Imam Madzhab Empat Menyikapi Hadits Dhaif
Hadits dhaif sendiri berbeda dengan maudhu`, yang mana untuk yang kedua ulama sepakat untuk melarangnya meski hanya meriwayatkannya, kecuali dengan menjelaskan statusnya, lebih-lebih menggunakannya sebagai hujjah.
Namun, bagaimana dengan hadits dhaif? Para ulama, baik para huffadz hadits dan fuqaha berbicara mengenai hal ini. Namun untuk saat ini kita akan membahas mengenai pandangan para imam madzhab empat terhadap hadits dhaif.
Para Imam Utamakan Hadits Dhaif daripada Qiyas
Ibnu Qayyim Al Jauziyah ketika menyebutkan ushul (pijakan ) madzhab Imam Ahmad menyampaikan, ”Pijakan ke empat mengambil hadits mursal dan dhaif jika tidak ada dalil dalam sebuah persoalan, ia lebih diutamakan daripada qiyas. Dhaif bagi Ahmad adalah hasan bagi At Tirmidzi.”
Kemudian Ibnu Qayyim Al Jauziyah melanjutkan,”Dan tidak ada satu pun dari para imam kecuali sepakat terhadap pijakan ini secara umum. Sesungguhnya tidak ada satu pun dari mereka kecuali mengutamakan hadits dhaif daripada qiyas.” (lihat, I’lam Al Muwaqqi’in, 1/25)
Imam Abu Hanifah
Ibnu Hazm dalam hal ini menyatakan, bahwa Abu Hanifah berkata,”Khabar dhaif dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi Wasallam lebih utama dari qiyas, dan tidak dibenarkan qiyas dengan keberadaannya.” (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 7/54)
Bahkan Ibnu Qayyim menjelaskan penerapan metode Imam Abu Hanifah tersebut dalam beberapa kasus, seperti:
- Imam Abu Hanifah utamakan hadits al qahqahah dalam shalat daripada qiyas, sedangkan ijma ahlul hadits bahwa hadits itu dhaif.
- Imam Abu Hanifah utamakan hadits,”Paling banyak dari haidh sepuluh hari” daripada qiyas, dimana hadits itu dhaif menurut kesepakatan ahlul hadits.
- Imam Abu Hanifah utamakan hadits,”Tidak ada mahar yang lebih seikit dari 10 dirham” daripada qiyas, sedangkan hadits itu dhaif menurut kesepakatan ahlul hadits. (lihat, I’lam Al Muwaqqi’in, 1/25)
Imam Malik bin Anas
Sedangkan Imam Malik sendiri dalam lebih mengutamakan hadits-hadits mursal, munqathi` dan balaghat serta perkataan sahabat daripada qiyas. (lihat, I’lam Al Muwaqqi’in, 1/25)
Imam As Syafi’i
Imam Asy Syafi’i juga menggunakan hadits dhaif jika tidak ada dalil mengenai suatu perkara dan itu lebih utama daripada qiyas. Ibnu Qayyim Al Jauziyah memberikan beberapa contoh, antara lain:
- Imam Asy Syafi’i utamakan hadits pengharaman berburu di lembah Wajj, sedangkan khabar itu dhaif, Imam Asy Syafi’i mendahulukannya daripada qiyas.
- Imam Asy Syafi’i utamakan hadits mengenai bolehnya shalat di waktu-waktu larangan di Makkah, sedangkan ia dhaif, dan ini lebih diutamakan daripada qiyas.
- Di salah satu diantara dua pendapatnya, Imam Asy Syafi’i utamakan khabar mengenai wudhu karena muntah, daripada qiyas. (lihat, I’lam Al Muwaqqi’in, 1/25)
Imam Ahmad bin Hanbal
Dalam teori dan praktiknya Imam Ahmad mengutamakan hadits dhaif, daripada qiyas. Dimana Al Khalal berkata,”Madzhabnya- yakni Imam Ahmad-, bahwa hadits dhaif jika tidak ada yang bertentangan dengannya, maka ia berpendapat dengannya dan berkata -mengenai kafarah jima’ saat haidh-, madhzabnya sesuai dengan hadits-hadits itu, meski muththarib dan tidak ada yang menyelisihinya maka ia berkata dengannya. (Syarh Al Kaukab Al Munir, 2/573)
Dikatakan kepada Imam Ahmad,”Apakah Anda mengambil hadits ‘kullu annas akfa’, sedangkan Anda mendhoifkannya?” Maka Imam Ahmad menjawab,”Sesungguhnya kami mendhaifkan isnadnya, namun menggunakannya untuk pijakan beramal.” (An Nukat ‘ala Ibni Ash Shalah, 2/313)
Imam Ahmad Gunakan Hadits Dhaif atau Hasan?
Telah disampaikan oleh Ibnu Qayyim bahwa Imam Ahmad menggunakan hadits mursal, yang merupakan khabar yang sanadnya terputus, juga hadits dhaif. Namun timbul persoalan dari perkataan Ibnu Al Qayyim menyatakan,” Dhaif bagi Ahmad adalah hasan bagi At Tirmidzi.” Jika demikian, maka hakikatnya Imam Ahmad sejatinya tidak mengambil hadits dhaif, namun hadits hasan.
Nah, di sini nampak tidak selarasnya pernyataan Ibnu Qayyim Al Jauziyah, karena setelah itu, ia menyebutkan ,”Dan tidak ada satu pun dari para Imam kecuali sepakat terhadap pijakan ini secara umum. Sesungguhnya tidak ada satu pun dari mereka kecuali mengutamakan hadits dhaif daripada qiyas.” (lihat, I’lam Al Muwaqqi’in, 1/25)
Artinya, ushul Imam Ahmad sejalan dengan para imam, yakni mengutamakan hadits dhaif daripada qiyas lalu Ibnu Al Qayyim memberikan contoh-contoh bahwa para imam menggunakan hadits dhaif dalam hukum, bukan hadits hasan!
Istilah Hasan Muncul Sebelum At Tirmidzi
Adanya ketidak selarasan pernyataan Ibnu Al Qayyim karena ia mengikut pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa dhaif menurut Ahmad, hasan menurut At Tirmidzi. Hal itu karena di masa Ahmad tidak ada istilah hasan dalam hadits, dan yang pertama memunculkan istilah ini adalah At Tirmidzi. (lihat, Al Qaidah fi At Tawassul wa Al Wasilah, hal. 82,83)
Jika demikian menurut Ibnu Taimiyah, para hufadz justru menyatakan bahwa istilah hasan bukanlah dari At Tirmidzi namun ada sejak ulama sebelumnya, termasuk dari Ahmad. Sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Shalah, bahwasannya istilah “hasan” didapati dari thabaqat sebelum At Tirmidzi seperti Al Bukhari dan Ahmad. (Al Muqaddimah, hal. 46)
Al Hafidz Al Iraqi juga menyatakan bahwa istilah hasan didapati dari para masyayikh di thabaqat sebelum At Tirmidzi, termasuk Asy Syafi’i. (At Taqyid wa Al Idhah, hal. 46)
Sedangkan Al Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Ali Ibnu Al Madini adalah ulama yang banyak menggunakan istilah “hasan” seakan-akan ia adalah ulama yang pertama kali memunculkannya. Dari Ali Ibnu Al Madini inilah Al Bukhari memperoleh istilah ini, dan dari Al Bukhari, At Tirmidzi memperoleh. (An Nukat, 1/ 428-430)
Dan dalam praktiknya sendiri, Imam Ahmad ketika menggunakan hadits sebagai hujjah yang dinilainya sebagai hadits dhaif, adalah hadits dhaif yang sesuai dengan istilah para huffadz lainnya, bukan hadits hasan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
No comments:
Post a Comment