Marrakesh—atau disebut pula Marakisy—adalah salah satu daerah yang kaya akan warisan sejarah di Kerajaan Maroko. Terletak di lereng barat daya Pegunungan Atlas, kota tersebut dibangun pada 1070 M oleh penguasa dari Dinasti Murabithun, Amir Abu Bakar bin Umar.
Bahkan, wilayah yang berada pada ketinggian 466 meter di atas permukaan laut itu sempat menjadi ibu kota Negeri Murabithun. Kini, ia adalah kota terbesar kedua di seantero Maroko setelah Kasablanka
Selama berabad-abad, Marrakesh dijuluki sebagai “kota tujuh orang saleh” (sebaatou rizjel). Sebab, di sanalah ketujuh sufi yang terkenal pernah berkiprah besar. Jenazah mereka pun dikebumikan di kota tersebut.
Untuk memperingati jasa para salik itu, otoritas setempat sejak abad ke-17 mengadakan acara haul rutin tahunan. Adapun ketujuh ulama tasawuf yang dimaksud ialah Sidi Yusuf Ali Sanhaji, Qadi Iyyad, Sidi Bel Abbas, Sidi Muhammad al-Jazuli, Abdul Aziz al-Tebaa, Abdullah al-Ghazwani, dan Sidi Abu al-Qasim al-Suhayli.
Era kegemilangan Dinasti Murabithun meredup. Kekuasaannya digantikan oleh Dinasti Muwahhidun. Banyak bangunan di Marrakesh yang dihancurkan penguasa baru tersebut.
Dinasti Marrin kemudian menaklukkan Muwahhidun. Tidak hanya itu, wangsa ini juga memindahkan pusat pemerintahan dari Marrakesh ke Fez. Hingga akhir abad ke-15, perebutan pengaruh politik mewarnai seluruh negeri Maghribi—nama lama untuk Maroko. Hingga akhirnya, Dinasti Saadi naik ke tampuk kekuasaan. Marrakesh yang semula miskin dan tercampakkan kembali bergairah karena ditetapkan lagi menjadi ibu kota.
Maka sejak akhir abad ke-16 M, kota tersebut kembali mencapai kejayaannya. Secara budaya dan ekonomi, kemajuan cukup terasa signifikan di sana pada masa itu. Jumlah penduduknya mencapai 60 ribu orang.
Hingga Maroko jatuh ke tangan kolonialisme Prancis, Marrakesh terus berkembang. Walaupun tidak selalu berlangsung mulus, perkembangannya tidak meninggalkan kesan sebagai salah satu pusat peradaban Islam di Afrika Utara. Bahkan, kini kawasan Kota Tua Marrakesh ditetapkan UNSECO sebagai warisan budaya dunia.
Memang, ada cukup banyak masjid dan madrasah kuno peninggalan era kejayaan Islam di sana. Yang tidak kalah mengagumkan, Marrakesh juga dilengkapi dengan bangunan megah, tempat tinggal para raja dari generasi ke generasi. Salah satu kompleks dengan prestise demikian di kota ini ialah Istana El Bahia.
Saat ini, kastel yang dirancang Muhammad bin Makki al-Misfiwi tersebut merupakan salah satu objek wisata andalan Maroko. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjunginya—meskipun semenjak adanya pandemi Covid-19 terjadi beberapa pembatasan.
Sebuah persembahan
Nama Istana El Bahia berasal dari sosok Ratu Bahia. Dialah salah seorang permaisuri yang hidup pada paruh kedua abad ke-19. Dari keempat istri raja Dinasti Alawi saat itu, Bahia-lah yang paling disayang. Sebab, perempuan itu melahirkan anak laki-laki pertama sang raja. Untuk menghormati dan mengenangnya, sebuah istana pun dipersembahkan untuknya.
Istana El Bahia dibangun sekitar akhir abad ke-19, yakni antara 1894 dan 1900, dengan pengawasan perdana menteri Kesultanan Maroko saat itu, Si Moussa. Bangunan tersebut dirancang untuk menjadi istana terbesar pada masanya. Itu sesuai dengan namanya yang berarti 'cemerlang'. Cetak biru konstruksi di atas lahan seluas 8.000 meter persegi ini merupakan hasil karya Ibnu al-Makki al-Misfiwi, seorang arsitek kenamaan asal Marrakesh.
Bangunan istana ini memiliki 160 kamar yang keseluruhannya dihiasi mosaik warna-warni dari bahan plesteran, lukisan, pahatan kayu yang diukir secara detail serta ubin keramik berwarna terang dan mengilap. Semua elemen yang digunakan diadaptasi dari arsitektur Istana Nasrid di Spanyol yang dilebur menjadi gaya arsitektur Maroko.
Sang arsitek tidak mengadopsi gaya arsitektur art deco, tetapi memadukan unsur-unsur lokal dengan nuansa khas Mediterania, Afrika Utara dan Arab. Memang, Maroko saat itu sudah menerima pengaruh budaya Eropa Barat. Itu terjadi khususnya sejak akhir abad ke-19, ketika dominasi Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di seluruh Afrika memudar, sedangkan hegemoni negara-negara Eropa di sana justru menguat. Dari sekian banyak kolonialis Barat, Prancis dan Spanyol menjadi dua kekuatan yang memperebutkan negeri Islam tersebut.
Uniknya, Istana El Bahia tidak “berkiblat” pada tren arsitektur Prancis kala itu. Coraknya lebih pada gaya bangunan Mediterania. Malahan, beberapa sumber menyebutkan kompleks tersebut cenderung mengikuti arsitektur Santa Fe.
Keindahan istana ini tak hanya ditunjukkan konstruksi bangunannya, tetapi juga taman-tamannya yang terdapat di dalannya. Seluruhnya tertata dengan sangat rapi dan menawan. Mengikuti gaya Andalusia, pada bagian tengah hamparan lapangan luas terdapat kolam air pancur. Para pengunjung pun dapat menikmati suasana asri dan tenteram, sembari menghirup udara segar di kawasan terbuka ini.
Istana El Bahia hingga saat ini masih difungsikan sebagai salah satu tempat peristirahatan resmi keluarga raja Maroko. Bagaimanapun, otoritas setempat tidak menutup aksesnya sama sekali dari kunjungan wisatawan umum. Dari lebih dari 150 kamar yang terdapat di dalamnya, ada puluhan kamar yang sengaja dibuka bagi pengunjung biasa.
Berdekatan dengan kompleks ini, ada Istana El Badii Ksibat. Seperti halnya El Bahia, kawasan tersebut juga merupakan saksi bisu dari sejarah panjang Kerajaan Maroko. Dibangun sejak abad ke-16, El Badii Ksibat tetap berdiri dengan gagah hingga hari ini.
Khususnya bagi para pecinta kucing, jalan-jalan ke Istana El Bahia bisa menjadi opsi yang sangat menarik. Sebab, di sana para pengunjung dapat melihat pelbagai kucing yang dengan bebasnya melalui sudut-sudut istana. Mereka seolah-olah menjadi “penduduk” lokal yang dengan ramah menyambut para tamu. Untuk bisa memasuki destinasi wisata ini, Anda cukup membeli karcis seharga 10 dirham Maroko—atau setara kira-kira Rp 15 ribu.Rol
No comments:
Post a Comment