Bu Markisah Dahlia, Potret Istri Pejuang yang Setia

 TULISAN ini, saya awali dengan quote Hamka yang bersumber dari buku beliau yang berjudul “Kedudukan Perempuan dalam Islam” (1984: 11). “Istri muslimat dan mu’minat,” tulisnya, “tidaklah tertonjol atau menonjolkan diri…Mereka mengambil peranan di saat yang penting dan genting.” Sebagaimana Khadijah saat di Mekah, demikian pula Ummu Salamah saat di Madinah, menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari sini, tak berlebihan jika dikatakan, wanita adalah tiang negara. Jika baik, maka baik pula negara. Kalau bobrok, maka bobrok pula suatu negara. Biasanya tiang tidak terlihat, tapi kalau rumah doyong atau miring, itu tandanya tiangnya sudah lapuk. Demikian, kurang lebih, Buya Hamka menganalogikan peran penting seorang istri bagi suami.

***

Demikian halnya dengan sosok yang hendak diangkat dalam tulisan ini: Markisah Dahlia (1909), istri dari Mohamad Roem (1908-1983), sang pejuang muslim yang namanya terabadikan dalam sejarah emas perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nama beliau (Markisah) mungki tidak sementereng sang suami, tapi peran-perannya dalam sejarah dalam membantu suami, tidak bisa diabaikan begitu saja.

***
Ada beberapa kata kunci yang bisa disebut untuk mengenal Markisa Dahlia. Beliau adalah potret istri yang setia, hidup sederhana, organisatorik, berjiwa pendidik dan suka menyambung shilaturahim.

Sebelum menikah dengan Roem, menurut catatan Ridwan Saidi dalam “Islam dan Nasionalisme Indonesia” (1995: 3), Markisa Dahlia aktif dalam organisasi pemuda Islam bagian perempuan yang disebut JIBDA. Saat diwawancarai oleh S. Soemarsono dalam buku “Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding” (1978: 10), di sinilah untuk pertama kali bertemu dengan Roem, tepatnya di Kepanduan Natipij yang didirikan JIB (Jong Islamieten Bond). Sampai pada akhirnya keduanya menikah pada tahun 1932 di Malang.

Dalam sejarah hidupnya bersama Roam, meski sang suami pernah beberapa kali menjabat sebagai Wakil Perdana Mentri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri, hidupnya bisa dikatakan sangat bersahaja. Selama menjabat itu, bisa dikatakan tidak punya rumah. Tinggalnya, dari rumah dinas satu ke rumah dinas lainnya. Baru punya rumah pada tahun 1952 setelah berhenti sebagai menteri (artinya 22 tahun baru punya rumah pasca nikah).

Pada tahun tersebut, saat ada orang menawarkan rumah yang dijual dengan harga 150.000, hal itu langsung ditanyakan kepada Moh. Roem. Kata beliau, “Beli rumah? Uangnya dari mana?” Memang kondisinya tidak ada anggaran untuk beli rumah. Akhirnya mereka berembuk dan voting. Ibu Markisa beserta dua anaknya setuju beli rumah dengan menjual mobil, sementara Roem tak setuju. Roem mengalah, mobil Dogde Cabrioletnya pun dijual dan laku 165.000. Pada akhirnya mereka punya rumah, meski Pak Roem akhirnya ke mana-mana harus naik becak.

Dari sejak nikah hingga punya rumah, 22 tahun lamanya, Markisah Dahlia bisa dikatakan istri yang sangat setia, bahkan hingga akhir hayat Roem. Suka dan duka pernah dirasakan selama bersama dengan Moh. Roem. Bahkan pada saat Roem terkena Tembak oleh tentara NICA (Nedherland Indies Civil Administration) pada Oktober-November 1945, sang istri juga sedang bersamanya. Artinya, dalam kondisi senang dan susah pun, sang istri tetap setia bersamanya.

Satu hal lagi yang bisa disebut dari sosok Bu Markisa Dahlia. Beliau adalah sosok yang suka menjaga hubungan baik dengan keluarga dan kawan-kawannya. Dalam buku “Yang Datang Telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002” (2008: 228-229), Ajip mencatat dalam suratnya, pasca wafatnya Moh. Roem mengungkap kebiasaan baik Bu Markisa dan Pak Roem, “Saya sekeluarga selalu ingat bahwa Bapak dan Ibu Roem senantiasa memenuhi undangan kami di rumah dalam berbagai kesempaan.” Keduanya sosok yang ramah dan gampang menyambung ikatan pertemanan.

Di usia senjanya pun Bu Markisah Dahlia tetap menjaga hubungan baik dengan kawan-kawannya. Pada April 1985 misalnya, di usianya yang ke-75, beliau masih menyempatkan diri mengajak keponakannya untuk berkunjung ke rumah Pak Hasyim selaku Kepala Tata Usaha majalah Panji Masyarakat. “Saya kangen..” kata Bu Roem pada Bu Hasyim. Keduanya memang memiliki hubungan perkawanan yang dekat. Dulunya sama-sama menjadi jama’ah Masjid Agung Al-Azhar. Bahkan, wakti tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat, dulu Bu Markisa pernah menjadi guru TK dari puteri Pak Hasyim (Majalah Panjimas No. 468 Thn.XXVI: 1985)

Karena kebiasaan yang baik ini, maka tak mengherankan ketika banyak kawan dan sahabatnya yang peduli. Pada 18 Agustus 1984, sahabat dan kawan Roem demikian juga Markisah mengadakan tasyakuran di Aula Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar bertepatan dengan momen Moh. Roem yang mendapatkan penghargaan Maha Putra dari Pemerintah. Dalam kesempatan itu, hadir Yunan Nasution, M. Natsir dan kawan-kawan.

“Terimakasih atas terselenggaranya tasyakuran ini. Penghargaan yang diterima Bapak, tak terlepas dari perjuanganna bersama -sama sahabana di Masyumi,” demikian ujar Bu Markisah dalam sambutannya.

Dalam kesempatan itu juga, Yunan menyampaikan tujuan tasyakuran itu, “Untuk menunjukkan perasaan keseria-kawanan kepada Ibu Roem dan keluarga, bahwa dalam keadaan suka dan duka, senaniasa bersama sahabat-sahabatnya.” (Majalah Panji Masyarakat No. 442 Th, XXVI: 1984)

***
Itulah sekelumit cerita tentang Ibu Roem (Markisah Dahlia). Semoga bisa memberi keteladanan bagi para istri atau yang bakal menjadi istri. Beliau mengajarkan nilai penting tentang kesederhanaan, kesetiaan, kesabaran, ketabahan, kepedulian dan masih banyak nilai luhur lain yang bisa diteladani. Untuk menutup tulisan ini, saya akan menukil satu bait puisi karya AR. Baswedan tentang peran seorang istri yang saya kira relevan juga jika ditujukan untuk Bu Markisah:

Istri nan bakti!
Pelita hati waktu menggelap
Penyejuk kalbu saat kecewa
Peneguh iman bertambah tetap
Pengobat luka penawar jiwa
(AR. Baswedan, Bilik-Bilik Muhamamad: Novelet Rumah Tangga Rasulullah, 1985:5)

Rahimahumallah Rahmatan Waasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: Bambang S

No comments: