Hukum Nikah Mut'ah dalam Pandangan Islam
Nikah Mut'ah atau dikenal dengan istilah kawin kontrak adalah pernikahan dalam tempo masa tertentu. Pernikahan semacam ini biasanya melakukan akad dengan mengucapkan waktu tertentu seperti "Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian, mempelai wanita menjawab, "Aku terima."
Bagaimana pandangan Islam terhadap Nikah Mut'ah?
Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini dilansir dari alfachriyah.org menjelaskan, semua ulama dan fuqaha sepakat mengharamkan Nikah Mut'ah, berdasarkan hadits-hadits sahih yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah. Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan keharaman nikah mut’ah itu untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.
Sebagaimana dalam hadits riwayat Saburah bin Ma’bad Al-Juhani:
إنه غزا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة فقال يآايها الناس إنى كنت أذنت لكم فى الإستمتاع من النسآء وإن الله قد حرم ذالك إلى يوم القيامة
"Sesungguhnya ia (Saburah) perang bersama Rasulullah pada waktu pembebasan Kota Makkah, dan beliau bersabda: "Hai orang-orang, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kepada kalian menikahi wanita dengan nikah mut'ah. Tapi sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari Kiamat." (HR Imam Muslim)
Ulama ahlussunnah wal jamaah menjelaskan: Nikah Mut'ah pada permulaan Islam memang dibolehkan, kemudian dinasakh. Oleh sebab itu, nikah mut'ah dilarang dan hukumnya haram sampai kini dan seterusnya. Pe-nasakh-an Nikah Mut'ah ini terjadi dua kali.
Pertama, pada waktu perang Khaibar, seperti tersebut dalam hadits yang shahih. Kedua, pada waktu pembebasan kota Makkah. Pada masa permulaan, terdapat perselisihan tentang nikah mut’ah dan terus bertambah meningkat, kemudian mereka bersepakat atas keharamannya.
Tentang pendapat golongan Syi'ah yang membolehkan nikah mut’ah itu tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan nash-nash Al-Qur'an, Al-Hadits dan ijma’ ulama Islam dan imam ahli ijtihad.
Hadits yang menunjukkan keharaman Nikah Mut'ah selain yang tersebut di atas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu 'anhu:
إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن متعة النسآء يوم خيبر وعن اكل لحوم الحمر الأهلية
"Sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah melarang menikahi wanita dengan nikah mut'ah pada waktu perang Khaibar, dan melarang pula makan daging keledai piaraan." (HR Al-Bukhari, Muslim dan Malik)
Bagaimanakah Orang-orang Syi'ah Menghalalkan Nikah Mut'ah?
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari mengutip dari Imam al-Khatthabi, ia berkata: Pengharaman nikah mut'ah itu seperti menjadi ijma', kecuali menurut sebagian orang Syi'ah. Padahal, menurut riwayat yang shahih dari Imam Ali, bahwa nikah mut’ah telah dinasakh.
Imam Muslim telah menyebutkan lebih dari sepuluh hadits tentang keharaman nikah mut’ah. Demikianlah pendapat ulama Ahlussunnah. Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan sanadnya:
إن رسول الله صلى الله عليه و سلم حرم المتعة فقال يآايها الناس إنى كنت اذنت لكم فى الإستمتاع الا وإن الله قد حرمها الى يوم القيامة
"Sesungguhnya Rasulullah telah mengharamkan nikah mut'ah; beliau bersabda: "Hai orang-orang, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu menikahi wanita secara nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah mengharamkannya sampai hari kiamat."
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir:
إنه سئل عن المتعة فقال هي الزنى بعينه
"Sesungguhnya Imam Ja'far Ash-Shadiq ditanya tentang nikah mut’ah, dan ia berkata: 'Nikah Mut'ah itu hakekatnya adalah zina."
Dengan demikian, maka klaim golongan syi'ah tentang kehalalan Nikah Mut'ah adalah batil. Para ulama menerangkan: Allah dalam kitab-Nya telah menjelaskan, bahwa senggama (hubungan badan) itu halal dilakukan dengan istri atau budak perempuan miliknya, sebagaimana dalam firman-Nya:
والذين هم لفروجهم حافظون إلا على ازواجهم اوما ملكت ايمانهم فإنهم غير ملومين
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela." (QS. Al-Mukminun: 4-5)
Wanita yang dinikahi dengan nikah mut’ah statusnya bukanlah sebagai istri dan bukan pula sebagai budak miliknya. Sebab jika ia sebagai isteri, tentu berlaku di dalamnya hukum waris, penentuan nasab dan kewajiban iddah. Tetapi dalam nikah mut'ah tidak terdapat aturan tersebut.
Dalam nikah mut'ah tidak ada tujuan selain melampiaskan nafsu seksual, bukan untuk tujuan mengembangkan keturunan dan memelihara anak yang menjadi tujuan utama pernikahan. Barangkali, tidak berlebihan ucapan yang mengatakan: "Nikah mut’ah sama dengan zina dari segi tujuan mencari kepuasan hubungan badan. Orang yang mencari kepuasan seks melalui nikah mut’ah berarti termasuk orang-orang yang melewati batas ketentuan Al-Qur'an:
فمن ابتغى ورآء ذالك فأولئك هم العادون
"Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang melampaui batas." (QS. Al-Mukminun: 7)
Semoga Allah memberi anugerah kepada kita agar dapat mengikuti Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam lahir dan batin secara sempurna.
Sumber:
Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah Karya Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini
(rhs)
Rusman H Siregar
No comments:
Post a Comment