Pesan Ukhuwwah Islamiyah dari KH Hasyim Asy’ari dan Mohammad Natsir
MOHAMMAD Natsir, ulama sekaligus perdana menteri pertama Republik Indonesia pada 15 Juni 1968 pernah memberikan sebuah tausiyah pada Kuliah Umum di hadapan Mahasiswa IKIP Padang yang berjudul, “HIDUPKAN KEMBALI UKHUWWAH ISLAMIYAH.
“Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kaji ini. Kaji yang sudah begitu lama kita kunyah. Tetapi, yang masih sedikit sekali berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap, automobil, kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi, semua itu ternyata gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan persaudaraan yang ikhlas dan hakiki.” (T A U S H I Y A H, Dr. Mohamad Natsir; HIDUPKAN DA’WAH BANGUN NEGERI, Taushiyah Dakwah Pemandu Umat; Pesan Dakwah Dr. Mohamad Natsir, Hal. 37-40).
Menurut M Natsir, alat-alat komunikasi yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan kepada satu satelit di luar bumi dengan tekanan suatu knop saja, alat-alat semacam itu tidak mampu menghubungkan rasa muhibbah itu sendiri yang tidak ada.
“Alat-alat komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan rasa manusia tidak bertambah pendek lantarannya. Malah sebaliknya yang seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa gua, semakin merajalela. Inilah problematik dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah kemajuan material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad XX ini,” kata Natsir.
Ini juga problematik yang dihadapi manusia, umat Islam khususnya, kata Natsir. Persoalan Ukhuwwah Islamiyah ini wajib kita memecahkannya dengan sungguh-sungguh, kalau benar-benar kita hendak menegakkan Islam dengan segala kejumbangannya kembali di negara ini.
Bagi umat Islam soal ini hanya dapat dipecahkan oleh umat Islam sendiri, tidak boleh orang lain. Dan jika tidak dipecahkan, maka yang salah ialah umat Islam sendiri, terutama para pemimpinnya, bukan orang lain.
Menegakkan dan menyuburkan Ukhuwwah Islamiyyah tidaklah sangat bergantung kepada alat-alat modern, tidak pula kepada harta bertimbun-timbun. Malah di kalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa “suasana ukhuwwah” lebih dari kalangan yang serba cukup dan mewah.
“Dan ….,sekiranya ukhuwwah itu dapat ditumbuhkan hanya dengan mendirikan bermacam-macam organisasi, dengan anggaran dasar dan kartu anggotanya, dengan semboyan-semboyan dan poster-posternya, semestinya ukhuwwah sudah lama tegak merata di seluruh negeri ini,” kata Natsir. “Sekiranya Ukhuwwah Islamiyah dapat diciptakan dengan sekedar anjuran-anjuran lisan dan tulisan, semestinya sudah lama Ukhuwwah Islamiyah itu hidup subur di kalangan umat Islam, dan umat itu sudah lama kuat dan tegak. Sebab sudah cukup banyak anjuran lisan dan tulisan yang dituangkan kepada masyarakat selama ini,” tambahnya.
Menurut Natsir, ayat dan hadis mengenai ukhuwwah, sudah berkodi-kodi kertas, dilemparkan ke dalam masyarakat dengan majalah-majalah, buku-buku dan surat-surat kabar, sudah hafal, dikunyah-kunyah dan dimamah orang banyak. Kalau ukhuwwah Islamiyah belum kunjung tercipta juga, itu tandanya pekerjaan umat Islam belum selesai.
“Dan kalau usaha-usaha selama ini belum berhasil dengan memuaskan, itu tandanya masih ada yang ketinggalan, belum dikerjakan.”
Bagi Natsir, ukhuwwah ini urusan hati yang hanya dapat dipanggil dengan hati pula. Sedangkan yang sudah terpanggil sampai saat sekarang barulah telinga dan dengan kata. Oleh karena pihak pemanggil yang bisa berbicara barulah lidah dan pena-nya belum hati dan jiwanya.
Rahasia menegakkan ukhuwwah Islamiyyah terletak dalam sikap langkah dan perbuatan yang kecil-kecil dalam pergaulan sehari-hari. Sebagaimana ditekankan benar oleh Rasulullah ﷺ.
Bagaimana Rasulullah ﷺ membina jamaah dan umat Islam pertama-tama, mengajarkan saling tegur-sapa, memberi salam, dan menjawab salam, mengunjungi orang sakit yang sedang menderita, mengantarkan jenazah ke kubur, memperhatikan kehidupan sejawat, membujuk hati yang masygul, membukakan pintu rezeki bagi mereka yang terpelanting, membukakan pintu rumah dan pintu hati kepada para dhu’afa, kata Natsir.
Dan amal-amal kecil yang semacam itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang ikhlas dan penuh rasa persaudaraan. Sedangkan kita selama ini lebih tertarik oleh cara-cara borongan, demonstratif, dengan berteras keluar, asal kelihatan oleh orang banyak.
Walhasil, membangun kembali ukhuwwah Islamiyah memerlukan peninjauan dan penilaian kembali akan cara-cara yang sudah ditempuh sekarang. Dia memerlukan daya cipta dari pada pemimpin yang dapat berijtihad, dan memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai, bersedia meniadakan diri. Memakmurkan masjid kembali, menyusun jamaah, melalui Itu, menegakkan ukhuwwah Islamiyah adalah kaji alf-baa-taa.
Pesan tegas dalam tausiyah itu adalah menyeru kembali kepada persatuan umat Islam dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah dan penjabaran mengenai apa gerangan faktor penghambat persatuan umat Islam selama ini. Mohammad Natsir secara jelas menyatakan bahwa ukhuwwah Islamiyah bisa ditegakkan hanya bagi mereka yang menyambut seruan itu dengan hati, bukan sekedar dengan telinga.
Politikus Masyumi tersebut juga menegaskan bahwa untuk membangun kembali ukhuwwah Islamiyah diperlukan evaluasi komprehensif mengenai cara-cara yang sudah ditempuh. Ia juga memerlukan daya cipta dari para pemimpin yang dapat berijtihad, dan memerlukan para pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai, dan bersedia meniadakan diri.
Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang juga pernah menjadi ketua Badan Legislatif Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Ketua Majelis Syuro partai Masyumi yang merupakan wadah persatuan kelompok Islam dimana hampir seluruh elemen umat Islam bersatu, di dalam Qonun Asasi Nahdlatul Ulama menyatakan :
“Sesungguhnya berkumpul, tolong-menolong, bersatu, dan saling berkasih-sayang adalah perkara yang tiada seorang pun yang tidak mengetahui manfaatnya. Bagaimana tidak, sungguh Rasulullah ﷺ telah bersabda yang artinya, “Pertolongan Allah bersama jama’ah (persatuan). Apabila diantara jama’ah itu ada yang memencil sendiri, maka syaitan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala menerkam kambing.” (Dinukil dari Al Hafidz As Suyuthi).
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.
“Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi . Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR: Muslim)
Rasulullah ﷺ telah mempersaudara-kan sahabat-sahabatnya sehingga mereka (saling kasih, saling menyayangi dan saling menjaga hubungan) tidak ubahnya satu jasad. Apabila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, seluruh jasad ikut merasa demam dan tidak dapat tidur. Itulah sebabnya mereka menang atas musuh mereka, kendati jumlah mereka sedikit.
Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.
Betapa banyak keluarga-keluarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai satu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, bisanya menjalar, meracuni hati mereka dan syaitanpun melakukan peranannya. Mereka kucar-kacir tak karuan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan.
Sahabat Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah berkata dengan fasihnya: “Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebatilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.”
Pendek kata siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat-saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah menggelimangi mereka, kebanggaan yang pernah mereka sandang, dan kemuliaan yang pernah mereka jadikan perhiasan mereka, tidak lain adalah karena berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu, dalam cita-cita seia sekata, searah setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seirama.
Maka inilah faktor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, dan benteng paling kokoh bagi menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka. Musuh-musuh mereka tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka, malahan menundukkan kepala, menghormati mereka karena wibawa mereka.
Mereka pun mencapai tujuan-tujuan mereka dengan gemilang. Itulah bangsa yang mentarinya dijadikan Allah tak pernah terbenam senantiasa memancar gemilang. Dan musuh-musuh mereka tak dapat mencapai sinarnya. (dalam Mukadimah Qanun Asasi Rais Akbar Jam’iyah Nahdlatul Ulama KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam Irsyadus Sariy (Kumpulan Kitab Karya Syaikh Hasyim Asy’ari penerbit Pustaka Warisan Islam Tebuireng Jombang, Hal. 21-24).
Adil Menempatkan Ukhuwah
Ahmad Shiddiq Jember pernah mencetuskan sebuah trilogi ukhuwwah yang berasal dari makalah beliau yang berjudul “Ukhuwwah Islamiyyah dan Kesatuan Nasional: Bagaimana Memahami dan Menerapkannya” menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1989. Dasar pemikirannya tidak lain adalah dalam rangka menjaga hubungan baik antara masyarakat, agama dan negara.
Trilogi ukhuwah itu terdiri dari ukhuwah Islamiyah; ukhuwah Insaniyah (basyariah) dan ukhuwah watoniyah alias persaudaraan sesama Islam; persaudaraan sesama manusia; dan persaudaraan sesama anak bangsa itu bagus dalam tataran teori namun sayang dalam prakteknya tidak jarang keluar dari garisnya.
Buktinya hari ini sering kita dapati kegiatan doa lintas agama, bukber di rumah ibadah non-Muslim, bersholawatan di dalam rumah ibadah non-muslim, pengucapan selamat hari raya bagi sekte sesat oleh seorang tokoh pemerintahan dan lain-lain yang selalu dibungkus dengan kemasan toleransi. Semua perbuatan munkar itu selalu dikemas dalam rangka untuk memperkuat ukhuwwah insaniyah dan watoniyah. Apakah hal seperti ini dibenarkan di dalam Islam.
Prof. Sayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliki di dalam kitab Al Mukhtar Min Kalamil Akhyar pada bab adab persaudaraan di jalan Allah menyatakan bahwa, “Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS: Al Hujurat : 10).
“Ketahuilah sesungguhnya persaudaraan (dalam ikatan) Islam itu lebih kuat daripada persaudaraan (dalam ikatan) nasab (garis keturunan), sehingga tidak dianggap persaudaraan dalam nasab jika telah berlaku persaudaraan Islam. Tidakkah kau lihat ketika meninggal seorang muslim, dan dia punya saudara yang kafir maka hartanya untuk kaum Muslimin bukan untuk saudaranya yang kafir tersebut. Begitu juga jika yang meninggal adalah saudaranya yang kafir.” (Al Mukhtar Min Kalamil Akhyar, hal. 20).
Jika nilai persaudaraan dalam Islam lebih kuat dibanding persaudaraan dalam garis keturunan maka konklusi logisnya adalah persaudaraan dalam Islam lebih kuat pula daripada persaudaraan sesama anak bangsa dan manusia. Maka janganlah demi alasan menjaga kebhinekaan dan kerukunan antar umat beragama, seorang Muslim rela merusak tali persaudaraan Islamiyahnya.
Bahkan idealnya jika bisa akur dengan yang berbeda akidah seyogyanya bisa rukun pula dengan yang sesama akidah meskipun lain wadah dan metode dakwahnya. Inilah seruan ukhuwwah Islamiyah yang harus terus kita gemakan di zaman ini.
Jikalau di masa perjuangan Mohamad Natsir dan KH. Hasyim Asy’ari sudah menyerukan persatuan umat guna menjawab tantangan zaman kala itu, maka anak zaman hari ini juga harus melakukan hal yang sama guna menghadapi tantangan kepada Islam di masa kini. Sebab kian menuju akhiran dunia pasti tantangan kepada Islam kian meningkat pula bahkan lebih kompleks. Maka persatuan umat Islam adalah jawaban bagi semua itu.
Karena kekuatan umat Islam ada pada persatuannya dan pertolongan Allah ada pada persatuan (Jamaah). Dan seyogyanya perbedaan fikih tidak menghalangi kita untuk bersatu selama masih dalam bingkai akidah Ahlussunah Wal Jamaah. Mengutip Syekh Hasan Al Bana;
نتعاون على ما اتفقنا ونتسامح فيما اختلفنا
“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan saling menghormati pada hal-hal yang kita berbeda di dalamnya.”
Pekerjaan rumah umat Islam masih banyak, dan jangan makin memperbanyaknya dengan masalah perpecahan. Mari bersatu. Rapatkan barisan demi kemenangan umat Islam. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
No comments:
Post a Comment