Saudagar Palembang dan Lahirnya Gerakan Pembaharuan Islam di Bandung

 

A Hassan Guru Utama Persis
Abdullah Abubakar Batarfie

 BANDUNG

kota yang sudah dirancang sebagai “pemukiman baru” bagi kaum elit Eropa di masa Pemerintahan Hindia Belanda. Hingga saat ini kita masih dapat menjumpai sejumlah bangunan bergaya arsitektur Indo-Eropa yang memiliki kemiripan seperti kota-kota di Eropa.

Keunikan gaya arsitektur itulah yang membuat kota Bandung sempat mendapatkan predikat “The Most European City in The East Indies”. Jauh sebelumnya, sejak masih berada di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kota ini pun sudah mendapatkan julukan sebagai “Parijs van Java”.

Keindahan dan kelengkapan kota Bandung yang dirancang secara modern, membuat kota ini semakin ramai yang bukan saja dihuni oleh warga Eropa, tapi juga dari berbagai etnis lainnya, termasuk para saudager pribumi dari berbagai tempat di nusantara yang mencoba mencari penghidupan barunya.

Di Bandung kita dapat menjumpai Jalan ABC yang sudah ada sejak tahun 1892 dan dikenal dengan nama ABC Straat yang telah dipetakan dalam Map of Bandoeng: The Mountain City of Netherland India. Jalan ini merupakan tempat bermukimnya 3 etnis utama yaitu Arabieren (A), Boemipoetra (B) dan Chinezen (C). Oleh karenanya, kawasan ini diberi nama ABC. Jejak etnis Arab yang masih dapat kita jumpai di kawasan itu adalah Jalan Alkatiri dan Gang Al-Jabri.

Sekarang ini jumlah keturunan Arab sudah semakin banyak di Bandung yang berasal dari Cirebon, Kuningan, Purwakarta, Karawang, Bogor, Solo, Surabaya, Jakarta dan daerah lain di Indonesia. Umumnya mereka tinggal di kawasan Cikutra Baru dekat dengan Taman Makam Pahlawan yang sudah mulai menetap sejak tahun 80-an.

Masih di kawasan yang sama (jalan cikutra), kini berdiri gedung sekolah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang berdiri megah dan maju. Sekolah pavorit ini turut mewarnai dunia pendidikan Islam dan gerakan dakwah, sosial serta kegiatan kemasyarakatan Islam bercorak modern di kota Bandung.

KHM Anang Thajib, Saudagar Palembang di Bandung

Masih dekat dengan kawasan ABC Straat, Jalan Alkatiri dan Gang Al-Jabri, menyusuri jalan-jalan dan lorong yang lokasinya berada tidak jauh dari Masjid Agung Bandung atau di belakang Pasar Baru, kita akan menjumpai nama-nama jalan dan gang seperti JL Dulatip, Gg. Tamim, Jl Ence Aziz, Gg Durman, Gg Ingie, Gg Pahruroji dan lain sebagainya.

Saudagar kaya pribumi yang dulu tinggal dan berusaha di tempat tersebut, sejak masa Hindia Belanda sudah mulai berdatangan mengadu nasib yang datang dari berbagai daerah; Tasik, Garut, Cirebon, Banten, Pekalongan dan dari pulau Sumatera, khususnya Palembang. Usaha yang mereka rintis terutama adalah kain dan barang-barang kelontongan.

Lokasi tempat mereka berniaga adalah di Pasar Baru, yang sudah ada sejak tahun 1846, tapi mulai dibangun secara permanen pada tahun 1906. Oleh warga Bandung para pedagang itu disebut sebagai “Urang Pasar”.

Selain Haji Tamim, beberapa orang terkaya dari saudagar asal Palembang itu antaranya adalah KHM Anang Thajib. Menurut Dadan Wildan; Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Gema Syahid 1995, orang-orang Palembang itu telah lama menetap sebagai keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang dalam abad ke-18, ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain dalam hubungan kekerabatan melalui tali perkawinan.

Sebagai seorang pedagang sukses dan tajir, KHM Anang Thajib dikenal sebagai tuan tanah. Bahkan sesudah wafatnya, tanah-tanah miliknya yang tersebar di pusat kota Bandung tercatat hingga ratusan persil pada Balai Harta Peninggalan atau Weeskamer. Semasa beliau masih hidup, tidak sedikit ada yang telah beliau wakafkan bagi kepentingan sarana ibadah (masjid) dan lembaga pendidikan Islam (madrasah) dan Pesantren.

Meski berasal dari Bumi Sriwijaya Palembang, leluhurnya adalah berdarah Arab dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah, hal itu dapat ditelusuri dari nama lengkap beliau yaitu Kiagus Hadji Muhammad Anang Thajib, karena itu namanya sering disingkat menjadi KHM Anang Thajib. Nama Kiagus asalnya adalah KIBAGUS, singkatan dari Kiai Bagus gelar yang diberikan kepada seorang Ulama berdarah Arab yang berdakwah di kerajaan tersebut bernama Syaikh Abdurrahman bin Pangeran Fathullah yang menikah dengan salah seorang puteri dari keluarga Keraton Demak. Kelak istrinya itu digelari orang dengan sebutan NYAI AYU, disingkat NYIAYU dan di Palembang sering disebut dengan NYAYU.

KIBAGUS atau KIAGUS Abdurrahman memilih hijrah bersama anggota keluarganya ke Palembang di pertengahan abad ke-16 (± tahun 1547) pada masa perebutan kekuasaan dalam Kerajaan Demak. Dalam perpecahan itu banyak priyayi-priyayi tanah Jawa yang tidak ingin melibatkan diri pada perang Pajang tersebut termasuk Kibagus Abdurrahman, tapi Ia lebih memilih untuk hijrah ke tempat kelahiran leluhur mereka yaitu Raden Fatah di Palembang hingga wafatnya dan di makamkan dalam komplek Raja-Raja Palembang di kampung Satu Ilir.

Di Palembang sebagaimana leluhur mereka, Kiagus Abdurrahman tetap berdakwah dan berhasil meyebarkan ajaran Islam di wilayah Banyu Asin khususnya dilingkungan Marga Tanjung Lago, anak keturunannya sangat terkenal menyukai kegiataan ke-Agamaan dan menjadi DONATUR untuk menunjang dakwah Islam.

Kiagus Kyai Haji Muhammad Zamzam, Pendiri Persatuan Islam di Bandung

Di Bandung KHM Anang Thajib menikah dengan Nyayu Fatimah, keduanya masih bertali kerabat yang berasal dari Palembang. Dari catatan silsilah keluarga yang disusuan oleh Rd.H.Husein Syarief, pernikahan kedua kerabat “urang pasar” itu kemudian dikaruniai 10 orang anak yang terdiri dari 5 laki-laki dan 5 perempuan. Salah seorang puterinya yang bernama Nyayu Hamimah kelak dipersunting oleh KHM Zamzam (1894-1952).

KHM Zamzam orangnya berperawakan agak gemuk dan tidak terlalu tinggi, tapi wajahnya yang bersih sangat menarik untuk dipandang karena selalu tersenyum. (Pidato Muhammad Roem)

Sebagaimana halnya urang pasar lainnya, KHM Zamzam juga terjun dalam dunia usaha perdagangan dan berniaga di eks Pasar Ciguriang yang belakangan pada masa sebelum kemerdekaan dinamakan dengan Jalan Pangeran Soemedang. Di lokasi itulah didirikan Pasar Baru pada tahun 1906 yang oleh Pemerintah Belanda dinobatkan sebagai pasar terbersih di Hindia, dan menjadi urat nadi perekonomian para pedagang pribumi. Mereka tinggal disekitar pasar dan berinteraksi satu sama lain menjalin tali silaturahmi melalui paguyuban yang mereka bentuk lewat kenduri ‘Urang Pasar’, yang secara rutin dilaksanakan dari rumah ke rumah.

Roda perekonomian warisan dari tiga generasi saudagar pribumi di Bandung terus digelendingkan oleh penerusnya, bahkan semakin maju dan berkembang menjadi basis kekuatan baru umat Islam di tengah arus deras kaum pergerakan yang tengah menunjukan jati dirinya di hadapan penguasa penjajah. Mantan suami Ibu Inggit Garnasih “Hadji Sanoesi” yang juga seorang peniaga di Bandung dan aktif dalam Syarekat Islam disingkat S.I, adalah satu diantaranya. S.I merupakan ‘metamorfosa’ dari Syarekat Dagang Islam yang lahir sebagai reaksi terhadap rencana politik pengkristenan dari Gubernur Jenderal Idenburg serta menghadapi para pedagang Cina.

Masih disekitar Pasar Baru, dalam sebuah lorong sempit yang banyak dihuni oleh ‘Urang Pasar’ di Bandung, karena ada kantor Pegadaian dimuka Gang itu, orang-orang setempat lebih akrab melafalkan namanya menjadi Gang Pakgade. Di Gang Pakgade itulah KHM Zamzam setelah bermertuakan KHM Anang Thajib, bersama karibnya Haji Muhammad Yunus yang juga memiliki kesamaan asal usul, mengumpulkan kaum ‘Uang Pasar’ mengemas majelis ta’lim menjadi sebuah kenduri, para peserta yang hadir tentu merasa senang dan kerasan, karena selain mempererat tali ikatan silaturahmi satu zuriyat, juga ajang berbagi keluh kesah dalam perniagaan. Pun tak luput menikmati sajian masakan leluhur, resep warisan pusaka Palembang yang disukainya.

Masih menurut Dadan Wildan; Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Gema Syahid 1995: Meski asal usul dan paguyuban mereka bercirikan asal Sumatera, tidak kemudian mereka merasa sebagai orang-orang dari Palembang, tapi benar-benar sudah menjadi orang Sunda yang seutuhnya. Dalam pergaulan sehari-hari, percakapan mereka adalah bahasa Sunda.

Topik yang menjadi isu hangat dibicarakan dipengaruhi oleh rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu tengah tumbuh. Bagi mereka dengan latar belakang kehidupan agamis yang kuat, prinsip-prinsip ajaran Islam menjadi konsep pemersatu ketika harus berhadapan dengan pihak manapun, termasuk perjuangan melawan penguasa kolonial Belanda dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Merdeka.

Selain masalah-masalah tentang Agama, gerakan-gerakan keagamaan juga menjadi bahan pembicaraan. Pada pembahasan ini KHM Zamzam dan Haji Muhammad Yunus dipandang paling mumpuni dan menguasai topik bahasan, karena itu keduanya banyak memberikan materi serta pokok pikiran.

Kesempatan ini kemudian mereka manfaatkan untuk melempar ide dan gagasan Pembaharuan Islam, yaitu upaya pemurnian ajaran Islam dengan mengembalikannya kepada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam, menghidupkan semangat jihad dan ijtihad.

Dalam perkembangannya kemudian, kenduri itu pada akhirnya benar-benar berubah menjadi forum kajian ilmiah ‘Urang Pasar’ yang telah menjadi daya tarik orang-orang diluar komunitas warga “Paguyuban Karuhun Palembang”. Sedangkan KHM Zamzam (disebut dengan Haji Zamzam) dan Haji Muhammad Yunus tampil sebagai mentor dan “aktor intelektual” pada forum tersebut, karena keduanya dipandang memiliki latar belakang pengetahuan agama Islam yang cukup luas.

Haji Zamzam menghabiskan waktu selama tiga setengah tahun di Mekkah untuk memperdalam Agama Islam di Darul Ulum. Sekembalinya dari Mekkah Ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah Agama di Bandung yang mempunyai hubungan dengan Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad di Batavia (Jakarta). Sedangkan Haji Muhammad Yunus, yang memiliki latar belakang pendidikan Agama Islam secara tradisional tapi pandai berbahasa Arab. (Sumber; Dadan Wildan; Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Gema Syahid 1995)

Lahirnya Persatuan Islam (Persis)

Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus berhasil menjadikan kenduri ‘Urang Pasar’ menjadi sebuah forum diskusi dan kajian yang menggiring anggotanya untuk fokus dan mau menelaah, mengkaji serta menguji materi yang diterima. Topik pembahasannya pun semakin meluas antaranya mendiskusikan masalah-masalah agama yang dimuat dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang, majalah Al-Manar yang diterbitkan di Mesir, artikel dan fatwa-fatwa Syaikh Ahmad Surkati dalam majalah Azzachirah yang dikelola dan diterbitkannya di Batavia, hingga seputar polemik yang terjadi antara Al-Irsyad dan Jamiatul Kher, terutama isu Titel Sayyid dan fatwa Syaikh Ahmad Surkati tentang kafaah.

Seiring dengan ketertarikan orang-orang yang berminat dalam forum disukusi tersebut yang digagas oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, Syaikh Ahmad Surkati secara khusus dihadirkan dari Batavia sebagai nara sumber. Bahkan di kota Bandung ini pula, atas usaha Haji Zamzam, beliau untuk “pertama kalinya” sejak kedatangannya ke Indonesia (1911), menikah dengan Siti Jaenab Al-Makkawiyah.

Dari forum inilah kemudian lahir gagasan untuk melegalisasikan secara formal studi club menjadi sebuah gerakan dakwah yang ditujukan kepada pemahaman Islam yang murni yang bersumber pada keaslian ajarannya berdasarkan kitabullah dan Sunnah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam. Pada 12 September 1923 di Bandung, dengan dukungan sejumlah kalangan termasuk ‘Urang Pasar’, tidak terkecuali pula saudagar kaya yang terkemuka HM Anang Thajib, Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus mendeklarasikan berdirinya organisasi kemasyarakatan (ORMAS) Persatuan Islam disingkat PERSIS.

PERSIS kian mengemuka sejak bergabungnya A Hassan pada tahun 1926, sekaligus telah merubah secara totalitas pandangan pemahaman keagamaannya setelah Ia diperkenalkan gagasan ide pembaharuan Islam oleh Haji Zamzam dan pamannya Haji Muhammad Yunus. Di organisasi ini pula Ia dipertemukan dengan Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad, sosok yang dianggapnya ikut mempengaruhi dan memperkuat pandanganya. Masih di Gang Pakgade Bandung, A Hassan secara intensif mengikuti kajian Mukadimah Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid‎ yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Surkati.

Kitab Bidayatul Mujtahid adalah sebuah buku fikih yang membahas tentang fikih perbandingan madzhab. Buku ini ditulis oleh Ibnu Rusyd, dan dianggap sebagai buku yang terbaik dalam masalah penjelasan sebab-sebab perbedaan pendapat di antara para ulama dalam setiap permasalahan fikih.

Sejak bergabungnya A Hassan dengan PERSIS, dimana Ia sangat produktif menulis, berceramah dan berdebat, pada masa yang bersamaan, susana pergerakan kebangkitan nasional tengah bergejolak, termasuk hadirnya Jong Islamieten Bond atau JIB di kota Bandung, organisasi perhimpunan pemuda dan pelajar Islam di Hindia Belanda yang didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 di Batavia).

A Hassan menjadi daya tarik dan pemikat kaum pelajar Islam, termasuk antaranya Muhammad Natsir (1908-1903) yang bertemu dan banyak belajar kepada A Hassan, figur yang akhirnya menjadi tokoh central dan Guru Utama di Persatuan Islam. Masih dari Gang Pakgada Bandung inilah, Muhammad Natsir terpengaruh alam fikirannya dan terbentuk menjadi seorang pejuang, pemimpin bangsa dan tokoh besar Islam yang mendunia. Tokoh terpelajar lainnya yang bergabung bersama Persis ialah Muhammad Isa Anshary (1916-1969), dikenal sebagai “singa podium”, karena kepiawaiannya dalam berpidato dan kemampuannya dalam mempengaruhi massa.

Mr. Mohammad Roem, sahabat dekat M.Natsir baik semasa di jIB dan di masa-masa revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia, memberikan kesaksian bahwa Persatuan Islam bersama peran besar Haji Zamzam pendirinya sebagai seorang pedagang kaya, telah ikut membantu JIB dengan apa yang dimilikinya, baik berupa harta maupun pengetahuan tentang agama Islam. Dan A Hassan tampil sebagai mentor, yang berhasil menjadikan Natsir terbentuk dalam proses kaderisasi Persatuan Islam di bawah bimbingannya.

A Hassan dan Mohammad Natsir merupakan dua orang tokoh yang berjasa besar menghantarkan PERSIS kian dikenal dan diperhitungkan dalam konstelasi pergerakan dakwah Islam di Indonesia lewat kegiatan kaderisasi, publikasi (tabligh) dan media. Kedunya menjadi figur yang menjadi daya tarik orang, terutama aktivis muda Islam untuk bergabung dengan PERSIS.

A Hassan dan Mohammad Natsir, keduanya pun menjadi pencetus PERSIS membuka sekolah formal. Pada 4 Maret 1939 dengan menggunakan lahan pemberian dari KHM Anang Thajib di Jalan Pajagalan, dibuka untuk pertama kalinya Pondok Pesantren yang disebut dengan Pesantren Persatuan Islam yang didirikan, dipimpin dan diasuh sendiri oleh A Hasaan.

Tujuannya didirikan pesantren tersebut adalah untuk mencetak calon-calon da’i (mubaligh) yang mumpuni dalam berdakwah, mengajar serta menyebarkan dakwah memurnikan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kurikulum yang digunakan dalam pesantren ini menggunakan konsep dan metode yang perkenalkan oleh Syaikh Ahmad Surkati, yaitu menggabungkan atau memadukan Ilmu Pengetahuan Agama dan Umum sebagai satu kesatuan.

Sedangkan Muhammad Natsir mengagas pembukaan sebuah “Pesantren Kecil” yang diperuntukan khusus bagi anak-anak pra remaja. Dimulai dari tingkat usia dini atau yang sekarang kita kenal dengan istilah PAUD atau Taman Kanak-Kanak. Kegiatan pesantren ini berlangsung pada sore hari dipimpin dan diasuh oleh Syaikh Hasan bin Hamid Al-Anshary, ulama asal Sudan, sahabat dan teman sejawat sekaligus bapak mertua Syaikh Ahmad Surkati dari istri ketiganya Fatimah binti Hasan, setelah Ibu Jaenab Al-Makawiyah (istri pertama) dan Ibu Siti Wariyah (istri kedua) wafat.

Lokasi pesantren kecil itu berada tidak jauh dari Pasar Baru, bilangan tempat usaha dan pemukiman “Urang Pasar” di Jalan Pangeran Sumedang, diatas lahan milik KHM Anang Thajib.

Menurut keterangan Bapak Ahmad Mansyur Suryanegara, sejarawan dan penulis yang terkenal dengan karangan bukunya; Api Sejarah, di lokasi bekas pesantren kecil itu kini berdiri Gedung Bank Danamon yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Otto Iskandardinata. Selain Muhammad Natsir, para pengajar yang tercatat sebagai guru di pesntren kecil ini adalah Ustadz Muhammad Al-Anshary, putera Syaik Hasan Al-Anshary, dan Ustadz E. Abdurrahman.

Dalam perkembangannya kemudian, pada bulan Maret 1940, Pesantren Besar pindah ke kota Bangil di Jawa Timur, bersamaan dengan hijrahnya Ustadz A Hassan di kota itu. Kepindahannya itu selain diikuti oleh sebagian dari santri angkatan pertamanya di Bandung, juga turut diperbantukan sebagai pengajar KH Muhammad Ali Alhamidi, seorang ulama yang lahir dan besar dari kalangan tradisionalis Islam di Betawi tapi terbentuk menjadi pemikir dan pendakwah Islam yang modernis setelah bertemu, berguru dan bersahabat dengan Syaikh Ahmad Surkati.*

Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor

Rep: Admin Hidcom
Editor: Muhammad

No comments: