Amat Dijaga Abu Bakar dan Umar Tapi Diabaikan Kaum Muslimin Akhir Zaman
Dari sahabat mulia Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Abu Dawud dan Imam Malik bin Anas meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bertanya kepada sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, “Kapan engkau mendirikan shalat witir?”
Sahabat sekaligus mertua Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam ini menjawab, “Di awal malam.” Laki-laki yang langsung percaya dengan ajaran Nabi nan mulia ini senantiasa mendirikan shalat witir sebelum tidur.
Tak jauh dari lokasi sahabat mulia Abu Bakar ash-Shiddiq berdirilah sosok gagah nan tegap dan pemberani, Umar bin Khaththab. Kepada laki-laki yang kelak menjadi Khalifah kedua kaum Muslimin ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyampaikan pertanyaan serupa, “Kapan engkau mendirikan shalat witir?”
Dengan sangat tegas bertabur keyakinan penuh di hatinya, laki-laki bergelar al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan) ini berkata, “Di akhir malam.”
Umar dengan keyakinannya yang penuh memilih tidur di awal malam agar bisa bangun dan bergegas melakukan munjat kepada Allah Ta’ala dalam tahajjud dan witir setelah bangun dari tidur, di penghujung malam yang terakhir.
Apa yang dikerjakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu ini merupakan cerminan sifat hazm. Ialah keseriusan terhadap sesuatu dan waspada agar sesuatu itu tidak terlepas dari genggamannya.
Abu Bakar memilih mendirikan witir di awal malam sebab dia tidak bisa memastikan akan bangun atau tidak di sepertiga malam yang terakhir. Padahal, beliau merupakan sahabat yang kualitas ibadahnya amat mengesankan, senantiasa bangun di akhir malam untuk bermunajat kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan Umar bin Khaththab memilih mengakhirkan witir di ujung malam, di sepertiga yang terakhir sebagai salah satu bentuk ‘azm. Ialah kesungguhan, kesabaran, dan kemampuan. Umar dengan sifat kesatria dan keberaniannya benar-benar berupaya hingga dia terbangun di akhir malam, gegas dalam tahajjud yang diakhiri dengan rakaat witir.
Masing-masing dari dua cara beribadah ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam mengapresiasinya. Tidak ada yang disalahkan. Dua-duanya sama mulia. Abu Bakar dengan kehati-hatiannya dan Umar dengan kesungguhan dan keberaniannya.
Dari hal ini saja, sebenarnya kita bisa mengetahui kualitas kita. Jika ada yang bertanya ‘mengapa kita jauh tertinggal dari kalangan sahabat selayak Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab?, tentu jawabannya harus digali dari hati kita yang paling dalam.
Bahkan, jika dikaitkan dengan satu amalan ini, kita benar-benar tak serius untuk menjadi sepemberani Umar atau sehati-hati Abu Bakar.
Astaghfirullahal ‘azhiim
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
No comments:
Post a Comment