Islamnya Sang Menteri Romawi
Sang menteri Romawi menyatakan diri sebagai Muslim setelah bertemu Umar bin Khattab.
HASANUL RIZQA
Umar bin Khattab adalah amirul mukminin kedua setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Tidak hanya dikenal dengan sifatnya yang keras dan tegas, lelaki dari Bani Adi itu juga hidup bersahaja.
Kesederhanaan hidup sama sekali tidak mengurangi wibawanya sebagai seorang pemimpin. Pada masanya, ekspansi daulah Islam berlangsung sangat pesat. Banyak wilayah yang berhasil dibebaskan kaum Muslimin.
Alhasil, Umar bin Khattab kian terkenal. Banyak raja dan penguasa akan merasa gentar walau hanya mendengar namanya. Di antara negeri yang menghadapi Kekhalifahan Islam ialah Romawi Timur (Bizantium).
Ketika Nabi SAW masih hidup, Bizantium pernah memprovokasi umat Islam dengan membunuh seorang duta yang diutus beliau shalallahu ‘alaihi wasalam. Maka terjadilah Ekspedisi Tabuk.
Mengikuti langkah yang pernah diambil Rasulullah SAW, Khalifah Umar pun mengirimkan duta kepada kaisar Bizantium. Surat yang dibawakan ke sana berisi ajakan supaya penguasa Romawi memeluk Islam. Kalau dahulu, mereka bisa bersikap arogan. Kini yang terjadi, sebaliknya.
Raja Bizantium menerima utusan sang khalifah dengan baik. Akan tetapi, dia masih enggan berislam. Sebagai penghormatan atas surat Umar, raja tersebut menyuruh seorang menterinya untuk memimpin arak-arakan ke Madinah. Mereka akan menyampaikan upeti berupa harta benda yang banyak kepada sang amirul mukminin.
Raja Bizantium menerima utusan sang khalifah dengan baik. Akan tetapi, dia masih enggan berislam.
Rihlah yang cukup melelahkan itu akhirnya tuntas. Sampailah menteri Romawi dan para pengantarnya ke Hijaz. Pejabat Bizantium itu mulai keheranan, mengapa sejauh perjalanannya ia tidak menemukan seorang pun yang meminta-minta pemberian. Padahal, rajanya sudah menyiapkan satu peti khusus untuk itu.
Tibalah mereka di Madinah. Kini, sang menteri cukup mencari, manakah bangunan terbesar dan termegah di kota ini. Sebab, itulah pasti tempat tinggal sang raja Muslim, Umar bin Khattab.
Berjam-jam lamanya beberapa prajurit Bizantium mengelilingi seantero Madinah. Mereka tidak menemukan satu bangunan pun yang mentereng atau terkesan sebagai hunian bangsawan.
Tibalah mereka di Madinah. Kini, sang menteri cukup mencari, manakah bangunan terbesar dan termegah di kota ini.
Semua rumah di kota ini kelihatan sama saja bentuknya. Rata-rata, bangunan yang ada berupa konstruksi berdinding batu, dengan dua atau tiga jendela dan satu pintu. Atapnya hanyalah lembaran-lembaran kering pelepah kurma.
Dengan gusar, sang menteri memarahi anak buahnya itu. Ia memilih cara cepat, yakni bertanya kepada warga setempat. Lewatlah seorang pengembala kambing di hadapannya.
“Wahai Muslim,” panggil duta raja Bizantium itu kepadanya, “saya mau tanya, di mana istana Raja Agung Umar?”
“Istana?” tanya si pengembala itu lagi.
“Ya, istana. Tempat tinggal Raja Umar bin Khattab, di manakah itu?” ulang menteri tersebut.
“Kalau yang Anda maksud adalah rumah Amirul Mukminin, lurus saja. Nanti di perempatan, belok kanan. Persis di sebelah kanan, itulah tempat tinggalnya.”
“Baik, terima kasih. Apa kamu tahu isi peti ini?” kata sang menteri lagi, “Isinya adalah koin-koin emas. Silakan ambil berapapun kamu mau.”
“Aku tidak menginginkannya. Kalau kalian sudah selesai bertanya, aku ingin melanjutkan pekerjaanku,” jawab orang Islam itu.
Belum pernah seumur hidupnya menteri ini menyaksikan, seorang penduduk biasa menolak imbalan. Padahal, di negerinya kerumunan orang bisa menyemut hanya untuk meminta sekeping koin emas.
Rombongan ini terus berjalan sesuai petunjuk pengembala tadi. Menteri Bizantium melihat seorang pria sedang duduk di bawah pohon. “Wahai Muslim! Di mana istana Raja Agung Umar?” tanyanya setengah berteriak.
“Ada urusan apa kalian dengan Umar?” lelaki itu balik bertanya.
“Saya adalah utusan raja Romawi. Sebelumnya, raja kalian, Umar bin Khattab, bersurat kepada kami, mengajak kaisar untuk masuk Islam. Raja kami menolaknya, tetapi mengirimkan hadiah untuk Raja Umar. Maka kami ke sini untuk menyampaikannya,” jelas menteri itu dari atas kudanya.
“Bagaimana kalau orang di hadapanmu ini adalah Umar?”
“Apa? Benarkah Anda Raja Umar?” menteri itu terkejut.
“Ya, saya Umar,” jawab Amirul Mukminin.
Turunlah menteri itu dari kudanya. “Mengapa Tuan di sini?” tanya petinggi Bizantium itu lagi,
“Saya baru saja mencuci baju. Kini sedang menunggu baju saya kering. Lihatlah!” jawab Umar sembari menunjuk ke arah jemuran. Sehari-hari, Umar hanya memiliki tiga setel pakaian: yang sedang dikenakannya, yang sedang dicucinya, dan baju perangnya.
“Berarti ini adalah rumah Tuan?”
“Tentu saja,” kata Umar.
“Di mana pengawal Tuan?”
“Tidak perlu pengawal. Ada Allah Yang Maha Melindungi,” jawab al-Faruq, singkat.
Tiba-tiba, menteri itu berlutut di hadapan Umar seraya berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya!”
Terkejut, Umar memintanya untuk berdiri. “Mengapa kamu bersyahadat?” tanyanya.
“Di negeri kami, nama Tuan sangat terkenal dan ditakuti. Selama ini, saya mengira Tuan adalah seorang raja dengan tabiat yang tidak berbeda dari pemimpin kami. Namun ternyata, dugaan itu salah. Tuan dan negeri Tuan benar-benar diberkati dengan perlindungan yang tidak ada tandingannya. Maka saya beriman dan menyatakan diri sebagai Muslim,” tutur menteri tersebut.Rol
No comments:
Post a Comment