Benarkah Al-Ghazali Bertanggung Jawab Atas Kemunduran Sains Islam Abad Pertengahan? (2)

al-ghazali
Bagikan:

Sambungan artikel Pertama Benarkah Al-Ghazali Bertanggung Jawab Atas Kemunduran Sains Islam Abad Pertengahan?

ILMU pengetahuan terus berkembang hingga mempengaruhi munculnya revolusi ilmiah di Barat di mana ditemukan ada hubungan kuat antara Copernicus di abad ke-16 dengan Astronom Muslim di abad ke-13 dan 14. Saliba menyadari penemuannya itu akan membuat shock para komunitas ilmuwan yang tidak menghendaki adanya transfer ilmu pengetahuan dari peradaban Islam ke Barat setelah periode al-Ghazali.

Kekeliruan Atas Dasar Tuduhan: Jawaban Cemil Akdogan

Profesor Sejarah Sains di ISTAC-IIUM Cemil Akdogan selain menepis tuduhan terhadap Al-Ghazali sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kemunduran sains Islam, juga membela al-Ghazali dengan menyajikan fakta bahwa justru Al-Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi metafisika un­tuk sains modern.

Cemil menambahkan, alih-alih menghambat perkembang­an sains, al-Ghazali adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu dan akhir abad ke- 12 hingga abad ke- 17.

Dengan demiki­an, ia mensimbolisasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance, dalam cara yang paling baik dan, alih-alih mengikuti otoritas filsafat, ia menyerang dan menghancurkan ide-ide “bid’ah” Aristoteles dan Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu dan tahun 1092 hingga 1095. (Cemil Akdogan dalam Asal-Usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim, Jurnal Islamia, Jakarta: Insists Press, 2005).

Maka, tidak jauh berbeda dengan Saliba, Cemil mengungkap ada tiga hal mengapa mereka keliru menempatkan sosok al-Ghazali sebagai orang yang bertanggung jawab atas mundurnya sains di dunia Islam.

Yang pertama, sebuah pertanyaan mengemuka bagaimana mungkin Al-Ghazali, seorang pemikir religius yang tanpa kuasa politik, mampu menghentikan perkembangan sains hanya oleh dirinya sendiri?

Kedua, bagaimana menjelaskan fenomena makin atau masih maraknya penemuan dan aktivitas sains setelah wafatnya al-Ghazali?

Dan ketiga, Cemil menjelaskan bahwa Al-Ghazali sendiri tidak pernah menyerang sains, tetapi metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.

Menghentikan perkembangan ilmu pengetahuan dan sains dalam sebuah dunia yang luas, yang membentang dari Andalusia hingga di Asia Tenggara –seorang diri, tanpa kekuatan politik dan ekonomi, sungguh sesuatu yang mustahil. Apalagi dilakukan di sela-sela pekerjaannya yang cukup sibuk sebagai dosen dan birokrat. Maka, menempatkan al-Ghazali sebagai orang yang menyebabkan sains mundur di dunia Islam tidak tepat, apalagi dikatakan al-Ghazali membunuh sains, sungguh sebuah pernyataan yang berlebihan.

Alasan yang tidak dapat ditolak (apabila alasan pertama ingin diperdebatkan) adalah kenyataan bahwa setelah al-Ghazali sains tidak surut tapi justru malah berkembang. Kalau dikatakan al-Ghazali menyebabkan sains Islam mundur tentu bertentangan dengan kenyataan. Setelah al-Ghazali, sains dalam Islam terus berkembang, terutamanya dalam aritmetika dan astronomi.

Misalnya, se­kitar dua puluh astronom bekerja sama dalam observatorium Maragha di Timur pada abad ke- 13 dan mengumpulkan data selama dua puluh tahun. Sejauh yang kita ketahui inilah observatorium terorgani­sir yang pertama yang di dalamnya terkons­truksi instrumen-instrumen dan juga per­pustakaan.

Walaupun mereka bekerja di dalam kerangka astronomi Ptolemaik, mereka juga melakukan kritik terhadap­nya. Itulah mengapa kepala observatori­urn ini, Nashir al-Din al-Thusi dan murid­nya, Qutb al-Din al-Shirazi bekerja sama membangun model yang lebih konserva­tif dalam menerima gerak seragam (uniform motion) ketimbang sistem Ptolemaik.

Be­lakangan, dalam sistem Copernican, kita juga menemukan sikap konservatif yang sama. Pada abad keempat belas Ibn al­-Shathir, seorang astronom Damaskus, menyempurnakan model al-Thusi dan al-Shirazi dengan mengembangkan model-model planet yang non-Ptolemaik dan teori lu­nar (bulan).

Bahkan, baik Saliba maupun Cemil dan juga ilmuwan muslim lain seperti Sevin Tekeli mencoba menemukan koneksi dan hubungan antara dasar-dasar sains Islam (terutama astronomi) yang kemudian dipakai Barat untuk menyusun teori sainsnya hingga akhirnya muncul revolusi ilmiah.

Dan apabila kita membaca Tahafut al-Falasifah dan buku-buku lain karya al-Ghazali, sebagai alasan ketiga, tidak ditemukan ungkapan bahwa al-Ghazali menolak sains. Yang akan kita dapat justru al-Ghazali mendukung sains empiris dan tidak berminat untuk menyelisihinya.

Perhatikan pernyataan al-Ghazali sebagaimana dikutip Cemil melalui Watt dalam Jurnal Islamia: Ilmu Matematika me­liputi aritmetika, geometri dan as­tronomi. Tidak ada dan hasil-hasilnya yang berhubungan dengan masalah-­masalah agama, baik yang menolak atau­pun yang menegaskannya.

Ilmu ini adalah masalah-masalah demonstrasi yang tidak mungkin ditolak jika ilmu ini dipahami dan dikuasai. Ilmu Logika, tidak ada dalam ilmu logika yang relevan dengan agama baik dengan cara penolakan ataupun penegasan terhadapnya.

Ilmu Alam atau Fisika merupakan investigasi bola langit dan ben­da-benda langit, dan tentang apa yang di bawah langit, baik benda-benda sederha­na seperti air, udara, bumi, api, ataupun benda-benda komposit seperti binatang, tumbuhan dan mineral, dan juga tentang sebab-sebab perubahan, transformasi dan kombinasi-kombinasinya. Ini sama dengan investigasi yang dilakukan obat atas tubuh manusia dengan organ-organ utama dan subordinatnya, dan tentang sebab-sebab perubahan temperamen. Seperti halnya tidaklah tepat agama menolak ilmu kedok­teran, begitu pula terhadap ilmu alam. (Bisa dilihat di Montgomery Watt, The Faith and Practise of al-Ghazali, Oxford-England: One-World Publication, 1994).

Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa fenomena –sebagai contoh, gerhana bulan dan gerhana matahari, di mana ada perubahan posisi antara bulan, bumi dan matahari tidak ada kaitannya dengan agama dan tidak bertentangan mempelajarinya. “Kita tidak tertarik untuk menolak teori seperti itu karena penolakan itu tidak mempunyai tujuan apa-apa. Orang yang berpikir bahwa tidak mempercayai hal-hal itu (sains) sebagai bentuk kewajiban agama telah bertindak tidak adil terhadap agama dan melemahkan fondasinya.”

Iapun memperingatkan kaum muslimin untuk tidak menyerang sains. Bahkan iapun mengatakan, “Pernyataan Anda itu (bahwa sains bertentangan dengan agama) akan mengguncangkan keimanan pada agama. Perusakan pada agama yang dilakukan oleh ‘penolong agama’ yang tidak metodologis adalah lebih besar daripada oleh musuh yang betapa sengitnya tetap sesuai aturan. Karena seperti yang disebutkan oleh peribahasa, musuh yang bijak lebih baik daripada teman yang bodoh. (Aduwun aqli khairun min shadiqin jahil).”

Jadi, sekali lagi al-Ghazali tidak mengkritik sains namun mengkritik pendapat para filosof. Justru kritikan al-Ghazali terhadap filosof itulah dalam kitab Tahafut yang merupakan bangunan dasar filsafat mekanika, yang kelak diadopsi oleh David Hume dan dijadikan landasan kebangkitan sains di Barat.

Mengenai usaha al-Ghazali dalam mengkritik kaum filosof dia katakan, “Saya menyadari bahwa untuk menolak suatu sistem sebelum memahami dan mempelajari kedalam­annya adalah tindakan membabi-buta. Oleh kare­na itu saya memulai dengan segala keseriusan untuk mendapatkan pengetahuan tentang filsafat dari buku-­buku, dengan kajian sendiri tanpa pertolongan dan seorang pembimbing. Demi tujuan ini saya menghabiskan waktu lu­ang saya setelah mengajar ilmu-ilmu agama dan penulisan, karena pada periode ini saya dibebani oleh tugas mengajar dan membimbing tiga ratus murid di Baghdad. Dengan bacaan saya sendiri selama waktu-waktu sibuk tersebut Tuhan telah membuat saya mengerti secara utuh ilmu-ilmu para filosof sela­ma kurang dari dua tahun. Sejak itu saya dengan bersungguh-sungguh terus melakukan refleksi sela­ma satu tahun tentang apa yang telah saya pahami, didiskusikan dalam pikiran saya secara terus me­nerus dan mengorek liku-liku kedalamannya, sampai saya pahami secara yakin dan pasti sejauh mana ia palsu dan memusingkan dan sejauh mana ia benar dan merupakan representasi dan realitas.” (Montgomery Watt, The Faith, hlm. 29-30).

Kemudian al-Ghazali merangkum seluruh kesalahan pendapat kaum filosof dalam kitab Tahafut dan menyimpulkannya dalam 20 poin. Tiga di antaranya harus dianggap kafir jika mempercayainya dan 17 lainnya termasuk bidah. Yang tiga pendapat itu adalah pendapat filosof tentang tidak adanya kebangkitan tubuh (fisik) atau hanya ruh saja, mengatakan Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang universal tapi tidak mengetahui yang partikular dan mengatakan bahwa alam ini kekal tanpa awal.

Menurut Cemil, untuk memasuki suatu periode baru seperti Renaissance dan kemudian untuk mencapai Revolusi llmiah, prasyarat per­tama adalah menghancurkan pegangan pada pendapat Aristoteles, yang al-Ghazali lakukan secara menakjubkan dalam Tahafut al-Falasi­fah-nya di penghujung abad ke- 11. Seper­ti akan kita lihat, dan tahun 1210 hingga 1277 dan juga pada masa Renaissance, Barat juga mencoba untuk menghancurkan otoritas Aristoteles.

Khususnya pada tahun 1277, orang-orang Barat pada hakikatnya mengulangi apa yang al-Ghazali telah ca­pai dengan Tahafut al-Falasifah, tetapi dalam cakupan yang lebih luas. Walaupun al­-Ghazali telah menolak dua puluh ide-ide bidah Aristoteles yang didukung oleh Al-­Farabi dan Ibn Sina, orang-orang Barat baru menolak ide-ide Aristoteles, Ibn Rushd dan Thomas Aquinas sebelum me­masuki periode baru.

Dan sudut pandang progresif ala Kuhn, apa yang al-Ghazali capai sebetulnya adalah menghancurkan rintangan-rintangan yang menghalangi kemajuan sains dan teknologi dan mensuplai sains modem dengan fonda­si-fondasi metafisika baru, yaitu filsafat me­kanika. Kita tahu bahwa tanpa fondasi metafisika, sains tidak dapat berkembang. Itulah sebabnya mengapa pencapaian al­-Ghazali itu lebih dari fenomenal.

Pembahasan tentang peran al-Ghazali dalam mengembangkan sains Islam dan juga berkontribusi terhadap kebangkitan sains di dunia Barat sepatutnya mengilhami kaum muslimin di abad modern untuk melakukan kebangkitan di bidang sains Islam. Dengan kata lain, mengingat hegemoni sains abad modern ini berada di tangan peradaban Barat, umat Islam harus mengislamisasi sains modern melalui proses sebagaimana kaum muslimin awal di abad pertengahan melakukannya, di antaranya adalah al-Ghazali.

Kejayaan peradaban Islam dan kemajuan sains serta teknologinya yang banyak memberikan kontribusi pada peradaban Barat sekarang ini tidak banyak diketahui oleh umat Islam masa kini. Umat Islam jaman sekarang, di tengah keterpurukan di hadapan peradaban Barat, masih jarang yang belajar dan mempelajari kejayaan umat Islam terdahulu terutama di bidang sains.

Umat Islam sekarang bahkan amnesia bahwa dulu kita pernah berjaya hampir 1000 tahun lamanya. Seandainya umat Islam saat ini mengetahui, mempelajari dan mengembangkan sains sebagaimana umat terdahulu, kemajuan Islam akan segera dicapai daripada mengembangkan sains Barat, apalagi hanya melakukan imitasi saja.

Pelurusan sejarah abad pertengahan wabil khusus peran al-Ghazali dalam sains merupakan landasan bagi kebangkitan sains Islam di abad modern jika umat mengetahui dan memahaminya. Dengan landasan yang benar, proses Islamisasi sains Barat modern akan berjalan sesuai dengan rel-nya karena kita pernah melewati jalan yang sama.*

Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: