Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir: Jejak Ikhlas Kehidupannya Sebagai Tokoh Kemerdekaan RI
Ketokohan Abdul Kahar Muzakkir kelahiran Kotagede 16 April 1907 mewarisi sang Ayah, KH Muzakkir, guru di Masjid Besar Kesultanan Jogjakarta. Kakek buyutnya KH. Hasan Bushari adalah seorang syeikh Tarekat Syattariyah yang ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro sebagai pimpinan gerilya lokal dan berakhir di Tondano, Sulawesi Utara tempat pengasingannya.
Pada 1970-an, Buya Hamka berkunjung ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Seorang pimpinan Muhammadiyah Tonando bercerita pada Hamka tentang kunjungan Abdul Kahar Muzakkir ke pemakaman Kiai Mojo dan pengikut Pangeran Diponegoro.
Di depan sebuah makam, Kahar Muzakkir tertegun lama dan menitikkan air mata. “Di sana ada kuburan dari datuknya, kakek dari ayahnya, yang turut berjuang menegakkan cita Islam di zaman Perang Diponegoro itu,” kata Hamka. “Darah itulah rupanya yang masih mengalir pada Ustad Kahar,” tulis Hamka mengenang karibnya dalam artikel “Kenang-kenangan Kepada Profesor Abdul Kahar Muzakkir.” (Suara Muhammadiyah, nomor 24 tahun ke-53, Desember II/1973).
Abdul Kahar mengenyam pendidikan di sekolah dasar Muhammadiyah di Kotagede hingga kelas dua. Lantas dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Mambaul Ulum di Solo, lalu Pesantren Jamsaren dan Pesantren Tremas di Jawa Tengah.
Pada 1925, di usia 16 tahun, dia bertolak ke Kairo untuk menimba ilmu, disokong oleh Haji Muchsin (paman dari pihak ibu) yang merupakan juragan grosir di Kotagede. Di Kairo, dia bersekolah di Darul Ulum (Rumah Ilmu), sebuah fakultas baru di Universitas Fuad I (kemudian berganti nama menjadi Universitas Kairo), dan lulus dari sana pada 1936 dengan mengantongi gelar pascasarjana dalam kajian hukum Islam, pedagogi, bahasa Arab, dan bahasa Ibrani.
Karir Pergerakan Politik
Selama dua belas tahun tinggal di Kairo, dia aktif bergulat dalam politik pelajar, mewakili para pelajar dari Jawah (istilah yang kala itu digunakan untuk menyebut Nusantara). Dia adalah pendiri Jamiyatul Syubban Muslimin dan seorang pemimpin Jamiyah Khairiyah Indonesia.
Abdul Kahar Muzakkir pernah juga ikut serta dalam publikasi jurnal Seruan Azhar, organ dari Jamiyah Khairiyah Indonesia yang juga merupakan instrumen penting dalam mengumandangkan seruan reformisme Islam dan kesatuan antar umat Islam dari Kairo hingga Asia Tenggara Islam.
Pada 1933, Abdul Kahar Muzakkir memainkan peran penting dalam pendirian Perhimpunan Indonesia Raya di Kairo (sebuah organisasi paralel Perhimpunan Indonesia di Belanda), dan dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Di awal 1930- an Abdul Kahar Muzakkir menghadiri konferensi Islam tingkat internasional di Timur Tengah, mewakili para pelajar Indonesia di Kairo maupun juga umat Islam di Indonesia.
Di usia 28 tahun dia kembali ke Indonesia dan mulai mengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (sekolah guru Muhammadiyah) di Jogyakarta, dan tak lama kemudian menjadi direkturnya. Hingga Perang Pasifik meletus, dia menjabat sebagai salah satu pengurus Pemuda Muhammadiyah dan Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem. Pada 1938, Abdul Kahar bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII), dan terpilih sebagai salah satu komisarisnya hingga 1941.
Pada 1939 dia diundang ke Jepang bersama tiga orang Muslim sebagai delegasi Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam Asia Timur Jauh di Tokyo. Saat Jepang menduduki Indonesia, Abdul Kahar Muzakkir sempat bekerja di Departemen Hubungan Ekonomi Kesultanan Jogyakarta hingga 1943. Kemudian dia dipilih oleh Badan Intelijen Militer Jepang (Beppan) untuk menempati sebuah posisi di Jakarta, tepatnya sebagai komentator berita.
Nama Abdul Kahar Muzakkir berkibar di luar negeri dan juga kerap mewakili umat Islam Indonesia di berbagai konferensi internasional. Abdul Kahar Muzakkir merupakan perwakilan permanen dalam Kongres Islam Dunia di Indonesia.
Saat meninggal dunia ia sebetulnya tengah mengemban amanah yang cukup banyak, beberapa di antaranya adalah sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Namun demikian, yang membuat kisah kehidupannya menjadi penting dan menarik bukanlah jabatan-jabatan formal di atas semata, melainkan kepribadian dan nilai-nilai Islam yang diamalkannya. Pasalnya, itu semua banyak menceritakan kepada kita, dan dari situ kita mengerti apa makna hal-hal di atas bagi umat Islam.
Dari sekian banyak penghormatan kepada Abdul Kahar Muzakkir yang tampil di berbagai media cetak Islam, satu tulisan yang terbit dalam Suara Muhammadiyah (organ resmi Muhammadiyah) menyanjungnya sebagai ”Pemimpin teladan,” yang patut dicontoh oleh seluruh umat Islam di Indonesia. Tulisan-tulisan lainnya mencandrakannya sebagai ”Perintis kebangunan umat Islam” dan sebagai ”Pejuang kemerdekaan,” sementara salah satu kawan dekatnya sewaktu kecil dan sewaktu studi di Mesir menceritakan pencapaiannya yang luar biasa luas.
”Dalam rentang hanya beberapa tahun pemuda santri dari Kotagede berhasil menjadi pemimpin pelajar dalam percaturan politik Islam internasional yang berpusat di sekitar Kairo; dan tatkala kembali ke Indonesia mantan pemuda santri tersebut segera dikenal sebagai ulama intelek dan sebagai sarjana Muslim, alhasil tidak hanya meraih status guru besar, melainkan lebih dari itu, menjadi ustaz.” Citranya yang gemilang di mata khalayak mengajak kita memahami perannya sebagai tokoh gerakan Islam reformis di Indonesia.
Perlu diingat pula bahwa keluarga Abdul Kahar Muzakkir pernah berjasa menentang kekuasaan kolonial. Sebagaimana telah disebutkan di awal, kakek buyutnya mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dan akhirnya diasingkan ke Tondano. Abdul Kahar Muzakkir begitu terharu tatkala mengunjungi makam kakek buyutnya di sana, demikian ungkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang kala itu menemaninya.
Menjadi Diplomat
Ben Anderson (peneliti sosiologi Islam Indonesia) pernah menunjukkan aspek diplomatis dari hubungan antara umat Islam dan politik sekuler. Paparannya tampak cukup menarik. Tetapi, saya perlu menambahkan bahwasannya para diplomat jarang berasal dari eselon tertinggi pemimpin sebuah negara, demikian pula ”Diplomat” umat Islam, mereka tidak menduduki struktur tertinggi dalam umat Islam. Para ”Diplomat” umat Islam yang berpolitik jamaknya adalah tokoh periferi atau kelas dua, namun mereka memiliki keterampilan ”Diplomatik” sehingga mereka dipercaya untuk mengemban kepentingan umat dalam berurusan dengan pemangku kekuasaan.
Umat Islam membiarkan ”Politisi Muslim” tersebut untuk berbuat semaunya, sekalipun itu pekerjaan kotor. ”Biarlah,” kata mereka, meski mereka tidak begitu percaya dan menghormati para ”politisi Muslim.” Jadi, dukungan yang diterima para politisi dari umat Islam memang agak lemah, dan hubungan antara mereka pun dangkal.
Ketika masih pada pendudukan Jepang, Abdul Kahar Muzakkir menjabat di Departemen Agama sebagai wakil ketua. Kahar Muzakkir pernah pula menjabat sebagai Dewan Penasehat Pusat, yang kemudian membawanya berada di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mewakili organisasi Islam. Dua bulan menjelang kemerdekaan Ia menjadi subkomite BPUPKI, dan bersama 9 anggota lainnya, termasuk Sukarno dan Hatta, ia ikut menandatangani “Piagam Jakarta”, Mukaddimah tidak resmi UUD ‘45.
Kahar Muzakkir, tercatat pernah menjadi anggota Dokuritsu Zunby Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ini pula yang tetap dipertahankan ketika UII dihadirkan sebagai pengganti STI pada 4 Juni 1948. Ia menduduki jabatan sebagai Rektor UII sampai tahun 1960.
Kepribadian Kahar Muzakkir
Sesungguhnya, saya dapat melukiskan poin di atas dengan memaparkan kepribadian Prof. Kahar Muzakkir sendiri. Nakamura, peneliti Sejarah Islam asal Jepang menuliskan pandangannya tentang kepribadian Kahar Muzakkir dengan tiga istilah, yakni sederhana, ramah tamah, dan ikhlas. Adalah istilah yang umumnya dipakai untuk menggambarkan kepribadian dan gaya hidupnya.
Contohnya, Suara Muhammadiyah menggambarkannya sebagai ”pejuang yang ikhlas dan sederhana” dalam orbituarinya. Ikhlas—yang artinya tulus hati—adalah kata yang diambil dari Al-Qur’an dan ada salah satu surat yang bertajuk ”Al-Ikhlas”. Sebagai istilah berkenaan etika yang bersifat umum, ikhlas berlawanan dengan pamrih.
Kehidupan Prof. Abdul Kahar Muzakkir tentu dapat digambarkan sebagai kehidupan penuh keikhlasan, diwarnai oleh usaha yang tiada putus untuk mengabdi kepada Allah, membuang segala keinginan untuk memikirkan kepentingan pribadi, demikian yang diakui oleh lawan politiknya dan umat agama lain.
Kini muncullah masalah yang menantang dari pengamatan ini. Jika kehidupan Almarhum Prof. Abdul Kahar Muzakkir dapat dikatakan penuh ikhlas dan tanpa pamrih, kita perlu menyadari bahwa istilah-istilah itu berasal dari bahasa yang berbeda.
Secara etimologis, ikhlas adalah kata dari bahasa Arab yang lekat dengan Islam, sedangkan pamrih adalah kata dari bahasa Jawa dan merupakan kata]adian dari dunia epos Hindu-Jawa. Dengan meninggalkan pamrih seseorang dapat mencapai peringkat kesatria. Kedua istilah itu dapat dipandang sebagai istilah kunci dalam dua pandangan dunia yang berbeda, yakni Islam dan Hindu-Jawa.
Jika demikian, beberapa pengamat boleh jadi kebingungan ketika mengetahui bahwa Prof. Kahar Muzakkir yang seorang Muslim reformis digambarkan sebagai sosok yang ikhlas tanpa kenal pamrih oleh kolega-koleganya yang agaknya telah memurnikan Islam dari elemen-elemen tak Islami.
Sekarang, masalahnya lebih eksplisit seperti ini, pengamat asing jamak melukiskan bahwa Islam—khususnya Islam reformis—merupakan berseberangan, antitesis, atau tidak sesuai dengan kejawaan yang tulen.* (Akbar Muzakki)
No comments:
Post a Comment