Gambaran tentang Tuhan pada Kisah Tamu Ibrahim dalam Alkitab
IDUL ADHA 1442 Hijriah belum lama berlalu. Pada hari raya tersebut, umat Islam melakukan ibadah kurban dan sebagian lagi melakukan ibadah haji. Hal-hal yang berkaitan dengan haji dan kurban biasanya mengingatkan kita pada sosok manusia yang mulia, yaitu Nabi Ibrahim alaihis salam, selain juga Nabi Ismail alaihis salam.
Kisah tentang Nabi Ibrahim bukan hanya terdapat di dalam al-Qur’an, tetapi juga di dalam Alkitab, tepatnya di dalam Perjanjian Lama, kitab yang menjadi pegangan orang-orang Kristen dan juga Yahudi. Tulisan kali ini akan mendiskusikan beberapa gambaran tentang Tuhan pada kisah tamu Nabi Ibrahim alaihis salam, sebagaimana yang dinarasikan di dalam Alkitab serta perbandingannya dengan al-Qur’an.
Kisah-kisah tentang Nabi Ibrahim – dan nabi-nabi lainnya – di dalam Alkitab ada yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadits dan ada pula yang bertentangan. Jika sejalan tentu saja kisah itu disetujui oleh Muslim dan jika bertentangan ditolak. Adapun yang diluar kedua hal itu, maka kita ucapkan wallahu a’lam.
Islam mensucikan Tuhan serta memuliakan para nabi. Al-Qur’an memberikan gambaran yang indah dan penuh keagungan berkenaan dengan Allah dan juga para nabi, sebagaimana yang seharusnya. Adapun di dalam Perjanjian Lama, kita kadang menjumpai gambaran yang berbeda tentang Tuhan dan para nabi, termasuk di dalam kisah tentang Nabi Ibrahim alaihis salam sebagaimana akan dituturkan di bawah ini.
Kisah Tamu Ibrahim
Di dalam al-Qur’an Surat al-Dzariyat ayat 24-30 dituturkan kisah tamu Ibrahim alahis salam. Secara ringkas, kisahnya dapat dijelaskan seperti berikut: Nabi Ibrahim kedatangan beberapa tamu tak dikenal; beliau menyuguhkan hidangan daging anak sapi yang gemuk, tetapi mereka tidak mau makan; para tamu itu kemudian mengabarkan akan lahirnya anak lelaki (Ishaq) bagi Ibrahim, berita yang menyebabkan istrinya Sarah sangat terkejut karena usia keduanya yang sudah tua dan ‘tidak mungkin’ untuk memiliki anak.
Ayat-ayat setelahnya menerangkan tentang rencana para tetamu itu untuk menghukum kaum Nabi Luth alaihis salam yang telah berbuat dosa (homoseksualisme).
Kisah yang sama dengan redaksi yang sedikit berbeda diceritakan juga di dalam Surat Hud ayat 69-71 dan Surat al-Hijr ayat 51-55. Kejadian ini berlaku beberapa tahun setelah pindah dan menetapnya Hajar serta Ismail di lembah Makkah, sementara Ibrahim dan Sarah tinggal di Palestina.
Para mufassir seperti al-Thabari (2007: XXIII/995) dan al-Qurthubi (2009: XVII/260) menjelaskan bahwa para tetamu itu adalah malaikat. Mereka datang dalam bentuk manusia. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa jumlah mereka tiga orang, yaitu Jibril, Mikail, dan Israfil, dan ada pula riwayat yang menyebutkan jumlahnya lebih dari itu (al-Qurthubi, 2009: IX/146).
Kisah senada ternyata juga ada di dalam Alkitab, Perjanjian Lama, tepatnya di dalam Kitab Kejadian 18: 1-15. Alur ceritanya sama, banyak dari isinya juga sama: Ada beberapa orang yang bertamu pada Nabi Ibrahim (Abraham); beliau menyuguhi mereka hidangan daging anak sapi/lembu yang empuk; mereka memberi kabar akan lahirnya putera bagi mereka berdua; Sarah (Sara) terkejut mendengar berita itu mengingat usia mereka berdua yang sudah terlalu tua untuk memiliki anak.
Ayat-ayat berikutnya juga menceritakan tentang rencana para tamu tersebut pergi kepada kaum Nabi Luth (Lot) dan memberikan hukuman ke atas mereka (https://www.alkitab.or.id/alkitab/alkitab-digital).
Di samping beberapa persamaan yang telah disebutkan di atas, ada pula beberapa perbedaan di dalam kedua sumber tersebut. Al-Qur’an tidak menyebutkan berapa jumlah tamu Ibrahim, Alkitab menyebutkan jumlahnya tiga orang. Di dalam al-Qur’an Nabi Ibrahim pada awalnya tidak mengenali siapa para tamu yang datang ini, sementara Alkitab menggambarkan bahwa Ibrahim tampaknya sudah mengenali mereka sejak awal. Menurut al-Qur’an para tetamu itu tidak makan suguhan Ibrahim, sementara Alkitab menyebutkan bahwa mereka makan hidangan yang disuguhkan.
Bagaimanapun, perbedaan terbesar adalah berkenaan dengan siapa sebenarnya para tetamu itu. Al-Qur’an tidak menyebutkan secara langsung siapa tamu-tamu tersebut, tetapi dari dialog yang terdapat di dalam al-Qur’an, dan juga sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir, kita mengetahui bahwa mereka adalah para malaikat.
Adapun Alkitab menyebut tamu-tamu yang datang itu sebagai tiga orang (three men). (https://www.biblestudytools.com/genesis/18.html; https://www.kingjamesbibleonline.org/Genesis-Chapter-18/). Namun, kisah itu menarasikan secara berselang seli tentang kehadiran Tuhan (the Lord) bersama para tetamu tersebut.
Ayat tersebut dibuka dengan kalimat “Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham …” (18: 1) dan pada ayat berikutnya disebutkan “Ketika ia [Abraham] mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya …” (18: 2). Setelah para tamu itu selesai makan dan bertanya tentang keberadaan Sarah, teks berikutnya menyebutkan “Dan firman-Nya: ‘Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan …” (18: 10), dan seterusnya mengabarkan bahwa Sarah akan mendapatkan anak lelaki. Penulisan ‘Nya’ dan ‘Aku’ dengan huruf besar mengisyaratkan bahwa yang berbicara adalah Tuhan. Ini adalah terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia.
Adapun dalam versi bahasa Inggris, King James Version (KJV) ataupun New International Version (NIV), pada bagian kisah itu hanya disebutkan bahwa yang berbicara adalah salah satu dari tamu yang datang: “and he said/then one of them said” (18: 10). Tetapi pada bagian berikutnya disebutkan secara jelas bahwa Tuhan berbicara, menegaskan kembali kabar yang sebelumnya telah disampaikan tentang akan lahirnya seorang putera bagi Sarah: “And the LORD said unto Abraham/Then the LORD said to Abraham …” (18: 13).
Jadi siapakah sebenarnya para tetamu tersebut menurut Alkitab: manusia, para malaikat, atau Tuhan? Pembahasan tentang aspek teologis dari kisah ini di kalangan para ilmuwan Yahudi dan Kristen tentunya tidak sederhana. Bahkan, berbeda dengan zahir teks kitab suci, ada sebagian rabbi Yahudi yang berpegang pada penafsiran bahwa para tetamu itu adalah para malaikat dan mereka sebenarnya tidak memakan makanan yang disuguhkan (Grypeou, 2009: 188).
Penafsiran yang kompleks dan berbeda-beda itu mungkin dapat difahami secara lebih sederhana lewat penuturan Procopius dari Gaza (w. 528): “Beberapa menganggap ketiga pria itu sebagai tiga malaikat; kaum Yudais, bagaimanapun, mengatakan bahwa salah satu dari ketiganya adalah Tuhan, sedangkan dua lainnya adalah malaikat; yang lain menganggap mereka memiliki tipe Trinitas yang kudus dan sehakikat” (Bucur, 2015: 258).
Dengan kata lain, dua dari tiga pendapat ini menganggap bahwa Tuhan ikut hadir sebagai salah satu dari para tetamu itu, atau ketiga tetamu itu adalah simbol dari ketuhanan yang tritunggal. Manifestasi Tuhan ke dalam bentuk yang bisa dilihat oleh manusia biasanya disebut dengan istilah teofani (theophany).
Adanya kisah teofani di dalam Perjanjian Lama, yaitu sebelum era Yesus (Isa alaihis salam), mungkin dilihat oleh orang-orang Kristen sebagai bukti yang menguatkan keyakinan mereka terhadap ketuhanan Yesus; bahwa adakalanya Tuhan dapat dilihat dan hadir di tengah manusia. Tetapi pada sisi lain hal ini juga menimbulkan pertanyaan, mengapa bentuk-bentuk teofani pra-Perjanjian Baru tidak disakralkan dan disembah secara khusus sebagaimana Yesus disakralkan dan diibadahi secara khusus oleh kalangan Kristiani? Atau jika dianggap Tuhan yang bermanifestasi sebelum era Perjanjian Baru itu sebenarnya adalah Yesus juga (ini disebut sebagai Christophany) (https://www.gotquestions.org/three-men-Genesis-18.html), mengapa Yesus tidak dikenal dan disembah sejak awal oleh para penerima kitab suci di era-era sebelumnya (era Perjanjian Lama)?
Teofani dapat dikatakan tertolak di dalam Islam. Tidak ada ayat al-Qur’an ataupun narasi hadith yang menyebutkan bahwa Tuhan pernah dilihat dalam bentuk tertentu oleh manusia. Memang kalangan Ahlus Sunnah memiliki pandangan bahwa pada kehidupan berikutnya nanti (di dalam Surga) – bukan kehidupan yang sekarang – orang-orang beriman akan melihat kepada Allah dan tidak ada nikmat yang lebih mereka sukai daripada hal itu (https://muftiwp.gov.my/en/artikel/al-afkar/4412-al-afkar-107-the-blessing-of-meeting-allah-swt-in-paradise). Tetapi ini adalah hal yang sepenuhnya berbeda.
Kisah tamu Ibrahim bukanlah satu-satunya teofani yang diceritakan di dalam Perjanjian Lama. Alkitab, misalnya, menggambarkan Tuhan pernah bergulat dengan Ya’qub (alaihis salam), dan berakhir dengan permintaan agar Ya’qub melepaskannya (Kejadian 32: 22-32). Tentu saja, sebagaimana sebelumnya, ada beberapa interpretasi berbeda tentang siapa yang bergulat dengan Ya’qub. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah malaikat atau bahwa itu adalah visi/mimpi seorang nabi.
Cerita itu memang agak ambigu dalam menggambarkan siapa yang sebenarnya bergulat dengan Ya’qub (alaihis salam). Ia diawali dengan kehadiran seorang laki-laki yang tiba-tiba saja bergulat dengan Ya’qub pada malam hari hingga fajar menyingsing. Tapi di bagian akhir kisah, orang itu berkata kepada Ya’qub, “… engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang,” dan kemudian ia memberkati Ya’qub. Ya’qub sendiri setelah itu menamai tempat itu Pniel (Penuel), karena “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (KJV: “I have seen God face to face, and my life is preserved”; NIV: “I saw God face to face, and yet my life was spared”).
Karena itu tidak terlalu mengherankan jika ada yang berpandangan bahwa yang bergulat dengan Ya’qub adalah Tuhan (Maha Suci Allah dari yang demikian). Pastor David Guzik, seorang penafsir Alkitab yang popular, misalnya, menjelaskan bahwa orang yang bergulat dengan Ya’qub itu adalah ‘God in human form’ dan ‘another special appearance of Jesus in the Old Testament’ (https://enduringword.com/bible-commentary/genesis-32/).
Selain soal teofani, beberapa gambaran lainnya tentang Tuhan oleh Alkitab juga berbeda dengan al-Qur’an. Kembali pada kisah tamu Ibrahim, misalnya, Alkitab menceritakan tentang ‘perdebatan’ antara Tuhan dengan Sarah. Setelah mendengar kabar bahwa ia akan mendapatkan anak lelaki, “tertawalah Sarah dalam hatinya” (18: 12). Lantas Tuhan bertanya pada Abraham, mengapa Sarah tertawa dan seperti meragukan kabar yang baru diterimanya itu (18: 13-14). Sarah menyangkal hal itu karena takut, tetapi Tuhan berfirman, “Tidak, memang engkau tertawa” (18: 15). Bagi sebagian orang, dialog ini mungkin dirasa tidak memberikan impresi yang kuat akan Kemahatahuan Tuhan.
Adapun di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Sarah terkejut dengan kabar itu. Namun para tetamu (malaikat) itu hanya menegaskan dengan perkataan: “Demikianlah Tuhanmu memfirmankan, sesungguhnya Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS 51: 30).
Pada beberapa ayat berikutnya di dalam Alkitab, saat menuju Sodom, Tuhan digambarkan berfikir dan menimbang-nimbang sesuatu sebelum kemudian memutuskan: “Berfikirlah Tuhan: ‘Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini?’” (18: 17). Al-Qur’an menggambarkan Allah sebagai Maha Tahu (QS 11: 1; 24: 41) dan tidak pernah menyebut-Nya berfikir. Adapun yang berfikir dan diperintahkan untuk berfikir adalah manusia (QS 45: 13; 59: 21).
Beberapa ayat Alkitab lainnya juga memberikan gambaran yang berbeda dengan al-Qur’an berkenaan dengan Tuhan. Di dalam Bible (Alkitab versi bahasa Inggris), baik KJV maupun NIV, disebutkan bahwa setelah Tuhan selesai menciptakan alam semesta dalam enam hari, maka pada hari ketujuh “he rested” (dia beristirahat) (Kejadian 2: 2).
Sementara al-Qur’an saat berbicara tentang penciptaan alam semesta hanya menyebutkan tentang penciptaannya dalam enam masa dan tidak menyebut tentang adanya hari yang ketujuh (QS 7: 54; 10: 3; 11: 7). Bahkan al-Qur’an menyebutkan dengan tegas: “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan” (QS 50: 38).
Di dalam bagian lain, saat akan menghukum kaum Nabi Nuh (alaihis salam), Alkitab menuliskan bahwa Tuhan bermaksud untuk menghapuskan manusia yang telah diciptakan-Nya, sebab “Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka” (Kejadian 6: 7).
Ini juga tidak mencerminkan sifat Maha Tahu yang semestinya, sebab jika Dia Maha Mengetahui, bagaimana mungkin Dia menyesali apa yang telah diciptakan dan ditetapkan-Nya? Dan sebenarnya pada bagian lain, Alkitab mengoreksi hal ini: “Lagi Sang Mulia dari Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal” (1 Samuel 15: 29).
Demikianlah beberapa gambaran tentang Tuhan sebagaimana disebutkan di dalam Alkitab dan juga al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki pandangan tertentu tentang kesucian Tuhan yang menjadi standar keyakinan bagi kaum Muslimin, dan pandangan ini tidak selalu sama dengan apa yang terdapat di dalam Alkitab.
Kisah tamu Ibrahim sendiri merupakan bagian dari episode sejarah yang ringkas, tetapi mengandung pelajaran yang berharga, seperti semangat melayani tamu serta sikap bersandar pada Allah dalam mengharapkan keturunan. Kisah seperti ini merupakan salah satu contoh di mana Allah mendorong manusia agar menggunakan akalnya dalam berfikir (tentang kisah-kisah itu) sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Semoga kita termasuk di antara mereka yang berfikir.(Kuala Lumpur,18 Dzul Hijjah 1442/28 Juli 2021)
Penulis adalah staf pengajar bidang Sejarah dan Peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Bucur, Bogdan G. 2015. “The Early Christian Reception of Genesis 18: From Theophany to Trinitarian Symbolism.” Journal of Early Christian Studies, Vol. 23 No. 2.
Grypeou, Emmanouela. 2009. “Abraham’s Angel: Jewish and Christian Exegesis of Genesis 18-19.” Dalam Emmanouela Grypeou dan Helen Spurling (eds), The Exegetical Encounter between Jews and Christians in Late Antiquity. Leiden: Brill.
Al-Qurthubi. 2009. Tafsir Al-Qurtubi, Vol. IX. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Qurthubi. 2009. Tafsir Al-Qurtubi, Vol. XVII. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Thabari. 2007. Tafsir Ath-Thabari, Vol. XXIII. Jakarta: Pustakan Azzam.
No comments:
Post a Comment