Wasiat KH. Hasyim Asy’ari: Perangilah Penghina Al-Qur’an
Pesan pendiri Nahdlatul Ulama:
“Pertahankanlah agama Islam, berusahalah sekuat tenaga memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan tunjukkanlah kebenaran kepada para pengikut kebatilan dan penganut akidah sesat. Ketahuilah, usaha keras memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib.”
(Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Mawa’idz, hal. 33 dalam kompilasi kitab Hasyim Asy’ari, Irsyadu al-Sariy fi Jam’i Mushannafati al-Syaikh Hasyim Asy’ari).
Dalam sebuah risalahnya yang berjudul Mawa’idz, KH. Hasyim Asy’ari menulis nasihat penting yang ditujukan kepada para ulama’. Pendiri Nahdhatul Ulama’ (NU) ini menyeru para ulama’ bersatu padu tidak terpecah-belah untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an dan Allah SWT, dan memerangi bentuk-bentuk kesesatan.
Ia menulis, “Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’(cabang agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Pertahankanlah agama Islam, berusahalah sekuat tenaga memerangi orang yang menghina al-Qur’an, menghina sifat Allah dan tunjukkanlah kebenaran kepada para pengikut kebatilan dan penganut akidah sesat. Ketahuilah, jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (Hasyim Asy’ari, Mawa’idz, hal. 33 dalam kompilasi kitab Hasyim Asy’ari, Irsyadu al-Sariy fi Jam’i Mushannafati al-Syaikh Hasyim Asy’ari).
Peringatan tentang pentingnya menjaga kesucian agama juga telah ditulis dalam kitab Muqaddimah Qonun al-Asasi li Jam’iyati Nahdhatil Ulama dan Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Dalam kitab Qonun al-Asasi, Syaikh Hasyim Asy’ari telah melihat terjadinya kerancuan dalam keyakinan kaum Muslimin pada zaman itu. Di antaranya, ada kaum yang membalik konsep al-haq (kebenaran), sehingga yang ma’ruf dianggap munkar, yang mungkar dianggap ma’ruf (Hasyim Asy’ari, Qonun al-Asasi li Jam’iyati Nahdhatil Ulama,hal. 24).
Hadratus Syekh Hasyim Asyari, pernah menceritakan tentang fenomena kesesatan pemikiran kaum Muslimin di pulau Jawa. Pada sekitar tahun 1330 H muncul ajaran-ajaran ‘asing’ dan tokoh-tokoh yang membawa pemikiran yang tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa waktu, yakni berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
KH. Hasyim Asy’ari juga mengkritik orang-orang yang menggunakan paradigma takfir (mengkafirkan orang yang menganut terhadap madzhab lain dalam bidang furuiyyah), penganut aliran kebatinan, kaum Syiah Rafidhah, pengikut tasawwuf menyimpang yang menganut pemikiran manunggaling kawulo gusti, dan kelompok Ibahiyyun (Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 10).
Ia berpendapat, aliran Syiah yang mencaci Shahabat Abu Bakar dan Umar adalah aliran yang dilarang untuk diikuti. Beliau mengutip penjelasan Imam Qadhi Iyadh tentang hadis orang yang mencela sahabat, bahwa ada larangan untuk shalat dan nikah dengan pencaci maki Shahabat tersebut. Karena mereka sesungguhnya menyakiti Rasulullah SAW (Risalah Ahlis Sunnah, hal. 11).
Peringatan itu ditujukan kepada kaum Muslimin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).
Sebagai ulama’ yang mendalami tasawwuf, Hasyim Asy’ari sangat jeli dan kritis mengamati penyimpangan di dalam praktik orang-orang tertentu. Kesalahan praktik itu di antaranya disebabkan adanya aliran-aliran ‘asing’ yang masuk ke dalam praktik tasawwuf dan kurangnya bekal ilmu para penganut thariqah.
Peringatan adanya jahlatul mutashawwifah (orang-orang bodoh yang mengaku bertasawwuf) disebutkan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Ciri-ciri mereka disebutkan menganut paham ibahiyyah (aliran menggugurkan kewajiban syariat untuk maqom tertentu), reinkarnasi, dan manunggaling kawulo (Syeikh Hasyim Asy’ari,Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 12).
Kewajiban syari’at bagai penganut tariqah sufi dan para sufi tetaplah wajib dijalankan, dimanapun, kapapun dan dalam keadaan apapun. Syaikh Hasyim Asy’ari menolak jika kewajiban syariat Nabi Muhammad itu terpakai untuk orang tertentu dan terbatas pada waktu tertentu. Orang yang meymakini gugurnya syariat pada orang dan waktu tertentu dikatakan sebagai orang yang mendustakan dan merendahkan al-Qur’an. Kelompok yang menggugurkan kewajiban syariah ini disebut kaum Ibahiyyah.
Dengan pemahaman ini, tidak ada perbedaan antara seorang murid (pengikut tariqah) dengan mursyid (pemimpin tariqah), antara wali dan yang bukan wali, seluruhnya menanggung kewajiban syari’at. Agama sama sekali tidak membedakan status masing-masing hamba untuk melaksanakan kewajiban. (Hasyim Asy’ari, al-Dhurar al-Muntatsirah fi Mas’il Istna ‘Asyarah, hal. 16).
Ia pernah berfatwa tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa syariat Nabi Muhammad SAW sudah tidak berlaku lagi dan al-Quran sudah tidak memiliki faidah sekarang ini. Menurutnya, Syariat Nabi Muhammad Saw masih tetap berlaku sampai nanti hari Kiamat, begitu pula al-Qur’an. Barangsiapa yang mengingkari maka Islamnya rusak/murtad. Begitu juga orang yang mengikuti pendapat orang tersebut kemudian membenarkannya keyakinan atau ucapan tadi” (Hasyim Asyari, al-Dhurar al-Muntasirah fi Masil Tis’a ‘Asyarah, hal. 15).
Begitu pula, menurut Hasyim Asy’ari, para ulama’ telah bersepakat tentang hukum kafir terhadap orang-orang yang merendahkan Allah. Di antaranya, yaitu orang-orang yang meyakini ke-Esa-an Allah namun ia juga berkeyakinan bahwa Allah itu tidak kekal, meyakini Allah memiliki anak, meyakini bahwa dalam menciptakan Allah memiliki pembantu, mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW, atau mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Kelompok-kelompok ini tidak diragukan kekufurannya (kafir bi la raybi).
Berkenaan dengan merasuknya kesesatan dalam kaum Muslimin seperti tersebut, Hasyim Asy’ari memperingatkan agar hati-hati dalam mencari ilmu. Ia menyatakan bahwa hendaklah kaum Muslimin berhati-hati jangan ceroboh mencari guru. Janganlah berguru kepada orang yang bukan ahlinya, ahli bid’ah, dan tidak tsiqah agamanya. Ia mengutip sebuah hadis dari Ibnu Sirrin: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah,hal. 17).
Penulis: Kholili Hasib (jk/inpasonline)
No comments:
Post a Comment