Muraja’ah, Musik, Maksiat Sampai Hilangnya Hafalan Alquran

 Para santri tempo dahulu tekun mengaji dan menghapal Alquran. (ilustrasi)

Para santri tempo dahulu tekun mengaji dan menghapal Alquran. (ilustrasi)

Foto: pinterest.com
Mengahafal Alquran itu bukan pekerjaan iseng-iseng, tapi serius butuh konsentrasi.

Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller.

Video sekumpulan santri yang tengah mengantre vaksin ramai dibicarakan di media sosial. Video yang diunggah Politisi Diaz Hendropriyono tersebut memperlihatkan para santri yang menutup telinga saat mendengar musik yang diputar di ruang tunggu. 

Respons warganet membanjiri unggahan tersebut. Pasalnya, Diaz dinilai menyindir perilaku para santri. Beberapa warganet juga menilai pengunggah tidak menghormati para santri. [Republika, 14/9].

Banyak tokoh memberikan komentarnya atas peristiwa itu. Salah satunya Ketua PP Muhammadiyah, Prof DR Dadang Kahmad MSI, yang menyebut, “Seharusnya orang yang ingin berdemokrasi sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat.” 

Saya pun heran dengan viralnya kabar itu. Para santri itu berhak melakukan apapun saat menunggu antrean selama tidak mengganggu orang lain. Apa yang harus diributkan?

Menjadi penghafal Alqur’an bukan hal yang mudah. Seperti diungkap Said Akbar, Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al Azhar, Kairo.

“Seorang hafidz minimal melakukan muraja’ah (mengulang hafalannya) sehari satu juz. Ada yang bisa 3 juz per hari. Biasaya para Syaikh sehari mengulang bacaannya 3 juz. Ada yang bisa 5 juz, bahkan 10 juz,” terangnya.

Tanpa mengulang-ulang hafalan minimal 1 juz per hari, hampir bisa dipastikan hafalannya termasuk lemah, atau bahkan seakan belum pernah menghafalnya.

Di Maquraa yang diikutinya, setiap pagi ia harus setor hafalan minimal 1 juz, lalu setelah itu mengulang hafalan yang sama dengan teman-temannya sebanyak 5 kali.

MasyaAllah!

Menghafal Alqur’an membutuhkan tekad kuat. Apalagi di lembaga pendidikan prestisius seperti Universitas Al Azhar, Kairo.

Kalau setoran hafalan pertama ke Syaikh itu lemah, banyak salah, terjeda karena berpikir lama, tajwid tak sempurna, itu akan menyebabkan hafalan macet dan berakhir dengan hilangnya hafalan.

Salah satu penyebab sulitnya ayat-ayat itu terekam dalam memori adalah maksiat. Seperti yang dinasihatkan Imam Waki' bin Al Jarrah pada muridnya Imam Syafi’i saat mengeluhkan lemahnya hafalan. “Tinggalkan maksiat,” tegasnya.

Banyak melakukan hal sia-sia. Termasuk main games, mendengar musik, nonton film, atau melakukan kegiatan tak bermanfaat lainnya adalah penyebab rontoknya hafalan satu per satu.

Sejarah mencatat seorang tabi'in bernama Abdah bin ‘Abdurrahiim. Ia adalah penghafal Alqur’an sekaligus mujahid yang gagah berani di medan jihad.

Musibah datang dalam salah satu pengepungan benteng Romawi yang ditugaskan padanya. Ia terjebak pada pesona kecantikan seorang gadis Romawi, hingga membuatnya murtad meninggalkan agama Allah.

Setelah pasukan Muslimin memenangkan pertempuran, pemuda itu tertangkap dalam keadaan terluka parah menjelang ajal. 

Orang-orang pun bertanya, apa yang terjadi padanya dan bagaimana nasib hafalan Alqur’annya? Ia menjawab, “Tak ada satupun yang aku ingat kecuali ayat, ‘Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” [QS. Al Hijr: 2-3].

Kisah ini harusnya menjadi pengingat bagi kita semua. Sekali jatuh dalam kemaksiatan, maka seluruh hafalan akan hilang dan mati dalam penyesalan.

Rol

No comments: