Kuatkah Memegang Amanah dan Janji?

 

Betapa sahabat Anas bin Malik, selalu menceritakan, bahwa Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, setiap kali berkhotbah, pasti bersabda : “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji”.

Dalam khotbah yang pendek, namun penuh dengan makna, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, mengisyaratkan hal yang penting, yaitu tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.
Amanah itu dapat menyelamatkan manusia, nanti kelak dihadapan Rabbnya. Dengan sifat amanah yang dimiliki manusia, dapat pula menjauhkan dirinya dari segala bentuk kedurhakaan, dan mengarah kepada sifat melawan kekuasaan Allah Azza Wa Jalla. Orang yang memegang amanah, dan menunaikan amanah dapat melapangkan hidupnya, dunia dan diakhirat. Sifat amanah seseorang menunjukkan dirinya, memilliki keimanan yang kokoh, dan tidak berkhianat, kepada siapapun, termasuk terhadap Allah Ta’ala.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan kepada yang berhak menerimanya”. (al-Qur’an: an-Nisaa’ : 58).

“Empat hal, jika keempat-empatnya terdapat pada diri seseorang, berarti ia benar-benar murni seorang munafik. Sedangkan orang yang menyimpan salah satunya, berarti terdapat pada dirinya salah satu tanda orang munafik, sampai ia meninggalkannya. Jika diberi amanah ia berkhianat, jika bicara berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika bermusuhan ia keji”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Memenuhi janji merupakan syarat asasi bagi keberadaan iman dalam hati seorang hamba, sebagaimana disinggung dalam firman Allah Ta’ala :

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. (al-Qur’an : al-Mu’minun : 8).

Betapa dalam kehidupan ini, banyak orang yang memberikan dan mengumbar janji. Apalagi, janji hanya semata untuk kepentingan kehidupan di dunia. Janji yang hanya sebatas untuk mendapatkan kenikmatan kehidupan dunia. Janji yang hanya untuk kenikmatan sesaat, yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi manusia, ketika ia sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Apalagi, di zaman kini, orang-orang yang menjadikan dunia sebagai sebuah tujuan (keinginan), yang kemudian mendasari seluruh gerak hidupnya. Maka, perbuatan ini sudah masuk dalam kategori dosa, karena sudah banyak unsur pelanggaran aqidah dan keimanan. Tapi, mereka tidak menyadari kesalahan dan kesesatan yang mereka lakukan setiap hari.

 

Padahal, hakekatnya, janji yang dibuat manusia, banyak yang tidak dapat dilaksanakan, dan bahkan cenderung, janji itu hanya sekadar diucapkan, tapi tidak dilaksanakan. Apalagi, janji hanya untuk mengajak manusia lainnya agar tertarik kepada dirinya, taasub, dan menjadikan dirinya sebagai pilihan, menjadikan dirinya sebagai pemimpin, yang sejatinya, ia tak layak untuk dipilih dan memimpin.

Orang-orang pada berbondong memilihnya, memujinya, mengharapkan pertolongannya, dan menyerahkan segala urusan terhadap dirinya. Padhal, hakekatnya, ia makhluk lemah, sama sekali tidak layak dijadikan tempat bersandar, berharap, dimintai pertolongan, dan mengurus segala urusannya. Hanya orang-orang itu telah tertipu dengan janji, yang janji itu diucapkan dengan lisan atau melaluli wasilah lainnya, yang dapat mempengaruhi lebih banyak pendapat manusia.

Betapa manusia telah banyak yang terjerumus ke dalam perbuatan nifaq, yang sangat dibenci oleh Allah Azza Wa Jalla. Karena, mereka berjanji, tapi tidak pernah bisa mewujudkan janji itu. Bahkan, manusia banyak yang melupakan janjinya dengan Allah Azza Wa Jalla, janji untuk berbakti, janji beribadah, janji mentaati, janji melaksanakan aturan-aturan dan hukum-hukum-Nya.
Allah Ta’ala berfirman :

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah, apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). (al-Qur’an : An-Nahl :91).

Sa’id ibnul Musayyib rahimahullah, yang tidak memberikan pujian, kecuali sifat-sifat kemuliaan dan tidak mencintai kecuali amal shaleh dan kebajikan. Sa’id Ibnul Musayyib memberikan pujian kepada Zainal Abidin, cucu Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, dan dengan penuturannya : “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih wara’ selain dia!”. Tokoh, yang dipuji Sa’id ini, memang seorang hamba yang telah memiliki berbagai kemuliaan, yang tidak dapat digapai oleh orang-orang yang sebayanya.


Wahai kaum muslimin! Camkanlah, pernyataan orang yang telah memujinya, dan memberikan kesaksian atas kehidupan cucu Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, yaitu Zainal Abidin. “Ali Zainal Abidin bin Husien, karena kekerabatannya dengan Rasulullah Shallahu alaihi wa salam tidak pernah makan dengan uang senilai satu dirham”, ungkap orang yang bersaksi itu.

Zainal Abidin bersikap zuhud terhadap dunia. Ia menampik dunia dan tekun memperbaiki kehidupan akhiratnya. Bagaimana sikap Zainal Abidin dengan kehidupan dunia?

Suatu ketika, Mukhtar ibn Abu Ubaid memberinya uang seratus ribu. Dia tiak mau menerimanya. Tetapi, jika menolaknya, ia takut Mukhtar, mencelakakannya, karena ia seorng tiran yang bengis. Dan, ketika Mukhtar terbunuh dalam perang, Zainal Abidin memberitahu Khalifah Marwan bin Malik, agar mengambill uang pemberian Mukhtar, dan melalui utusannya itu uang yang diambil itu dikembalikan kepada Zainal Abidin oleh Khalifah Marwan bin Malik. Tapi, uang itu oleh Zainal Abidin diberikan kepada fakir miskin, sampai habis, tak bersisa.

Adakah orang-orang sekarang yang mengumbar janji itu, masih dapat dipercaya dan memenuhi janjinya dan bersikap amanah? Sebaliknya, adakah mereka hanyalah kumpulan orang-orang nifaq, yang sedang menipu umat. Wallahu ‘alam.

No comments: