Pendapat Imam Al-Gazali Tentang Musik, Haram?

Santri Tutup Telinga, Musik Haram? Begini Pendapat Imam Al-Gazali
Imam Ghazali mengingatkan para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani. (Ilustrasi/Ist)
Belakangan viral video yang memperlihatkan santri menutup telinga mereka saat divaksin. Mereka adalah santri Ma'had Tahfidz Quran. Banyak pihak yang mengkritik mereka dan bahkan menyebut mereka radikal. Kelakuan para santri ini dikaitkan dengan haramnya mendengarkan musik.

Budayawan, Sudjiwo Tedjo , berpendapat hak para santri untuk menutup telinga dan menyayangkan sikap mereka yang mengkritik radikal. Dalam akun Twitter Jack Separo Gendeng, Sudjiwo Tedjo memasang status:

"Jangan ngaku demokratis bila ketawa2 ngece melihat mereka yg menutup telinganya dari musik. Itu hak mereka. Hargai. Aku suka musik, dan hidup antara lain dari musik pula, tapi kubela hak siapa pun utk tak mau mendengarkan musik."

Di sisi lain Direktur Wahid Foundation yang juga putri KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Yenny Wahid , mencoba meluruskan. Dia bilang para santri ini adalah para penghafal Al-Quran.

Yenny dalam unggahan Instagramnya @yennywahid menuturkan, menghafal Al-Quran bukan perkara mudah. Dalam menghafal Al-Quran memang dibutuhkan suasana tenang dan hening agar lebih bisa fokus. Jika dikaitkan dengan video viral, tindakan menutup telinga tidak bisa disebut radikal karena para santri hanya ingin konsentrasi penuh dalam menghafal Al-Quran.

Jika mengacu status Yenny di Instagram tersebut, sikap santri yang menutup telinga tidak terkait haram dan halalnya musik, nyanyian atau seni suara. Hanya saja, Sudjiwo Tedjo menerjemahkan sebagai anti-musik. Nah, sesungguhnya bagaimana kedudukan seni musik dan seni suara dalam Islam?

Gema Dunia Keindahan
Imam Ghazali berpendapat hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya.

"Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh," tulis al-Ghazali dalam Buku Kimia Kebahagiaan , yang merupakan terjemahan dari buku aslinya berbahasa Inggris, The Alchemy of Happiness.

Imam Ghazali mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya.

Pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta yang bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah.

Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Urusan Cinta dan Makhluk
Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah.

Mereka berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jika ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk.

Musik dan tarian , menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan.

Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat , mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah.

"Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji," tutur Imam Ghazali.

Di pihak lain, lanjut Imam Ghazali, jika hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya.

"Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan," jelasnya.
Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis sahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:

Pada suatu hari raya , beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?"

Aku jawab, "Ya".

Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beliau berkata, "Belum cukupkah?"

Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:

Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya.

Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar, hari ini adalah hari raya."

Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halal. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di darah para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir.

Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud. Nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu."

Di pihak lain, Imam Ghazali menegaskan, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.

Membangkitkan Cinta
Imam Ghazali mengingatkan para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani.

Dalam keadaan ini, Imam Ghazali mengumpamakan, hati mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun.

Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani, sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.

Imam Ghazali mengatakan orang-orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalaman-pengalaman rohani para sufi, sebenarnya hanya mengakui kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan mereka saja.

Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena mempercayai hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang anak untuk mengerti kenikmatan melaksanakan pemerintahan.

Oleh karenanya seorang bijak, meskipun ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam al-Qur'an: "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'."
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: