Masjid Wadi al-Husain, Paduan Tiga Unsur Budaya
Masjid Wadi al-Husain di Thailand selatan ini dibangun sejak abad -18 M oleh kaum Muslimin Pattani.
HASANUL RIZQA
Thailand merupakan salah satu negara dengan minoritas Muslim di Asia Tenggara. Bagaimanapun, status demikian tidak berarti absennya legasi peradaban Islam di sana. Sebab, Negara Gajah Putih—begitu julukannya—pun bersentuhan dengan dakwah tauhid dalam sejarahnya yang panjang.
Di antara bukti-bukti persentuhan Thailand dengan Islam ialah pelbagai masjid tua setempat. Salah satunya adalah Masjid Wadi al-Husain di Desa Talomanoh, sekira empat kilometer sebelah selatan pusat Distrik Bacho atau sekitar 25 km dari ibu kota Provinsi Narathiwat. Oleh masyarakat lokal, tempat ibadah itu disebut pula sebagai Vadialhussein.
Namanya merujuk pada seorang tokoh, Wadi al-Husain atau Wan Hussein as-Sanawi. Dia merupakan ulama yang hijrah dari Bano Sano Yanya, Provinsi Pattani, ke Bacho. Ada pelbagai riwayat tentang hubungannya dengan masjid ini.
Pertama menyebut bahwa Wadi al-Husain terlibat dalam pembangunan tempat ibadah itu pada abad ke-18. Sumber lain menyatakan, sosok tersebut baru aktif berdakwah ketika masjid di Talomanoh ini direnovasi pada 1960-an. Yang jelas, Masjid Wadi al-Husain berdiri sejak 1769 M. Karena telah melampaui dua abad, bangunan bernilai historis ini dijuluki sebagai “Masjid 200 Tahun".
“Apakah ia (al-Husain) yang mendirikan masjid tersebut pada abad ke-18 atau sebagai pencetus rekonstruksi masjid pada tahun 1960-an, tidak bisa dipastikan" tulis sumber yang dikutip laman Archnet.
Arsitektur Masjid Wadi al-Husain memadukan tiga unsur kebudayaan secara harmonis. Ketiganya adalah Thailand, Melayu, dan Cina. Sebelum masuk ke dalam masjid bersejarah itu, para jamaah atau pengunjung harus melewati sebuah 'jembatan' terlebih dahulu. Jembatan itu letaknya hampir setara dengan pintu masuk masjid yang memang berdiri di atas fondasi seperti rumah panggung.
Model ini berasal dari kebudayaan Melayu atau Asia Tenggara yang sebagian besar rumahnya dibuat seperti panggung. Rumah panggung seperti itu biasanya dibangun di daerah-daerah yang basah.
Secara keseluruhan, Masjid Wadi al-Husain berupa bangunan panggung. Semuanya terbagi atas dua area. Antara yang satu dan yang lain saling terhubung. Bahan dasar bangunannya ialah kayu yang tersambung tanpa paku. Sebab, begitulah corak khas bangunan Thailand atau Melayu.
Sebagai pengganti paku, arsitek masjid tersebut menggunakan pasak kecil. Benda itulah yang mengaitkan satu kayu dengan kayu lainnya pada konstruksi masjid.
Pada berbagai bagian kayu dalam masjid ini, terdapat ukiran-ukiran sebagai dekorasi tambahan. Misalnya, pada permukaan birai jendela. Detail ukiran yang juga mencuri perhatian adalah brackets kayu yang terdapat pada bawah atap. Selain itu, ada pula pahatan yang berdiri di puncak atap yang melengkung.
Atap Masjid Wadi al-Husain awalnya berbahan dasar daun palem yang dikeringkan. Dalam proses renovasi pada abad ke-20, atap itu diubah menjadi yang berbahan tanah liat merah yang dibakar. Bentuknya yang berjenjang-jenjang merupakan ciri khas arsitektur tradisional Asia Tenggara. Di tengah bangunan, terdapat atap pelana. Di belakang atap tersebut terdapat menara azan yang dibuat dengan gaya Tiongkok. Saluran ventilasi pada menara ada di setiap sisinya.
Masjid tiga abad itu masih aktif sebagai bangunan religius. Para pengunjung harus mendapatkan izin dari Imam desa untuk dapat memasukinya. Tidak jauh dari masjid tersebut terdapat pemakaman umat Muslim setempat.
Di pemakaman tersebut terdapat batu bundar yang menandakan makam laki-laki, sedangkan batu nisan yang terdapat di atas makam perempuan hanya terlihat setengahnya saja. Hal ini dilakukan sesuai dengan adat setempat.
Sejarah Pattani
Kesultanan Pattani terbentuk pada abad ke-15 di wilayah Thailand selatan. Kebudayaannya sangat dipengaruhi oleh bangsa Melayu, terutama dari Kelantan—kini bagian dari Malaysia. Islam tersebar luas di sana sejak abad ke-12 melalui jalur perniagaan. Memang, kawasan tersebut merupakan daerah pelabuhan yang sibuk. Para pedagang dari berbagai negeri, seperti Cina, India, dan Arab, berinteraksi sosial di sana.
Pada 1457, kalangan elite istana Pattani secara resmi memeluk Islam. Pattani lantas menjadi dinasti terbesar dan terpadat di Semenanjung Melayu setidaknya hingga akhir abad ke-17 M. Pada tahun 1688, Dinasti Kelantan kehilangan cahaya dan pengaruhnya.
Pada abad ke-18, Pattani dikuasai Siam. Sultan-sultan Pattani diwajibkan membayar upeti dengan mengirimkan emas ke pusat Kerajaan Siam. Ketegangan agama dan budaya mengakibatkan pemberontakan dari rakyat setempat.
Pada 1816, Pattani dibagi menjadi tujuh distrik. Pada 1906, pembagian administratif itu dilakukan lagi, sehingga daerah ini terdiri atas empat provinsi, seperti yang dikenal sampai hari ini.
Desa Talomanoh sempat diperintah Kesultanan Pattani sebelum dikuasai Siam. Desa kecil ini terletak di Teluk Thailand dan berjarak sekitar empat kilometer dari Distrik Bacho. Daerah selatan Thailand yang sering disebut sebagai Patani Besar atau Patani Raya adalah daerah yang terdiri dari Propinsi Pattani, Ala, dan Satu.
Area ini sangatlah unik karena secara demografi masyarakat di daerah ini mayoritas menganut agama Islam yang cukup kuat. Hal ini bertentangan dengan demografi Thailnad yang 97 persen menganut Buddha. Banyak umat Muslim yang tinggal di daerah tersebut berasal dari etnik Melayu. Sebagian besar masyarakat Muslim memang berada di Propinsi Narathiwat yang memiliki luas sekitar 4.475 km persegi itu.
Pada 1809, Pattani dikuasai Kerajaan Siam. Bahkan, pada 1902, kesultanan tersebut dipaksa membubarkan diri. Walaupun begitu, legasinya akan terus ada, seperti halnya Masjid Wadi al-Husain ini.
No comments:
Post a Comment