Imam Maliki Sempat Masuk Penjara karena Melawan Pemerintah

Imam Maliki Sempat Masuk Penjara karena Melawan Pemerintah
Imam Maliki/Ilustrasi/ist
Imam Maliki adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki . Juga merupakan guru dari Muhammad bin Idris pendiri Madzhab Syafii . Beliau sempat masuk penjara di Kota Madinah karena melawan fatwa pemerintah.

Alkisah,Imam Maliki dijebloskan ke penjara oleh gubernur Kota Madinah pada tahun 147H/764M. Di dalam penjara beliau disiksa gara-gara menolak membenarkan fatwa hukum thalaq yang diberlakukan oleh pemerintah Abbasiyah.

Kala itu, pemerintah Abbasiyah membuat fatwa bahwa semua penduduk perlu taat kepada pemimpin negara dan barangsiapa yang enggan maka akan jatuh thalaq atas isterinya.

Lantaran rakyat lebih taat kepada para ulamaketimbang politisi, pemerintah Abbasiyah memaksa Imam Malik untuk mengesahkan fatwa pemerintah tersebut. Imam Maliki menolak, bahkanbeliau mengeluarkan fatwa yang menyatakan aturan thalaq pemerintah tidak berpengaruh terhadap hubungan suami-istri alias tidak jatuh talaknya

Selanjutnya, Imam Maliki ditangkap dan disiksa. Tulang bahu beliau patah. Cidera ini amatlah berat sehingga beliau tidak lagi dapat salat dengan memegang kedua tangannya di dada, lalu dibiarkan saja terkulai di tepi badannya.

Imam Maliki dibebaskan dari penjara dan beliau terus kembali mengajar di Madinah sehingga beliau meninggal dunia pada 11 Rabiul-Awwal, tahun 179H/796M, ketika berusia 86 tahun (Hijriah).

Perawi Hadits
Imam Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93H/711M. Beliau dilahirkan di dalam sebuah kota yang merupakan tempat tumbuhnya Islam dan berkumpulnya generasi yang telah dididik oleh para sahabat Rasulullah SAW. Sejarah keluarganya juga ada hubungkait dengan ilmu Islam, dengan kakeknya sendiri adalah seorang perawi dan penghafal hadits yang terkemuka.

Pamannya, Abu Suhail Nafi’ adalah seorang tokoh hadits kota Madinah dan dengan beliaulah Malik bin Anas mulai mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya hadits.
Abu Suhail Nafi’adalah seorang tabiin yang sempat menghafal hadits dari Abdullah ibn Umar, Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Salamah, Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri ra.

Selain Nafi’, Imam Malik juga duduk berguru dengan Jaafar as-Shadiq, cucu kepada al-Hassan, cucu kepada Rasulullah SAW.

Imam Maliki juga belajar di Masjid Nabawi, Madinah dan berguru dengan Muhammad Yahya al-Ansari, Abu Hazim Salmah ad-Dinar, Yahya bin Saad dan Hishambin ‘Urwah. Mereka ini semua ialah anak murid para sahabat Rasulullah SAW.

Suasana kehidupan Imam Malik bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi dengan para tabi‘in amatlah menguntungkannya. Para tabi‘in ini adalah mereka yang sempat hidup bersama sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Mereka sempat belajar, mendengar hadits dan mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus.

Inilah kenapa Imam Maliki tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali apabila pergi menunaikan ibadat haji.

Imam Maliki kemudian mengambil alih peranan sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi, Madinah. Ajarannya menarik ummatt Islam dari penjuru dunia Islam. Kala itu beliau juga bertindak sebagai Mufti Kota Madinah.

Imam Malikiadalah tokoh dalam mengumpul dan membukukan hadits-hadits Rasulullah SAW di dalam kitabnya al-Muwattha’. Kitabnya ini menjadi hafalan dan rujukan sehingga Imam as-Syafii menyebutnya sebagai: “Tidak wujud sebuah buku di bumi yang paling hampir kepada al-Quran melainkan kitab Imam Malik ini.”

Di antara tokoh besar yangbergurudengan Imam Malik ialah Imam Abu Hanifah dari Kufah, Iraq. Selain itu diriwayatkan juga bahwa sebanyak 1.300 tokoh-tokoh lain yangmenjadi santriImam Malik di Masjid Nabawi. Termasuk di antaranya Muhammad bin Idris, yang kemudiannya terkenal dengan gelaran Imam Syafii.

Ketinggian ilmu Imam Maliki pernah diungkap oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai: “Imam Malik adalah penghulu daripara penghulu ahli ilmu dan beliau pula seorang imam dalam bidang hadits dan fiqih. Siapakah gerangan yang dapat menyerupai Imam Malik?”
Di antara santri beliau yang masyhur ialah ‘Abdarrahman bin al-Qasim al-Tasyri (191H/807M), Ibn Wahhab Abu Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Yahya bin Yahya al-Masmudi (234H/849M).

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: