Resep Nabi Kala Berduka
Kejahiliahan itu terlihat pada cara beragama dan moral mereka. Jika kita menyelami sisi yang satu ini, setumpuk bukti kejahiliahan bisa kita dapatkan. Dalam menyembah mereka menyekutukan Allah SWT. Dalam moral dan akhlak mereka terlilit oleh tradisi-tradisi yang menyimpang.
Di tengah masyarakat seperti itulah Rasulullah ﷺ diutus. Tugas beliau adalah mengembalikan mereka pada jalur kemuliaan dengan meninggalkan tradisi-tradisi jahiliah. Di antara tradisi itu adalah menampar pipi, merobek baju sebagai pelampiasan dikala berduka.
Kehilangan orang yang dicintai acap kali meletupkan kesedihan yang begitu mendalam. Kondisi inilah yang kadang dimanfaatkan oleh setan. Ia menyusupkan bisikannya saat seorang sedang dirundung duka. Tanpa sadar sikap dan prilaku kita di bawah kendalinya. Alhasil, kesabaran menjauh dan pelampiasan kesedihan ala jahiliah yang menyeruak.
Dalam sebuah hadisnya nabi ﷺ berpesan
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُوْدَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوْبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukanlah golongan kami, siapa yang menampar pipi, merobek baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas bekal penting untuk menghindari berduka ala jahiliah. Sebab, melampiaskan kesedihan tidak bisa seenaknya dan sekehendak hawa nafsu. Menangis sambil meraung, menyobek baju dan menampar pipi adalah perbuatan yang dikecam keras oleh Rasulullah ﷺ.
Kecaman keras itu sangat terasa pada lafadz yang beliau gunakan. Rasulullah ﷺ mengawali haditsnya dengan lafadz laisa minna yang artinya tidak berada di atas jalan dan ajaran kami.
Galibnya, beliau menggunakan lafadz seperti ini sebagai peringatan keras terhadap suatu maksiat. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Uslub seperti ini digunakan oleh Rasulullah untuk mencegah dengan keras agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.” (dalam Fathul Bari 3/163).
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Ia berkata, “Hadits-hadts yang di dalamnya terdapat laisa minna adalah peringatan akan maksiat yang sangat besar bobot dosanya, tapi pelakunya tidak keluar dari Islam selama ia tidak meyakini maksiat itu sebagai sesuatu yang halal. ”Adapun yang dimaksud dengan da’wah al-jahiliah adalah, menangis sambil mengucapkan perkataan yang tidak boleh menurut syariah.” (dalam Tuhfatul Ahwadzi, 4/68).
Peringatan keras dalam hadits di atas erat kaitannya dengan salah satu rukun iman yaitu beriman kepada takdir. Bersedih dengan menangis sambil berteriak, meraung, menampar pipi adalah perilaku yang bisa mencedrai bahkan merusak pilar keimanan kita kepada takdir.
Cukup di Hati dan Air Mata
Mencermati sejarah, Nabi Muahmmad ﷺ adalah sosok yang paling dahsyat ujian dan cobaannya. Kondisi dan situasi sulit nyaris tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.
Perhatikanlah sejarah hidup beliau. Sebelum lahir ia telah kehilangan ayahnya. Setelah lahir silih berganti orang-orang yang dicintainya dipanggil Allah SWT. Mulai dari ibu, kakek, paman, dan istri tercintanya khadijah.
Namun apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, tak satu pun dari peristiwa-peristiwa tersebut yang dirayakan sebagai hari berkabung. Yang diperlihatkan oleh Rasulullah ﷺ adalah sabar. Beliau tidak memukul, apalagi sampai melukai diri sebagaimana yang dilakukan kalangan Syiah.
Sebagai manusia tentu beliau bersedih. Bahkan saat putra beliau Ibrahim meninggal beliau menangis. Tapi kesedihan itu hanya sebatas di hati dan air mata. Tidak ada ucapan apalagi aktivitas fisik yang merefleksikan kesedihannya. Inilah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Beliau bersabda:
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Seungguhnya Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bersedih karena berpisah denganmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebatas bersedih dan mengeluarkan air mata tanpa disertai dengan ratapan dan teriakan, maka hal tersebut dibolehkan. Beliau bersabda
“Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (Al-Bukhari).
Adapun tradisi berduka dengan berteriak, menampar pipi, melukai diri adalah tradisi jahiliah yang sangat dilaknat dan dikecam oleh Rasulullah ﷺ.
Tradisi Jahiliyah
Beberapa waktu lalu masyarakat sempat dihebohkan perayaan Asyura oleh kalangan Syiah. Di kalangan Syiah perayaan seperti ini bukanlah hal yang baru, bahkan menjadi ciri khas kesyiahan seseorang.
Perayaan ini semakin memperjelas betapa berbedanya Syiah dengan ajaran Islam yang dicontohkan Nabi ﷺ. Ketika umat Islam disunnahkan berpuasa pada tanggal 10 Muharran, kalangan Syiah justru menghidupkan tradisi jahiliah dengan menampar bahkan melukai diri dengan alasan berduka atas kematian Husen RA.
Pakar tafsir dan sejarah al-hafidz Ibnu Katsir sangat terheran-heran dengan perilaku Syiah. Pasalnya, sebelum Husen banyak sahabat yang meninggal tapi tak seorang pun yang dijadikan sebagai hari bersedih. Ali ayah dari Husen, Usman, Abu Bakar, dan Umar. Mereka semua meninggal, tapi hari menginggalnya tidak diperingati sebagai hari bersedih. Sekiranya berduka ala Syiah adalah bagian dari ajaran Islam, maka Rasulullah ﷺ yang paling berhak untuk diperlakukan demikian. (lihat Al-bidayah Wa Nihayah, 8/221).
Ibnu Taimiyah berkata, “Dengan kematian Husen, setan mengadakan dua kebid’ahan. Bid’ah bersedih pada hari Asyura yang dilakukan oleh orang Syiah dan bergembira yang dilakukan oleh orang-orang nawashib.” (Minhajussunnah, 4/544).
Mengundang Laknat Allah
Mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara bermaksiat kepada-Nya adalah pelanggaran terhadap syariat. Hukuman Allah SWT tidak saja tertuju kepada pelakunya, tapi juga yang memberi izin dan melindunginya.
Rasulullah ﷺ bersabda
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang menyembunyikan (melindungi) penjahat, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan Allah melaknat orang yang memindah (menggeser) batas (patok) tanah.” (HR. Muslim no. 1978).*/Ahmad Rifa’I, pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan
No comments:
Post a Comment