Belajar dari Syeikh Jamil Jaho dan A. Hassan: Lawan Pikiran dengan Pikiran, Bukan Cercaan!

A Hassan - Syeikh Muhammad Jamil Jaho
Adalah Syeikh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama dari PERTI (Persatuan Tarbiyatul Islamiyah) yang berpegang dengan paham kaum tua, lisan dan tulisannya sangat tajam kepada yang bersebrangan.

AKHIR-AKHIR ini, cukup banyak ditemui di berbagai media massa, seorang yang dikenal masyarakat sebagai dai yang sedang “naik daun”, namun isi ceramahnya banyak hujatan dan cercaan kepada ulama yang tak sepaham dengan dirinya. Masih mending jika itu berupa kritikan ilmiah, kebanyakan malah asumsi dan cercaan yang –katanya– didapat dari gurunya pula untuk menjatuhkan marwah ulama yang sedang dia kuliti di depan umum.

Hal-hal yang biasa dikritik misalnya otoritas ulama, sanad keilmuan, dan biasanya diadu dan dibanding-bandingkan dengan ulama-ulama terdahulu, kemudian mad’u (komunikan dakwah) diberi pilihan dilematis: Mau pilih Bukhari apa ulama Si Fulan? Mau pilih Imam Syafi’i atau ulama fulan? Tak jarang kadang menyebut masalah-masalah pribadi untuk menjatuhkan marwah ulama yang sedang dibahas itu.

Otoritas keilmuan, kapasitas keulamaan, sanad keilmuan dan semua yang terkait dengannya memang penting, tapi bukan untuk didewa-dewakan sehingga memasung akal sehat. Kalau dia mau adil sejak dalam pikiran, harusnya ketika mau mengkritik ulama yang tak sejalan dengan pikirannya, mestinya dikritik dengan elegan. Pikiran dibalas dengan pikiran; buku dibalas dengan buku; ide dibantah dengan ide. Kalau hanya cercaan, cemoohan, pendeskriditan, tampaknya lebih lebih pas jadi ahlul-gosip wal-ghibah.

***

Dalam buku “Ayahku” (1982: 296-297), Hamka pernah menceritakan kejadian yang mirip. Adalah Syeikh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama dari PERTI (Persatuan Tarbiyatul Islamiyah) yang berpegang dengan paham kaum tua, lisan dan tulisannya sangat tajam kepada yang bersebrangan. Waktu itu adalah kalangan kaum muda yang diidentikkan dengan kaum Wahabi.

Untuk mengetahui kritik beliau terhadap orang yang berpaham pembaharuan dan memberantas taklid, bisa dibaca dalam buku beliau yang berjudul “Tadzkiratul-Quluubi fii Muraaqabati ‘Allaamil-Ghuyuubi”. Buku ini dijadikan buku pedoman tentang akhlak dan tasawuf di sekolah-sekolah Perti.

Dalam kitab itu, dikemukakan bahwa tokoh pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha disebut sebagai kepala atau pemuka dari mujtahid-mujtahid bodoh. Untuk menguatkan pendapatnya, beliau menukil keterangan Syeikh Yusuf an-Nabhani dalam buku “Al-‘Uquudul Lu’lu’ah fil-Mada`ihin Nabawiyah”.

Di situ Jamaluddin Al-Afghani disebut sebagai sebusuk-busuk tukang agama. Pembuat bid’ah, menggampangkan agama, meminum minuman memabukkan dan lain-lain. Sedangkan Muhammad Abduh disebut suka berbuat mungkar, meminum minuman keras, bergaul bebas dengan yang bukan mahram, memakan bangkai bahkan meninggaklan shalat.

Adapun Syeikh Rasyid Ridha dituduh sebagai orang menolak hadits shahih, dan membolehkan orang Islam jadi kafir dan seterusnya. Parahnya, Syeikh Muhammad Jamil Jaho tidak mau mencari referensi lain yang lebih obyektif, malah menelan mentah-mentah keterangan Syeikh Yusuf an-Nabhani.

Padahal, Rasyid Ridha dalam buku yang berjudul “Tarikh Muhammad Abduh” jilid 1, menerangkan bahwa Syeikh Yusuf mendapat upah lumayan dari Chadev Abbas Hilmi Pasya, Raja Mesir, untuk menjatuhkan nama-nama ulama yang tidak mau ikut kepadanya. Jelas sekali jika apa yang dilakukan Syeikh Muhammad Jamil Jaho, terlalu gegabah dan tergesah-gesah, padahal, kemampuan bahasa Arabnya sangat baik menurut Buya Hamka.

Rupanya, yang diserang bukan hanya Syeikh Muhammad Abduh dkk. Ulama-ulama yang sepaham di Indonesia pun, juga mendapat serangan pula. Misalnya Tuan A. Hassan yang waktu itu ada di Bandung dan dikenal sebagai Hassan Bandung. Demikian teks Arabnya:

وفي زمننا وبلدنا هذه صارت الجريدة المنار وتفسير محمد عبده عمدة ومعتمدا في دينهم وفتواهم وكذلك جريدة فمبيلا إسلام مؤلفه حسن بندوغ هذه الثلاثة أسباب لتسهل الدين والفتوى لعوام الناس الذي ادعى انه مجتهد بمجرد قرائة ذلك والحال انه جاهل ضال ومضل. هذا من افات الدين فليحذر من اراد الآخرة احفظ دينك يحفظك الله.

“Dan dalam masa kita ini dan negeri kita ini sekarang surat kabar Al-Manar dan Tafsir Muhammad Abduh telah dijadikan pegangan dan alasan agamaa mereka dan fatwa mereka. Demikian juga suratkabar Pembela Islam yang dikarang oleh Hassan Bandung. Ketiga-tiganya inilah yang menjadi sebab orang memperingan-ringan agama dan berfatwa orang-orang awam yang mendakwakan dirinya mujtahid, hanya dengan semata-mata membaca itu saja; padahal mereka adalah jahil, bodoh, sesat, lagi menyesatkan. Ini semua adalah penyakit bagi agama. Hendaklah awas orang-orang yang ingin selamat di akhirat. Peliharalah agamamu supaya dipelihara pula kamu oleh Allah.” (Gambar versi Arabnya terlampir).

Dalam keterangan ini sangat jelas bahwa pengikut Abduh dengan Al-Manar-nya, termasuk juga A. Hassan dengan majalah Pembela Islam-nya dianggap meringankan ajaran agama, mengaku-ngaku mujtahid, padahal bodoh sesat dan menesakan. Sayangnya, Syeikh Jamil Jaho tidak menulis secara ilmiah mana pendapat yang dianggap sesat, nyeleneh dan menyesatkan baik dari Muhammad Abduh dkk dan A. Hassan.

Hassan orangnya sangat kuat memegang pendirian. Rupanya beliau tidak asal main cerca kepada orang yang tak sejalan dengannya. Kalaupun ada yang bersebrangan, biasanya beliau balas dengan tulisan ilmiah sebagai bantahan.

Bila perlu, orang yang tak setuju diajak debat terbuka dan beliau siap membiayainya. Beliau caranya dalam urusan kritik mengkritik.

Beliau tidak akan menyerang dengan kata kasar, kalau tidak diserang lebih dulu sebagaimana saat polemik dengan Soekarno dulu mengenai Islam dan kebangsaan. A. Hassan juga tidak fanatik kepada Syeikh Muhammad Abduh, tapi pendapat yang diambil hanya yang beliau lihat terkuat berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.

***

Kisah ini bisa dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya, khususnya yang “berprofesi” sebagai da’i. Anda boleh tidak setuju dengan pendapat ulama lain yang tak sejalan alias bersebrangan. Tapi, bantahlah karya dengan karya, ide dengan ide, gagasan dengan gagasan, bukan dengan menghimpun cercaan ulama lain untuk menyerang ulama yang tak dia setujui.

Ajaklah masyarakat komunikan dakwah untuk menjadi cerdas secara literasi, bukan menjadi jahil atau dungu literasi, asal terima penuh kebencian, sehingga bukan malah dekat dengan ilmu tapi malah fanatik pada figur bukan pada kebenaran itu sendiri.

Saya jadi teringat jawaban Hamka –sebagaimana yang dikisahkan Sastrawan Kawakan, Taufiq Ismail– pada tahunn 1969 saat ditanya setelah berceramah di Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, mengenai pelarangan buku Pramoedya Ananta Toer, maka dengan sangat bijak dan arif beliau berujar: “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula.” (dalam Mengenang 100 Tahun Hamka, 2008: 229, 230).*/MB. Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: Bambang S

No comments: