Orang Bilang Muawiyah Pemimpin, dia Menyebut Pelayan (Bagian 2-Habis)

Orang Bilang Muawiyah Pemimpin, dia Menyebut Pelayan (Bagian 2-Habis)
Ilustrasi/Ist
Abu Muslim al-Khaulani berangkat menuju Madinah dan sangat berharap dapat menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau sudah beriman sebelum bertemu Nabi SAW dan rindu untuk mendampingi beliau sebagai sahabat.

Tapi sayang, belum lagi memasuki Madinah, beliau mendengar kabar bahwa Rasulullah SAW telah wafat dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu terpilih sebagai khalifah kaum muslimin. Tak terkira betapa kecewa beliau mendengarnya.

Setibanya di Madinah, beliau langsung menuju Masjid Nabawi. Beliau menambatkan ontanya di samping masjid, kemudian memasuki Masjid Nabawi setelah mengucapkan shalawat dan salam bagi Nabi SAW.

Beliau mendekati salah satu tiang masjid lalu salat di sana. Usai salat, Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menghampirinya seraya bertanya: “Dari manakah asal Anda?”
Abu Muslim: “Saya dari Yaman.”

Umar: “Bagaimana kabar saudara kita yang hendak dibakar hidup-hidup oleh musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu Allah menyelamatkannya itu?”

Abu Muslim: “Alhamdulillah dia dalam keadaan baik.”

Umar: “Demi Allah, bukankah Anda orangnya?”

Abu Muslim: “Benar,”

Maka Umar bin Khathab mencium antara kedua mata Abu Muslim.

Umar: “Tidakkah Anda mendengar berita tentang apa yang dilakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada musuh-Nya dan musuh Anda itu?”

Abu Muslim: “Tidak. Sejak meninggalkan Yaman, saya tak lagi mendengar beritanya.”

Umar: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membunuh al-Ansi melalui tangan orang-orang beriman yang ada di sana dan mengakhiri kekuasaannya serta mengembalikan para pengikutnya ke jalan Allah.”

Abu Muslim: “Segala puji bagi Allah yang belum mematikan saya sampai saya mendengar tewasnya penjahat itu dan kembalinya penduduk Yaman ke pangkuan Islam.”

Umar: “Segala puji bagi Allah yang memberi kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hendak diperlakukan seperti khalilullah (kesayangan Allah) Ibrahim ‘alaihissalam.”

Setelah itu Umar bin Khathab mengajak Abu Muslim menghadap Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Kemudian beliau berbai’at kepada khalifah muslimin itu.

Setibanya Abu Muslim, Abu Bakar mempersilakan beliau duduk di antara dirinya dan Umar radhiyallahu ‘anhu. Setelah kedua sahabat utama tersebut berbincang-bincang dan mendengarkan kisah Abu Muslim mengenai Aswad al-Ansi.

Cukup lama Abu Muslim al-Khaulani tinggal di Madinah. Dengan tekun dia datang ke Masjid Nabawi, salat di Raudhah suci dan belajar kepada para tokoh sahabat seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Dzar al-Ghifari, Ubaidah bin Shamit, Muadz bin Jabal, dan Auf bin Malik al-Asyja.
Pelayan
Sesudah itu beliau menuju ke Syam dan menetap di sana. Beliau memilih tinggal di perbatasan agar bisa bergabung dengan kaum muslimin memerangi Romawi dan meraih pahala mujahid fi sabilillah.

Tatkala khilafah dipegang oleh Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Muslim sering menghadiri majelisnya. Banyak peristiwa masyhur yang menunjukkan keagungan kedua orang ini beserta derajat serta adab yang diterapkan oleh mereka.

Pernah Abu Muslim mendatangi Mu’awiyah yang sedang duduk di tengah pertemuan. Beliau dikelilingi oleh para pejabat, panglima perang, dan tokoh-tokoh kaum. Beliau melihat betapa orang-orang menghormati dan menyanjung Mu’awiyah secara berlebihan. Beliau khawatir hal itu akan merusak keimanan Amirul Mukminin, sehingga didahuluinya memberi salam: “Assalamu’alaika ya ajiral (pelayan) mukminin.” Spontan orang-orang menegurnya, “Katakanlah, ‘Amirul Mukminin (pemimpin) mukminin.”

Beliau tak mempedulikan tanggapan mereka dan bahkan mengulangi salamnya, “Assalamu’alaika ya ajiral mukminin.” Orang-orang berkata, “Amirul Mukminin, wahai Abu Muslim.” Beliau tetap pada pendiriannya berkata, “Assalamu’alaika ya ajiral mukminin.”

Tatkala orang-orang mulai mengecamnya, beliau berkata, “Anda adalah orang yang diangkat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pejabat bagi umat, seumpama orang yang disewa untuk mengurus ternak-ternaknya. Dia akan diberi upah besar, jika mengurus peternakan itu dengan baik dan rajin merawat sehingga yang kecil menjadi besar, yang kurus menjadi gemuk dan yang sakit menjadi sehat. Tetapi jika teledor, tidak mengurusnya dengan baik, sehingga ternak-ternak itu kurus kering lalu mati, susut hasil bulu dan susunya, maka dia tak akan diberi upah, bahkan akan menerima murka dan hukuman. Oleh karena itu Anda, wahai Mu’awiyah, boleh memilih mana yang baik bagi Anda dan lupa mana yang Anda kehendaki.”

Khalifah duduk mendengarkan kemudian mengangkat kepala seraya berkata, “Semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik atas perhatian Anda kepada kami dan juga rakyat. Kami mengenal Anda yang selalu memberikan nasihat karena Allah dan rasul-Nya dan bagi kebaikan kaum muslimin.”

Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan dalam bukunya berjudul “Mereka adalah Para Tabi’in” menceritakan ketika Abu Muslim al-Khaulani menghadiri salat Jumat di Damaskus. Amirul Mukminin Mu’awiyah menyampaikan khutbah berisi himbauan agar masyarakat membersihkan dan mengeruk sungai Barada agar airnya bersih.

Ketika beliau tengah berkhutbah, dari tengah-tengah jamaah Abu Muslim angkat suara: “Wahai Mu’awiyah sadarkah Anda bahwa hari ini atau esok Anda akan mati dan berumah di lahat?”

“Bila Anda membawa bekal, maka itulah yang diperintahkan bagi Anda. Bila Anda datang dengan tangan kosong maka akan Anda dapati tempat Anda berupa lahat yang datar saja. Saya mengharapkan wahai Mu’awiyah jangan sampai Anda menyangka bahwa kekuasaan adalah sekadar seperti perintah menggali sungai dan mengumpulkan harta. Khilafah menuntut adanya amalan yang benar dan tindakan adil yang menyeru manusia kepada hal-hal yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

“Wahai Mu’awiyah, tak perlu Anda mengkhawatirkan keruhnya sungai bila sumbernya bersih. Sesungguhnya Anda adalah sumber kami, maka berusahalah agar diri Anda bersih. Wahai Mu’awiyah, bila Anda menzalimi seseorang, maka kezaliman itu bisa dihapus dengan keadilan Anda. Waspadalah terhadap kezaliman, sebab ia adalah kegelapan di akhirat.”

Ketika Abu Muslim menyelesaikan kata-katanya, Mu’awiyah turun dari mimbar, menghampirinya lalu berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Anda dan semoga Allah membalas kebaikan Anda.”

Contoh yang lain, ketika Mu’awiyah kembali tampil di mimbar untuk berkhutbah, beliau menunda pembagian harta untuk masyarakat dua bulan ke depan. Abu Muslim menegurnya: “Wahai Mu’awiyah harta ini bukanlah harta Anda ataupun harta ayah-ibu Anda. Mengapa Anda menahannya begitu lama dari orang-orang?”

Tanda kemarahan tampak tersirat pada wajah Mu’awiyah. Orang-orang menunggu apa yang hendak dilakukannya. Dia memberi isyarat agar orang-orang tetap di tempat masing-masing, sementara dia sendiri turun dari mimbar, berwudhu kemudian menyiram tubuhnya lalu naik lagi ke mimbar.

Kemudian beliau mengucapkan tahmid dan tasbih dan berkata, “Tadi Abu Muslim mengingatkan bahwa harta ini bukanlah hartaku atau harta ayah bundaku. Sungguh tak ada yang salah pada kata-kata itu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Marah itu berasal dari setan dan setan berasal dari api, maka apabila salah satu dari kalian marah, hendaklah segera mandi.”

“Wahai saudara-saudara pergilah kalian mengambil hak kalian dengan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Semoga Allah membalas kebaikan Abu Muslim al-Khaulani yang mampu menjadi teladan yang baik dalam menyampaikan kebenaran. Semoga Allah melimpahkan rahmat serta ridha-Nya kepada Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan karena dia memberi teladan kepada para penguasa tentang bagaimana menerima kebenaran dan tunduk kepada kalimat yang benar.
(mhy)

No comments: