Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Musa Saat Sakit Gigi

Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Musa Saat Sakit Gigi
Kisah Nabi Musa ketika mengalami saki gigi layak menjadi pelajaran bagi kita agar senantiasa tawakkal kepada Allah. Foto ilustrasi/dok Channel Islam Populer

Kisah Nabi Musa 'alaihissalam saat menderita saat gigi layak dijadikan hikmah dan iktibar buat kita. Allah Ta'ala mengajarkan beliau ilmu hikmah dan hakikat tawakkal yang sesungguhnya.

Nabi Musa adalah salah satu Nabi bergelar Ulul 'Azmi selain empat Rasul lainnya yakni Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Isa dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Keistimewaan Nabi Musa adalah dapat berbicara langsung dengan Allah Ta'ala.

Dalam Kitab Nuruzh Zholam (نور الظلام) Syarh Aqidatul Awam dikisahkan tentang Nabi Musa yang mengadu kepada Allah mengenai giginya yang sedang sakit. Untuk diketahui, perkara sakit merupakan sunnatullah karena semua manusia pernah merasakannya termasuk para Nabi.

Ketika mendengar pengaduan Nabi Musa, maka Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan beliau untuk mengobati sakitnya: "Ambillah daun itu (sesuai yang ditunjuk oleh Allah) dan letakkanlah di gigimu."

Maka Nabi Musa pun mengambil daun tersebut dan meletakkannya di giginya, lalu seketika itu meredalah sakit giginya. Setelah beberapa waktu penyakit itu kembali, maka Nabi Musa pun mengambil daun yang ketika itu diperintahkan oleh Allah untuk diletakkan di giginya.

Namun, ketika daun tersebut diletakkan di giginya, bukan mereda justru sakitnya makin parah dari sebelumnya. Nabi Musa pun mengadu kepada Allah: "Ya Tuhanku bukankah Engkau telah memerintahkan dan menunjukkan aku dengan daun tersebut untuk mengobati sakit gigiku."

Lalu Allah menjawab: "Ya Musa, Aku adalah Zat yang menyembuhkan, Zat yang mensejahterakan, Zat yang meletakkan bahaya, Zat yang memberikan manfaat. Pada sakit yang awal kamu datang kepadaKu maka Aku hilangkan penyakitmu, adapun sekarang kamu datang kepada daun tersebut dan bukan kepada Aku."

Hikmah dibalik kisah ini adalah Allah ingin mengajarkan kepada hambaNya bahwa setiap kali sakit langkah yang pertama yang dituju adalah Allah, meskipun kita sudah mengetahui obat dari penyakit tersebut. Sebab, yang memberi kesembuhan pada obat itu adalah Allah Yang Maha Kuasa, bukan obat itu sendiri.

Kisah Imam Syafi'i dan Sang Guru
Berikut kisah dua ulama besar berbeda pandangan menyikapi rezeki, namun keduanya saling membenarkan. Ketika di satu majelis ilmu, Imam Malik (wafat 179 H) yang merupakan guru dari Imam Syafi'i (wafat 204 H) mengatakan bahwa rezeki itu datang tanpa sebab. Seseorang cukup bertawakkal dengan benar, niscaya Allah akan memberikannnya rezeki.

"Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya," demikian kata Imam Malik.

Imam Malik menyandarkan pendapatnya itu berdasarkan sebuah hadis Rasulullah:

لَو أنكُم توكَّلْتُم علَى اللهِ حقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُم كما يَرْزُقُ الطَّيْرَ تغدُو خِمَاصًا وتَروحُ بِطَانًا

"Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan berikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang".

Ternyata Imam Syafi'i memiliki pandangan lain. Beliau mengemukakan pendapat kepada sang guru. "Ya Syekh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?"

Suatu hari, Imam Syafi'i berjalan-jalan, beliau melihat orang-orang memanen buah anggur. Beliau pun ikut membantu mereka. Setelah selesai bekerja, Imam Syafi'i diberi imbalan beberapa ikat anggur.

Imam Syafi'i senangnya bukan main. Beliau senang bukan karena mendapatkan anggur, tetapi karena memiliki alasan untuk menyampaikan kepada Imam Malik bahwa pandangannya soal rezeki itu benar.

Bergegas Imam Syafi'i menjumpai Gurunya Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil menaruh anggur yang didapatnya, Imam Syafi'i menceritakan pengalamannya: "Seandainya saya tidak keluar membantu memanen, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya".

Mendengar itu, Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Kemudian Imam Malik berucap: "Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang membawakan beberapa ikat anggur. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab? Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya".

Imam Syafi'i pun tertawa mendengar penjelasan Imam Malik tersebut. Sang Guru dan murid itu kemudian tertawa bersama. Begitulah, dua Imam mazhab menyikapi tawakkal dari dua sudut pandang berbeda. Keduanya tidak saling menyalahkan. Mereka tetap memuliakan ilmu dan hikmah yang mereka dapat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Wallahu A'lam
(rhs) 
Rusman H Siregar

No comments: