Mengapa Imam Malik Hidup dalam Kemewahan?
Imam Malik bin Anas merupakan imam kedua dari empat imam madzhab. Beliau hidup di antara kemilau agung Imam Abu Hanifah dan kemuliaan Imam asy-Syafi’i. Penulis kitab al-Muwatha’ ini menjadi guru sekaligus murid dari dua imam tersebut. Beliau menjalani cara hidup yang amat berbeda dengan keduanya, terlebih dengan Imam asy-Syafi’i yang terkenal sangat sederhana.
Imam Malik bin Anas menjalani kehidupan kaya dan mewah. Beliau terbiasa dengan pakaian mewah dengan surban menjuntai, kendaraan yang berganti-ganti dari jenis kuda dan unta mahal, dan asesoris duniawi lainnya.
“Pada hari wafatnya,” tulis Syeikh Salman al-Audah mengutip perkataan Imam Ismail bin Abu Uwais, “barang-barang yang terjual dari rumahnya, seperti karpet dan bantal berisi bulu dan lainnya, mencapai lima ratus dinar.”
Jika kurs satu dinar sekitar dua juta rupiah, maka kekayaan yang beliau tinggalkan sebanyak 1 Milyar rupiah.
“Dan kemudian,” masih dari sumber yang sama, “semua barang yang ditinggalkan dihitung, lalu ditemukan lima ratus pasang sandal, seratus surban, emas, dan perak seharga dua ribu enam ratus dua puluh sembilan dinar dan seribu dirham.”
“Ia,” tulis Imam adz-Dzahabi menyampaikan pengakuan, “merupakan tokoh besar yang berbahagia, pemimpin sekaligus ulama, menggenggam kehormatan dan keindahan, menempati rumah yang megah, nikmat yang terindra, serta kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Ia menerima hadiah, memakan hidangan yang baik, dan mengerjakan amal shalih.”
Betapa agungnya. Alangkah mulianya. Sebuah capaian menakjubkan yang tidak bisa digapai oleh orang shalih lainnya. Sebuah contoh sangat baik akan makna harta di genggaman tangan dan akhirat tetap di hati.
Ketika ditanya tentang kehidupannya, Imam Malik bin Anas menjelaskan bahwa nikmat dari Allah Ta’ala harus ditampakkan. Harus ada bekasnya dalam diri seorang hamba yang dengannya, siapa yang melihatnya menjadi ingat kepada Allah Ta’ala.
“Sungguh,” tutur Imam Malik bin Anas, “di antara bentuk kehormatan orang alim adalah dengan memilih pakaian yang baik, yang ia kenakan dan tampil dengannya. Tidaklah layak baginya dilihat oleh orang-orang, kecuali dengan pakaian yang sempurna. Bahkan sampai sorban pun, harus dengan kualitas yang bagus.”
Yang demikian ini hendaknya membuat kita memahami kecenderungan manusia dengan tidak menjadikannya sebagai dalil untuk berlomba-lomba menggapai dunia yang remeh. Hendaknya riwayat ini kita pahami dengan bijak, agar dalil kaya tidak menjadi target utama, lalu melupakan iman, taqwa, dan ilmu.Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
No comments:
Post a Comment