Tipu Daya Duniawi (5): Fitnah di Balik Legitnya Jabatan dan Takhta

Tipu Daya Duniawi (5): Fitnah di Balik Legitnya Jabatan dan Takhta
Ilustrasi/Ist
DALAM tulisan sebelumnya telah dipaparkan bahwa sekalipun dunia secara umum sangat menggoda, ada tiga fitnah dunia yang paling sangat menggoda anak manusia sehingga sering kali melalaikan mereka dari akhirat. Tiga fitnah itu adalah fitnah harta, fitnah wanita, fitnah jabatan dan takhta.

Bahasan sebelumnya adalah fitnah harta dan fitnah wanita. Kali ini mari kita membahas fitnah ketiga: fitnah jabatan dan takhta.

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dalam bukunya berjudul "Dunia di Tanganku, Akhirat di Hatiku" mengingatkan fitnah ini juga tak kalah dahsyatnya.

Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki seseorang bisa menjadi fitnah yang luar biasa. Siapa saja yang termasuk dalam kalangan elit bisa mendapatkan fitnah ini. Karena sejatinya manusia tidak terbebas dari fitnah dan dosa. Tetapi mereka yang selalu berpegang teguh pada imannya akan Allah beri rahmat sehingga ia tidak terjebak dalam fitnah kekuasaan.

Fitnah tahta terjadi jika seseorang merasakan kesenangan dan kecintaan pada kekuasaan. Ia ingin terus memegang jabatannya. Keinginan ini yang akhirnya membuat seseorang menghalalkan segala cara agar bisa bertahan.

Cara-cara tidak baik itulah yang kemudian mengakibatkan berbagai hal buruk. Seperti perselisihan, kebencian, kebohongan, dan kemunafikan. Tak jarang orang-orang akan saling menjatuhkan hingga saling membunuh akibat dari fitnah kekuasaan. Sejarah telah banyak mencatat peristiwa semacam itu.

Abu Ubaidah Yusuf mengatakan mungkin masih ingat jika musim kampanye, politisi berlomba-lomba mengejar kursi jabatan dengan berbagai cara sekalipun harus bertentangan dengan rambu-rambu agama. "Ada yang datang ke dukun, kuburan, melakukan ritual-ritual aneh, suap, mengumbar janji palsu, dan sebagainya," ujarnya.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah dua serigala yang kelaparan lalu dilepas kepada seekor domba lebih merusak agama seorang daripada rakusnya manusia terhadap harta dan takhta.” (HR at-Timidzi, Ah mad, Ibnu Hibban, dll. Dishahihkan al-Albani di dalam Shahih Targhib wa Tarhib: 1710 dan di syarah oleh al-Imam Ibnu Rajab) /div>
Perbuatan mengejar dunia tidak ada kata finisnya. "Yakinlah, jika engkau hanya menuruti hawa nafsumu untuk mengejar dunia, maka engkau akan letih dan lelah dikejar oleh dunia, sedangkan dirimu terus berlari namun tidak akan pernah sampai pada garis finis untuk berhenti," ujar Abu Ubaidah Yusuf.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Pencinta dunia tak akan lepas dari tiga: kegundahan yang terus berlanjut, keletihan yang menerus, dan penyesalan yang tak akan berhenti.” (Ighatsatul Lahfan 1/87)

Setelah mengetahui fitnah dunia, maka janganlah engkau tertipu dengan gemerlapnya dunia. Ibnul Qayyim juga berkata, “Semakin cinta manusia terhadap dunia semakin malas dari ketaatan dan amal untuk akhirat sesuai dengan kadarnya.” (Al-Fawa‘id hlm. 180)

Agar terhindar dari berbagai fitnah dunia, penting bagi kita untuk mengenali jenis fitnah. Sehingga kita bisa mewaspadainya. Selain itu, kita harus senantiasa mendekatkan diri pada Allah, dan meminta perlindungan dari berbagai macam fitnah. Manusia juga harus memahami bahwa kesenangan dunia adalah sementara. Dan ada kehidupan akhirat yang lebih kekal.

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi. Hendaknya kita bisa mengendalikan diri dan nafsu agar tidak diperbudak oleh wanita, harta, atau kekuasaan. Selain itu, kita harus memastikan di dalam hati tidak ada kecintaan berlebihan terhadap dunia.

Kewajiban setiap hamba yang ingin menyuburkan imannya ialah melawan nafsunya agar tidak tertipu dengan godaan dunia yang sangat banyak. Dan hal itu terwujudkan dengan antara lain memahami bahwa dunia ini finisnya adalah fana dan kehancuran.

Maka Nabi juga bersabda:

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa peduliku dengan dunia. Tidaklah aku di dunia melainkan seperti seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon, kemudian dia akan pergi meninggalkan pohon tersebut.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan al-Albani di dalam ash-Shahihah: 438)
Memiliki harta, wanita, dan takhta tidaklah tercela selagi harta di tangan dan akhirat di hati, menjauhi sifat serakah, mencarinya dengan benar, menunaikan hak-haknya, membelanjakan pada tempatnya, dan tidak melampaui batas atau sombong karenanya.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya apa yang dimakan anak Adam dibuat permisalan untuk dunia. Sekalipun ia telah membumbuinya dan menggaraminya dengan lezat, perhatikanlah hasil akhirnya makanan itu juga apa.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dll, dishahihkan al-Albani di dalam Silsilah ash-Sha hihah: 382.)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ مَا يَخْرُجُ مِنَ ابْنِ آدَمَ مَثَلاً لِلدُّنْيَا-الطبراني

Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan apa yang keluar dari (badan) anak Adam sebagai permisalan terhadap dunia.” (Ath Thabarani, dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi)

Al Allamah Al Munawi menjelaskan bahwa maksud dari “apa yang keluar dari anak Adam” adalah air kencing dan tinja.

Sedangan Az Zamakhsyari sendiri menjelaskan makna hadits ini, bahwa makanan meskipun manusia berpayah-payah dalam mengolahnya hingga bentuknya bermacam-macam dan menggugah selera, namun semua jenis makanan itu akhirnya berubah menjadi hal yang menjijikkan, demikian pula nasib dunia yang penuh dengan hal yang menggiurkan ini.

Maka Al Munawi menyimpulkan bahwa syahwat manusia terhadap dunia seperti syahwat manusia terhadap makanan yang akan sirna setelah makanan itu berada dalam perut. Demikian pula syahwat terhadap dunia, ia akan berubah manjadi hal yang dibenci dan menjijikkan ketika seorang berada dalam proses kematian.

Selaras dengan hadits di atas, suatu saat seorang shufi berkata kepada para sahabat mereka, ”Mari kita bertolak, agar aku memperlihatkan kepada kalian apa itu dunia.”
Saat mereka sampai di sebuah tempat pembuangan sampah, shufi itu berkata, ”Lihatlah, buah-buahan kalian, ayam-ayam kalian dan manisan-manisan kalian.”

(mhy) Miftah H. Yusufpati 

No comments: