Jejak Langkah Umat Islam dalam Kemerdekaan Indonesia
Bila ditilik dalam sejarah para pejuang kemerdekaan Indonesia, ruh pengorbanan memang sangat kental terasa. Utamanya, jika dibahas tentang para pejuang muslim dalam lanskap perjuangan kemerdekaan. Jejak langkah mereka dalam berbagai lini perjuangan, sebagiannya akan diulas dalam tulisan ini.
Jejak dalam Ranah Politik
Dalam momen peringatan 40 tahun Muhammadiyah (18 November 1952), Mr. Sartono, mantan ketua parlemen dan wakil ketua D.P.A, menyebutkan bahwa pada awal abad 20-an, di antara pergerakan yang berjuang di ranah politik untuk membebaskan dari kekuasaan asing adalah Sarekat Islam (Jusuf Abdullah Puar: 1962), dengan perintisnya pertama Haji Samanhudi hingga menjadi semakin cemerlang di tangan H.O.S. Tjokroaminoti yang dikenal sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota.
Tidak berlebih-lebihan jika Mohamad Roem pernah menulis, “Pergerakan kemerdekaan adalah pergerakan politik. Sarekat Islam adalah pergerakan politik yang pertama yang memperjuangkan nasib rakyat. Jadi merupakan pergerakan rakyat, dari rakyat untuk rakyat.” (Majalah Kiblat, 12/XXV: 1978) Melalui ranah ini, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia sedikit banyak telah memberikan sumbangsih yang tak kecil.
Menariknya, tidak seperti yang ditulis di berbagai buku sejarah pada umumnya yang sering menyebutkan bahwa berdirinya Sarekat Islam pada tahun 1911, fakta yang didapat oleh Moh. Roem justru berlainan dengan sejarah mainstream. Saat beliau berkesempatan bertemu Haji Samanhudi –pendiri Sarekat Dagang Islam selaku embrio SI- – di rumah Bapak Gunawan pada tahun 30-an, beliau mendapat informasi langsung dari Bapak Samanhudi bahwa Sarekat Dagang Islam berdiri pada 16 Oktober 1905. Ini berarti, gerakan ini, minimal sebagai embrio SI, lebih dulu ada mendahului Budi Utomo yang didirikan pada tahun 1908.
Jejak dalam Ranah Diplomasi
Ranah diplomasi tidak kalah pentingnya dalam upaya merintis kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh muslim kenamaan yang berjuangan dalam ranah ini misalnya: H. Agus Salim, AR. Baswedan, Rasjidi dan kawan-kawan yang diutus ke timur tengah untuk melakukan perjuangan diplomasi sehingga Indonesia secara de jure mendapatkan pengakuan. Para pejuang diplomasi ini mendapat sambutan hangat, bahkan orang Mesir, sempat terkagum-kagum saat mendengar pidato Agus Salim dengan berbagai bahasa, terutama saat menyampaikannya dengan bahasa Arab.
Menurut catatan Bachrun Martosukarto SH., keberhasilan dalam ranah diplomasi inilah yang bisa mengangkat perjuangan kemerdekakaan Indonesia hingga menjadi masalah dunia. Yang mana, pada waktu itu PBB ikut campur dan harus berperan dalam menyelesaikan persoalan ini. (Kiblat, 23/XXXI: 1984) Dalam ranah ini pula, nama Mohamad Roem, sebagai tokoh Masyumi, juga pernah turut berkontribusi misalnya dalam perjanjian Roem-Royen.
Jejak Ulama dan Santri
Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan juga sangat besar. Sosok sekaliber KH. Hasyim Asy’ari misalnya dengat resolusi jihadnya, adalah figur ulama yang membakar semangat Bung Tomo dan arek-arek Surabaya dalam pertempuran 10 November di Surabaya .
Jauh sebelum itu, menurut catatan KH. Sholeh Iskandar (Media Da’wah: 1992), tokoh seperti Sultan Agung, Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku CIk Di Tiro, Sultan Hasanudin, Baabullah dan lain-lain setidaknya juga “membabat alas” untuk memudahkan jalan menuju kemerdekaan.
Pada zaman Belanda, betapa banyak pemberontakan dan perlawanan fisik yang diinisiasi dan diperjuangkan oleh ulama. Pada ahun 1988 misalnya, KH. Wasid, memimpin pemberontakan massal di Cilegon, Banten. Pada tahun 1926, ada pemberontakan di Labuan yang dipelopori oleh ulama yaitu KH. Asnawi, KH. Mukri dan KH. Tb. Ahmad Khotib.
Bahkan sampai dalam menyiapkan undang-undang kemerdekaan pun, ulama tetap berperan, seperti: H. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Ki Bagus Hadikusumo dan lain-lain. Ini menunjukkan peran para ulama dalam mewujudkan kemerdekaan juga sangat besar.
Lebih dari itu, KH. Sholeh Iskandar mencatat peran santri dan pesantren, “Selama periode perang kemerdakaan, kiai-kiai dan ulama Pondok Pesantren mengambil peranan aktif seperti yang terjadi di Jawa Barat sebelah Barat, khususnya daerah Banten dan Bogor.”
Tidak berlebihan jika Danu Dirja Setiabudi (Douwes Dekker) pernah berujar, “Djika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para Ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.” (Api Sejarah I, 2014:XXII).
Jejak Para Pemuda Muslim
Mengenai peran pemuda, catatan H. M. Saleh Suaidy, pelaku sejarah, menulis catatan menarik dengan tajuk “Konperensi Angkatan Muda di Bandung.” (Kiblat, 7/XXIV: 1976). Biasanya, dalam kebanyakan karangan sejarah, disebutkan bahwa para pemuda yang mendesak Bung Karno atau merengasdengklokkan Bung Karno dan Hatta adalah pemuda semisal Sukarni, Chaerul Saleh C.S.
Padahal, fakta sejarah membuktikan bahwa tindakan mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan adalah kelanjutan dari Konferensi Angkatan Muda di Gedung Isola, Bandung (Maret, 1945). Dalam konferensi itu, acaranya sukses di tangan para pemuda Islam. Nama seperti, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Isa Anshary, Moh. Saleh Suaidy adalah contoh para pemuda Islam yang turut serta berkontribusi dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada saat itu, para pemuda yang disebut namanya sangat vokal dalam menyampaikan aspirasi kemerdekaan.
Jejak dalam Ranah Militer
Dalam catatan sejarah, perjuangan umat Islam di ranah militer juga sangat signifikan. Sebut saja misalnya Hizbullah. Jendral Sudirman pernah berujar mengenai gerakan militer Islam ini, “Kami yakin dengan benih ikhlas, jujur, dan berani didalam Ketentraan Indonesia seperti antaranya dibuktikan oleh Hizbullah itu Indonesia di hari depan dapat menyaksikan tumbuhnya Tentara Negara yang cakap.”
Perlu juga dikemukakan dalam tulisan ini bahwa Hizbullah bukan saja berperan aktif dalam melawan kolonialisme, bahkan juga turut berkontribusi dalam meredamkan pemberontakan PKI di Madiun oleh Amir Syarifuddin dan kawan-kawan. KH. Muhyiddin Abdul Qadir Al Manafi dalam Api Sejarah II (2016: XII) jihadnya para ulama dan santri pada masa penjajahan Jepang melahirkan tentara PETA (Pembela Tanah Air) pada 3 Oktober 1943 yang merupakan cikal bakal tentara.
Lahir juga Laskas Sabilillah dan Hizbullah sebagai Barisan Istimewa Badan Keamanan Rakyat. Ini artinya, peran umat Islam dalam bidang militer untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia juga sangat besar.
Melihat berbagai jejak umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, maka minimal, setiap kali memperingati kemerdekaan Indonesia, tanpa menafikan peran umat lain, jangan lupa jejak para pejuang Islam yang boleh dikatakan sangat signifikan. Ini bukan skadar alasan mayoritas penduduk, tapi karena peran mereka benar-benar bisa dirasakan diberbagai ranah perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan.
Tidak mengherankan jika di antara pembukaan UUD 1945 berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.”*/ Mahmud Budi Setiawan
No comments:
Post a Comment