjawab, “Wahai raja, sesungguhnya kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tetapi Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju terang benderang”.

“Pada awalnya kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga dan yang kuat selalu menekan yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah mengutus rasul yang kami ketahui asal-usulnya, kami percayai kejujuran, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kami kepada Allah dan mengajak kami melakukan ibadah dan mengesakan-Nya”.

“Dia memerintahkan agar kami menegakkan salat, membayar zakat, shiyam pada bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan batu-batu. Beliau memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan menghargai darah”.

“Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan apa yang beliau bawa”.

“Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, mengharamkan apa-apa yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan. Tetapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama nenek moyang, agar kami menyembah patung-patung berhala setelah menyembah Allah. Karena mereka berlaku zalim dan menghalangi kami menjalankan agama, kami lari kemari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zalim di sini.”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, “Apakah kalian membawa sesuatu yang dibawa oleh Nabi tentang itu tentang Rabb-nya?” beliau menjawab, “Ya, ada.” Najasyi berkata, “Tolong bacakan untuk kami.”

Lalu Ja’far membacakan surat Maryam:

“Dan Ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.

Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa”.

Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”.

Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”

Jibril berkata: “Demikianlah”.

Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”.

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”.

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu,” (Maryam: 16-24).

Tampaklah Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di situ hingga kitab-kita mereka basah oleh tetesan air mata.

Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut, “Apa yang mereka bacakan kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa berasal dari sumber yang sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangikit dari singgasananya dan pertemuan itu pun dibubarkan.
(mhy) 
Miftah H. Yusufpati

No comments: