Mengenal Palestina dari Untaian Kalam Para Mufassirin

 

AKHIR-akhir ini, telinga kita kembali dipenuhi dengan suara isakan tangisan dan jeritan rakyat Palestina atas diskriminasi yang dilakukan oleh tentara ‘Israel’. Sebetulnya tindakan diskriminatif tersebut sudah terjadi sejak tahun 1948, ketika ‘Israel’ mulai menjajah Palestina. Namun insiden yang terjadi di Sheikh Jarrah pada bulan Mei kemarin kembali mendapat sorotan dunia sehingga menjadi trending topic di berbagai berita dan sosial media.

Berbagai respon akan hal tersebut bermunculan. Tidak hanya muslim, bahkan non-muslim juga banyak melakukan demonstrasi protes akan tindakan yang dilakukan oleh ‘Israel’ tersebut. Namun mirisnya, masih ada juga pihak-pihak yang sama sekali tidak berempati atas penderitaan rakyat Palestina tersebut. Karena terdapat pepatah yang mengatakan “tak kenal, maka tak sayang”, melalui artikel ini penulis ingin mengenalkan Palestina dalam perspektif Al-Qur’an beserta tafsirnya.

Secara historis, Muhsin Muhammad Shaleh dalam karyanya yang berjudul Tanah Palestina dan Rakyatnya, menjelaskan bahwa tanah Palestina dulunya disebut sebagai “tanah Kan’an”, karena penduduk pertama di tanah tersebut adalah bangsa Kan’an sekitar 2000 tahun SM. Kemudian, pada masa selanjutnya tanah tersebut berganti dengan sebutan wilayah Syam. Jika ditinjau dari letak geografis saat ini, maka wilayah Syam mencakup empat negara yaitu Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon.

Dalam Al-Qur’an, wilayah Syam merupakan sebuah wilayah yang mendapat keistimewaan dari Allah. Bentuk keistimewaan tersebut adalah diberkahinya tanah Syam sebagaimana disampaikan dalam tiga ayat Al-Qur’an, yaitu QS. al-Anbiya [21]: 71, QS. al-Anbiya’ [21]: 81, QS. Saba’ [34]: 18. Hal ini dikonfirmasi dari hasil penafsiran Ibnu Katsir dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al-Adzim, yang mana ia menyatakan bahwa term “al-Ardh” yang dimaksud dalam QS. al-Anbiya’ [21]: 71 dan 81 adalah tanah Syam, yang mana tanah Palestina merupakan salah satu bagianya.

Berbeda dengan tiga ayat sebelumnya, Al-Qur’an menyebut secara spesifik keberkahan tanah Palestina, khususnya area sekitar Masjid al-Aqsha dalam QS. al-Isra’ [17] ayat 1 berikut:

سُبۡحٰنَ الَّذِىۡۤ اَسۡرٰى بِعَبۡدِهٖ لَيۡلًا مِّنَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَـرَامِ اِلَى الۡمَسۡجِدِ الۡاَقۡصَا الَّذِىۡ بٰرَكۡنَا حَوۡلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنۡ اٰيٰتِنَا‌ ؕ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيۡعُ الۡبَصِيۡرُ

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Menurut mufasir asal Mesir yaitu Mutawalli al-Sya’rawi, kalimat “Barakna Haulahu” merupakan bentuk kalimat yang bersifat mubalaghah (hiperbola) sehingga bermakna banyaknya barakah yang diberikan Allah bagi area sekitar Masjid al-Aqsha. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sekitarnya saja telah diberkahi Allah, maka tentu lebih-lebih lagi area di dalam Masjid al-Aqsha itu sendiri.

Ibnu ‘Athiyah dalam tafsirnya yang berjudul al-Muharrar al-Wajiz, menjelaskan bahwa salah satu keberkahan yang diberikan Allah di area Masjid al-Aqsha, yaitu (1) tempat tersebut diberkahi karena merupakan tempat diutusnya mayoritas para Nabi dan Rasul pra-Nabi Muhammad. Sehingga ditempat tersebut mereka beribadah, dan ditempat tersebut juga mereka dimakamkan.

Masjid al-Aqsha merupakan masjid kedua yang dibangun Nabi Ibrahim, setelah membangun Masjid al-Haram dengan jangka waktu 40 tahun. Setelah masa Nabi Ibrahim, Masjid al-Aqsha kemudian dikelola oleh Nabi Ya’qub, lalu Nabi Dawud, dan disempurnakan bangunanya oleh Nabi Sulaiman sesuai pesan ayahnya Nabi Dawud.

Setelah Islam tersebar di tanah Arab, pada tahun 632 M, Umar ibn Khattab selaku khalifah saat itu mengunjungi Palestina, tepatnya Iliya’ (Yerusalem). Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa pada saat itu, Umar menemui kondisi bangunan bekas tempat ibadah Nabi Dawud tersebut dipenuhi sampah. Sehingga menyebabkan Umar dan sahabat lainya membersihkan tempat tersebut kemudian sholat sebentar, lalu meninggalkan tempat tersebut. Pada saat itu, di area tersebut belum terbangun sebuah masjid.

Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Marwan ibn Abdul al-Malik, mulailah dibangun sebuah masjid di tempat tersebut dengan menugaskan Haywah al-Kindi sebagai penanggung jawab pembangunan tersebut. Masjid tersebut mulai dibangun pada tahun 66 H dan selesai pada 73 H.

Tidak hanya diberkahi, namun tanah Palestina juga disebut sebagai tanah yang disucikan oleh Allah, sebagaimana termaktub dalam QS: al-Ma’idah [5] ayat 21:

يٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَةَ الَّتِىۡ كَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمۡ وَلَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰٓى اَدۡبَارِكُمۡ فَتَـنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِيۡنَ

“Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.”

Dalam kitab Tafsir al-Baghawi karya Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi, dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai tanah suci yang dimaksud dalam ayat tersebut. Menurut Mujahid, al-Ardh al-Muqaddasah adalah tanah Thur. Sedangkan al-Kalbi berpendapat bahwa tanah suci tersebut adalah Damaskus, Palestina, dan sebagian Yordania.

Namun pendapat dari al-Kalbi tersebut kiranya lebih kuat. Qatadah dan Ka’ab menyebut bahwa tanah suci tersebut adalah tanah Syam di mana di dalamnya terdapat Palestina, Damaskus, dan Yordania.

Dengan paparan yang telah disampaikan, maka Palestina merupakan tanah yang sudah seharusnya kita jaga kesuciannya dari tangan-tangan keji zionis ‘Israel’. Dan apabila belum tumbuh rasa empati dan peduli atas eksistensi Palestina, maka tanyakan pada hatimu dan imanmu!*/ Moch. Rafly Tri Ramadhani

Rep: Ahmad
Editor: Bambang S

No comments: