Hutang Ribawi dan Penjajah Yahudi
SATU hal yang jarang diungkit dalam sejarah awal mula penjajahan Yahudi atas Palestina yaitu hutang ribawi dan kejatuhan khilafah Utsmaniyah. Theodore Hertzl, pendiri gerakan Zionisme pada tahun 1896 datang menemui Sultan Hamid II untuk meminta sebagian tanah Palestina yang waktu itu dalam penguasaan khilafah Utsmaniyah untuk ditempati masyarakat Yahudi.
Apa alat bargaining-nya? Pelunasan hutangutang. Theodore Hertzl menawarkan imbalan pelunasan hutang Utsmaniyah kepada negara-negara Eropa, jika Sultan Hamid II rela memberikan sebagian tanah Palestina kepada Yahudi.
Beberapa puluh tahun sebelumnya, khilafah Utsmaniyah memang terlilit hutang yang sangat besar kepada negara-negara Eropa. Hutang Utsmaniyah kepada kreditor Eropa dimulai pertama kali sekitar tahun 1854/1855 ketika Utsmaniyah mengalami defisit besar-besaran, salah satunya disebabkan terlibat perang dengan rusia (Crimean War, 1853-1856).
Hutang Utsmaniyah itu terus membesar beserta bunganya. Pada tahun 1875 saja Utsmaniyah telah mendekati kebangkrutan, di mana hutangnya sudah mencapai £200.000.000, dengan bunga tahunan dan pembayaran amortisasi sebesar £12.000.000. Lebih dari setengah pendapatan nasional Utsmaniyah dipakai untuk pembayaran hutang dan bunganya.
Tahun 1881, Sultan Hamid II mendirikan Ottoman Public Debt Administration (OPDA), lembaga yang bertujuan untuk mengurus hutang luar negeri Utsmaniyah sekaligus sebagai agen untuk menambah pembiayaan hutang yang baru dari negara-negara Eropa. Council member dari OPDA merupakan agen-agen keuangan yang berasal dari Perancis, Jerman, Austria, Itali, Inggris dan Belanda.
Alih-alih OPDA sebagai institusi yang berfungsi untuk mempermudah pelunasan hutang utsmaniyah, justru OPDA menjadi kepanjangan tangan negara-negara kreditor Eropa untuk menguras kekayaan dan sumber alam khilafah Utsmaniyah. OPDA menjadi lembaga independen yang tidak dapat lagi dikontrol oleh penguasa Utsmaniyah, yang menguasai sepertiga pendapatan Utsmaniyah bahkan berhak memungut pajak dalam seluruh area kekuasaan Utsmaniyah dengan alasan demi pelunasan hutang luar negeri Utsmaniyah.
Para pengamat sejarah malah menyebut OPDA dengan “state within the State”. OPDA berubah menjadi kaki tangan imperialisme eropa terhadap Utsmaniyah.
Dengan semakin lemahnya ekonomi Utsmaniyah plus kekalahan perang dari Inggris, maka Utsmaniyah tak dapat lagi menolak Deklarasi Balfour tahun 1917 yang di antara isinya adalah pendirian “National home for the Jewish people” di Palestina.
Begitu juga Utsmaniyah tak sanggup lagi menolak ketika Deklarasi Balfour dimasukkan dalam perjanjian Damai Sevres tahun 1920 antara Utsmaniyah dan negara-negara sekutu, di mana inti perjanjian damai tersebut adalah pembagian wilayah milik Utsmaniyah termasuk memberikan hak bermukim bagi Yahudi di Palestina.
Penjajahan Yahudi atas Palestina bukan planning sehari dua hari sebelumnya, tapi bagian dari rancangan puluhan tahun sebelumnya dari negera-negara penjajah. Salah satu alatnya adalah hutang ribawi. Ibarat kata Yahudi kepada Utsmaniyah, “Saya minta tanah Palestina baik-baik tapi tak diberi, ya sudah sekalian negaramu saya buat ambruk.”
Kesimpulannya, kalau negaramu punya banyak hutang dan penguasamu naik tahta karena dukungan negara-negara besar melalui janji hutang dan invetasi, tidak usah bermimpi terlalu tinggi negaramu akan melakukan tindakan militer terhadap penjajah Yahudi. Mengeluarkan pernyataan mendukung Palestina saja itu sudah syukur.*
Senior lecturer di Universiti Malaysia Terengganu. Artikel diambil dari akun FB nya
Referensi:
Murat Birdal, THE POLITICAL ECONOMY OF OTTOMAN PUBLIC DEBT, 2010.
Encyclopedia Britannica.
Christopher Clay, Gold for the Sultan: Western Bankers and Ottoman Finance, 2001
No comments:
Post a Comment