Mantiq Tuan A. Hassan dalam Ilmu Tauhid
Seperti mantiq beliau dalam karyanya yang berjudul “Kitab At-Tauhiid”, yang mampu memberikan pemahaman yang logis tentang Allah SWT. Terkadang, logika memang diperlukan untuk menghadapi orang-orang yang tidak percaya adanya Tuhan.
Berikut kami cuplikan hujjah beliau dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar tauhid. Dialog yang ditulis A.Hassan ini bersifat imajiner, untuk memudahkan pemahaman pembaca. Penanya kami tulis dengan inisial (Pen.) dan A. Hassan kami tulis (A.H). Ejaan bahasa sedikit kami sesuaikan:
Pen: Apa makna Allah Tunggal?
A.H: Maknanya bahwa Allah itu Satu saja dan tidak lebih
Pen: Apa salahnya kalau kita akan, Allah itu berbilang, yakni lebih dari satu?
A.H: Mustahil Allah berbilang, karena kalau kita mau memikirkan sedikit (maksudnya mau berpikir), niscaya kita akan dapat tahu, bahwa antara dua Tuhan, yang kita andaikan atau takdirkan adanya itu, tentu ada satu yang lemah.
Pen: Bagaimana jalan dan cara memikirkannya?
A.H: Supaya mudah, saya akan bertanya, dan harap tuan jawab.
Pen: Baiklah!
A.H: Kalau satu di antara dua Tuhan itu mau membinasakan Tuhan satu lagi, bisakah atau tidak?
Pen: Bisa, umpamanya!
A.H: Kalau dikatakan bisa, maka yang bisa binasa itu bukan Tuhan, karena Tuhan tidak bisa binasa!
Pen: Bagaimana kalau kita katakan tidak bisa!
A.H: Kalau tidak bisa, maka yang tidak bisa membinasakan itu bukan Tuhan, karena Tuhan itu bisa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Lantaran itu, tentulah satu Tuhan (maksudnya Tuhan itu satu), yang tidak bisa dibinasakan tetapi bisa membinasakan dan bisa berbuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.
Ustadz A.Hassan menjelaskan bahwa akal mewajibkan bahwa Tuhan itu ada. Al-Qur’an dan Al-hadits juga menjelaskan demikian. Kalau yang diwajibkan oleh agama, kata si penanya, ia paham, bahwa jika tidak mempercayainya atau menjalankannya, maka kita berdosa.
Tetapi, kalau akal yang mewajibkan adanya Allah, tetapi ada yang menolak atau tidak menjalankan apa yang diwajibkan akal, adakah hukuman dari akal atas mereka? Ustadz A. Hassan menjawab pertanyaan tersebut dengan memulai lewat pertanyaan pula.
A.H: Buat menerangkan perkara ini, saya akan bertanya. Harap tuan jawab!
Pen: Baiklah!
A.H: Dua dengan dua jadi berapa?
Pen: Jadi empat
A.H: Manakah yang lebih banyak, lima dengan sepuluh?
Pen: Sepuluh yang lebih banyak
A.H: Siapakah yang menetapkan itu?
Pen: Akal
A.H: Adakah apa-apa hukuman atas Tuan, kalau Tuan berkata dua dengan dua jadi tiga atau jadi lima? Apakah hukuman atas Tuan, jika Tuan berkata lima itu lebih banyak dari sepuluh?
Pen: Tidak ada hukuman apa-apa!
A.H: Tetapi apa yang dikatakan oleh orang yang mendengarkan omongan tuan itu?
Pen: Tentu orang katakan saya tidak berpikiran
A.H: Begitulah tentang Tuhan. Kalau tuan tidak percaya dan tidak mengakui apa yang ditetapkan oleh akal tuan, bukanlah tuan orang yang berakal.
***
Pen: Ada seorang berkata, “Allah tidak ada, karena kalau Ia ada, mengapakah tidak Ia beri pertolongan kepada kita di waktu kita perlu kepada pertolongannya? (Maksudnya mengambulkan langsung permohonannya)
A.H: Allah itu ada. Kalau Ia tidak menolong kita di waktu kita perlu, tidak menunjukkan bahwa Ia tidak ada. Kalau kita menulis surat kepada seorang raja meminta pertolongannya, tetapi tidak ia jawab, tidak berarti bahwa ia tidak ada.
Pen: Baiklah, mengapakah Ia tidak beri pertolongan kepada kita?
A.H: Apakah mesti Ia beri pertolongan kepada kita menurut kehendak kita?
Pen: Tentu tidak menurut kehendak kita, tetapi menurut kehendak-Nya
A.H: Kalau begitu di waktu kita perlu, kita minta dan kita tunggu. Kalau Ia kehendaki, tentu kita dapat pertolongan, dan tidak ada siapapun yang berhak memaksa Dia. (Kalau Tuhan bisa dipaksa, tentu dia bukan Tuhan)
****
Penanya yang mulai paham tentang Allah berkata, bahwa tidak ada suatu apapun yang luput dari qudrah dan iradah Allah. Tidak ada suatu apapun yang luput dari pengetahuan Allah, karena Allah itu Al-‘Aliim. Tetapi kata si penanya, dapatlah dibenarkan orang yang mengatakan bahwa Allah itu tidak adil, karena tidak sedikit; orang pintar hidup dalam kesusahan, orang bodoh hidup dalam kesuksesan, ada anak yang buta, ada anak yang lahir sempurna dengan kedua bola mata, ada anak yang pincang, ada anak yang tegak berjalan, orang-orang baik teraniaya, orang jahat dapat kesenangan.
Pen: Sekiranya Allah adil, mengapakah tidak Ia samaratakan kita semua?
A.H: Apakah maksud tuan bahwa perkara-perkara ini tidak berlaku dengan kehendak Allah?
Pen: Ya, karena kalau kita berkata, sekalian itu berlaku dengan kehendak Allah, niscaya kelihatan tidak adil-Nya!
A.H: Kalau begitu, saya mau bertanya: Siapakah yang menjadikan apa-apa yang tersebut itu?
Pen: Tiap-tiap sesuatu (yang disebut di atas tadi) terjadi dengan sebab-sebabnya sendiri. Pendeknya bukan kehendak Allah.
A.H: Saya mau bertanya pula: Hal-hal itu dengan setahunya Allah atau tidak?
Pen: Ya, Allah tahu.
A.H: Kalau Allah mau cegah kejadian itu, bisakah atau tidak?
Pen: Tentu bisa!
A.H: Oleh sebab bisa, tetapi Ia tidak cegah, berarti ia biarkan kejadian itu. Maka yang membiarkan berlakunya perkara zalim, tentu zalim pula. Jadi, menurut pendidikan (pemahaman) tuan, tidak urung Allah itu zalim juga.
Pen: Baiklah, bagaimana kalau kita katakn kejadian itu tidak setahunya Allah?
A.H: Berarti Allah itu bodoh, dan berarti ada yang berkuasa selain dari Allah.
Pen: Sebenarnya saya bingung memikirkan hal ini. Harap tuan jelaskan lebih lanjut
A.H: Kalau seorang memiliki dua sapi, satu ia gunakan untuk sawah (membajak) dan satu lagi ia gunakan buat diperah susunya, adakah dinamakan dia zalim?
Pen:Tidak!
A.H: Kalau seorang beli dua ekor ayam, kemudian seekor ia sembelih buat dimakan, dan seekor lagi ia pelihara sebagai jago atau buat ia ambil telornya, adakah dinamakan dia zalim?
Pen: Tidak!
A.H: Mengapakah tidak dinamakan dia zalim?
Pen: Lantaran binatang-binatang itu kepunyaannya!
AH: Begitulah tentang Allah. Oleh sebab sekalian mahkluk ini kepunyaan-Nya, tak dapat dikatakan Dia zalim.
Pen: Sembelih binatang itu, kaum Teosofi berkata itu suatu kezaliman
A.H: (Kalau begitu) Kaum Teosofi tidak bisa luput dari kezaliman; mereka naik kereta yang ditarik oleh kuda atau sapi, mereka pakai sapi atau kerbau buat kerjakan ladang, mereka pasang obat nyamuk di rumah-rumah mereka buat membunuh nyamuk…
***
Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887 M dan wafat di Bangil, Jawa Timur pada tahun 1958 M. Ia satu dari empat tokoh yang berjasa dalam memajukan Islam di Indonesia, seperti: KH Hasyim Asy’ari, Syaikh Ahmad As-Soorkati, dan KH Ahmad Dahlan.
Beliau mendirikan Pesantren Persatuan Islam (Persis) di Bandung pada tahun 1936 dan Pesantren Persis Bangil pada tahun 1940. Setelah wafat, Pesantren Persis Bangil dilanjutkan oleh putra, cucu-cucu, dan cicitnya yaitu; Ustadz Abdul Qadir Hassan, Ustadz Ghazie Abdul Qadir, Ustadz Hud Abdullah Musa, Ustadz Luthfie Abdullah Ismail, dan saat ini Ustadz Hefzhi Ghazie.
Banyak murid-murid A. Hassan yang menonjol sebagai tokoh di negeri ini, yang paling menonjol adalah Mohammad Natsir, ulama internasional, mantan Perdana Menteri dan Menteri Penerangan Republik Indonesia, yang dikenal juga sebagai bapak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lewat Mosi Integralnya yang berhasil menyatukan negeri ini berada dalam negara kesatuan.
Pendebat Ulung
Para pendakwah Islam di jaman dahulu dikenal memiliki keahlian yang multi talenta. Di samping menguasai khasanah Arab, pemikiran Islam, juga menguasai mantiq (logika), yang digunakan sebagai hujjah dan bantahan terhadap lawan-lawan debat, hal ini termasuk A Hassan.
Salah satu ‘perang pemikiran’ yang dicatat sejarah adalah debat antara A. Hassan dengan tokoh Ahmadiyah. Kemenangan debat A. Hassan pada tahun 1933 dengan tokoh Ahmadiyah Qadiyan diungkap Tamar Jaja dalam buku “Riwayat Hidup A. Hassan” (1980: 65, 66).
Dalam buku ini digambarkan bahwa A. Hassan menggunakan jurus jitu yang bisa membungkam Abu Bakar Ayub. Beliau –A. Hassan—membawakan hadits yang terdapat dalam kitab Mirza Gulam Ahmad yang justru mematahkan argumentasi Ahmadiyah.
Meski kemenangan debat ini jelas ada di pihak Pembela Islam yang diwakili oleh A. Hassan, namun di kemudian hari, ada banyak fitnah yang dihembuskan oleh pihak Ahmadiyah. Di antara fitnah-fitnah itu telah diungkap dalam majalah Al-Muslimun edisi 116 dan 119 dengan judul “Ustadz A. Hassan di Depan Hidung Mirzais” yang ditulis oleh Fawzy Sa’ied Thaha. Berikut ini akan diulas enam di antaranya.
A. Hassan dituduh sebagai orang yang plin-plan alias mudzabdzab. Fitnah ini ditulis dalam majalah Ahmadiyah Sinar Islam pada bulan Oktober 1977. Tuduhan Rahmat Ali yang dicomot oleh Redaktur Sinar Islam itu sebenarnya sudah basi atau usang. Sebab, dalam buku “Officiel Verslag Debat” terbitan Persatuan Islam Bandung, A. Hassan menulis bahwa konteks yang dibacarakan tentang matinya semua Nabi adalah hadits yang membincang hidupnya Nabi dalam kubur.
Di sini sangat jelas sekali gaya Ahmadiyah yang kurang elegan menfitnah A. Hassan. Dengan cara mengambil perkataan sepotong-sepotong dan emutilasi data demi kepentinganya. .*/Arta Abu Azzam, penulis buku-buku sejarah
No comments:
Post a Comment