Syekh Surkati, Al-Irsyad dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

 UNTUK mengungkap sejauh mana keterlibatan Al-Irsyad dalam medan perjuangan kemerdekaan Indonesia, penulis awali dari sang pendirinya terlebih dahulu, yaitu: Syekh Ahmad Soorkati (1909-1941), kemudian baru lembaganya kemudian nanti disusul dengan murid-murid beliau.

Sebelum terlebih jauh membahas tema ini, saya nukilkan terlebih dahulu, kata-kata mengharukan yang pernah disampaikan langsung oleh Syekh Ahmad Surkati kepada Prof. Dr. Rasjidi, “Aku (Syekh Surkati), merasa telah bertahun-tahun berkecimpung memimpin Al-Irsyad di Indonesia. Bahwa tiap-tiap dzarrah (atom) dari badan saya telah berganti dengan unsur-unsur Indonesia. Aku akan tetap hidup di Indonesia sampai akhir hayatku.” (Hussein Badjerei, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, 1996 :64).

Bagi siapa saja yang meresapi kata-kata beliau dengan penuh ketulusan dan tanpa buruk sangka, maka akan dirasakan betapa cintanya beliau pada Indonesia. Ini sekaligus menunjukkan bahwa cinta tanah air, kebangsaan atau nasionalisme beliau tak perlu diragukan lagi.

Kalau pun ada pihak yang mencoba meragukan bahkan mementahkannya, maka meminjam istilah Babe Ridwan Saidi dalam “Islam dan Nasionalisme Indonesia” (1995: 25), maka tidak mengerti konteksnya. Sebab kebangsaan yang ditentang oleh Syekh Surkati, demikian pula A. Hassan adalah kebangsaan, nasionalisme yang berdasar Attaturkisme.

Pada Mu’tamar Islam pertama yang diadakan Syarekat Islam di Cirebon 1922, di tengah-tengah muktamar, berlangsung perdebatan menarik antara Syekh Surkati yang sebagai juru bahasa Sarekat Islam, berhadapan dengan Semaun yang kala itu mewakili Sarekat Islam Merah yang berhaluan komunis.

Waktu itu, tema debatnya adalah “Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka, dengan Islamismekah ataukah dengan Komunisme?” Perhatikan! Tema yang dibahas sudah mengenai kemerdekaan. Sebuah tema sangat hangat kala itu bagi para pejuang baik yang beragama Islam mapun yang lainnya.

Debat ini berlangsung dua jam, dan tidak ada titik temu, karena memang antara paham Islam dan komunis jelas bertentangan. Namun, Syekh Surkati meunjukkan kebesaran jiwanya sebagai pemimpin dengan komentar positif terkait Semaun. Katanya kepada Abdullah Badjerei, “Saya suka sekali kepada orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan!” Peristiwa ini menunjukkan bahwa sepuluh tahun setelah beliau di Indonesia (1911), sudah membincangkan isu-isu terkait kemerdekaan.

Kepedulian kepada kemerdekaan, dan menolong orang yang sedang berjuang mewujudkannya, ternyata bukan sekadar tataran wacana diskusi. Saat para pejuang diasingkan ke Digul, Syekh Surkati, sebagaimana penuturan Abdullah Badjerei, memperhatikan kebutuhan istri yang ditinggal mereka.

Untuk meralisasikan misi luhur ini, beliau menyuruh Abdullah badjeri memberi sekarung beras melalui pintu belakang mengetuk rumah masing-masing. Menariknya, beliau berpesan agar jangan sampai tahu kalau bantuan itu dari Syekh Surkati. Sebuah gambaran luar biasa dari seorang ulama yang tidak ingin diketahui amal kebaikannya.

Dalam perjuangan membantu mereka yang kesusahan ditinggal suaminya lantaran dibuang ke Digul, Syekh Surkati menghadapi ujian juga. Beliau sampai difitnah. Hal yang sudah biasa dialami oleh para pejuang. Untuk merealisasikan tujuan ini Syekh Surkati sangatlah serius. Beliau mengumpulkan data tentang para pejuang bangsa yang dibuang ke Digul melalui para murid dan sahabatnya.

Di antara yang memberi data kepada beliau adalah Mas Marco Kartodikromo. Seorang tokoh Sarekat Islam yang masyhur dengan pernyataannya, “Seorang Nasionalis baru bisa dianggap tulen kalau ia telah memperoleh sertifikat dari sipir bui!” Ini menunjukkan fakta penting betapa eratnya hubungan Syekh Surkati dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan kala itu.

Lebih dari itu, kisah tersebut menggambarkan betapa perjuangan Syekh Surkati ketika di Indonesia, segmennya bukan saja dakwah dan mengajar, tapi turut aktif dalam mendukung cita-cita luhur kemerdekaan baik melalui diskusi atau dengan aksi nyata. Tidak berlebihan jika Soekarno menyebut Syekh Sorkati sebagai pelopor gerakan pembaharuan Indonesia yang mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonsia. Soekarno sendiri dikenalkan dengan Syekh Surkati melalui surat-surat dari Endeh. Di antaranya, Soekarna minta dikirimi buku tentang Sayid (Surat-Surat Islam dari Endeh, Penerbit Persatuan Islam Bangil, IV/1956: 1)

Adapun keterlibatan lembaga dalam perjuangan bisa dilihat dari keseriusan Syekh Surkati dalam mengkader murid-murid yang bukan saja memahami agama tapi juga pejuang. Dalam Majalah Kiblat No. 3 XXIII (1975), ada tajuk menarik yang berjudul “Lebih Setengah Abad Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah”. Perguruan Islam Al-Irsyad didirikan Syekh Surkati pada tahun 1913. Lokasinya berpindah-pindah tempat. Awalnya di Petamburan Jakarta, pernah juga di Lawang hingga akhirnya ke Jakarta kembali.

Dalam madrasah ini, yang diajarkan bukan saja ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu umum. Sesuatu yang kala itu masih dianggap tabu oleh sebagian ulama. Di dalamnya, selain pemurnian tauhid, juga diajarkan kebebasan berpikit, cinta kepada saudara, bangsa dan tanah air.

Dari tangan dingin beliau, yang dibantu oleh beberapa sadara dan ulama seperti, Syekh Muhammad Noor El Anshary, Syekh Muhammad Al-‘Akib El Anshary, Syekh Muhammad El Hasyim, Sayid Muhamamd Al-Attas dan lain-lain, lahirla kader-kader terbaik dari rahim Al-Irsyad.

Sebagai contoh, bukan bermaksud membatasi, di antara murid Syekh Surkati yang turut memainkan peran penting bagi bangsa dan negara adalah Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir yang pernah menjadi anggota BPUPKI, anggota Konstituante; Yunus Anis, Kepala Pusroh Angkatan darat; Prof. Rasjdidi, yang turut serta berjuang dalam misi pengakuan kemerdekaan Indonesia di luar negeri; Kolonel Iskandar Idris mantan Kepala Pusrah Angkatan Darat; H. Moh. Salaeh Suady yang turut berjuang mendesak Soekarno-Hatta dalam memproklamirkan kemerdekaan; AR. Baswedan yang kemudian dikenal dengan perjuangannya melalui PAI; H. Said Hilabi aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan perjuangan Islam di Pemalang dan lain sebagainya.

Banyak pula murid informal beliau yang merupakan pemuka Islam dan sahabat erat. Di antara contohnya seperti: A. Hassan, KH. Mas Mansur, H. Fachruddin, KH. Abdul Halim, M. Natsir dan lain seabagainya yang mana peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan juga cukup penting.

Sepanjang hidupnya, melalui wadah Al-Irsyad, Syekh Surkati berjuang sungguh-sungguh. Usaha tidak mengkhianati hasil, atas izin Allah.

Baliau terus berjuang, tidak takut akan celaan manusia dan berbagai fitnah. Meminjam sajak gubahan A. R. Baswedan, sang murid:

Bukankah selalu tuan katakan,

“Jangan langkah kau patahkan,

Oleh celaan dari khalayak,

Biarpun mereka terus menyalak

Jangan kafilah hendak berhenti,

Jangankan Kau, sedangkan Nabi

Utusan Allah dinista orang.”

(Abdul Rahman Baswedan Karya dan Pengabdiannya, 1989: 164)

Rahimahumullah rahmatan’ waasi’ah.*/ Mahmud B Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: