Ibn Barrajān dan Prediksi Penaklukkan Baitul Maqdis
Ibn Barrajān mendapat cobaan berat. Ia diinterogasi ulama Marakesh atas tuduhan bid’ah. Atas perintah Sultan All ibn Yusuf, jenazahnya dilemparkan ke pembuangan sampah tanpa disholatkan
Alwi Alatas
HAMPIR sebulan berlalu sejak bulan Safar 1443H. Sekitar delapan setengah abad yang lalu, ketika Ṣalāḥ al-Dīn al-Ayyūbī (w. 1193) (Panglima Shalahuddin Al Ayyubi) merebut kota Aleppo, tepatnya pada 18 Safar 579H (1183), Muhyī al-Dīn Ibn al-Zakī, ulama besar Madzhab Syafi’i yang berdomisili di Damaskus, membaca sepotong syair yang indah:
Pengambilalihan Kastil Kelabu [Aleppo] olehmu [Ṣalāḥ al-Dīn] di bulan Safar
Memaklumkan penaklukkan al-Quds (Yerusalem) di bulan Rajab
Ketika al-Quds benar-benar takluk oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada 27 Rajab 583 (1187) – empat tahun selepas penguasaan Aleppo – Ibn al-Zakī ditanya tentang bagaimana ia mengetahui bahwa al-Quds atau Baitul Maqdis (Sekarang Yerusalem) akan jatuh pada bulan Rajab. Ia menjawab bahwa ia mengetahuinya dari tafsir yang ditulis oleh Ibn Barrajān (w. 1141). Yang terakhir ini memang meramalkan bahwa Muslim akan mengalami kemenangan atas orang-orang Eropa di Syam (Suriah-Palestina) pada tahun 1187 (Ibn Khallikān, 1843: II/63).
Siapakah Ibn Barrajān? Tulisan kali ini akan membahas tentang tokoh yang satu ini, termasuk gagasannya tentang sejarah dan prediksi kemenangan Muslim di Syam.
Ibn Barrajān merupakan seorang ulama tasawuf asal Afrika Utara yang menetap dan mengajar di Seville, Andalusia, pada era Murabitun (al-Murābiṭūn/Almoravids). Nama lengkapnya adalah Abū al-Ḥakam ᶜAbd al-Salām ibn ᶜAbd al-Raḥman ibn Muḥammad (Abī al-Rijāl) ibn ᶜAbd al-Raḥman al-Lakhmī al-Ishbīlī (Faure, 1986, III/732). Tahun kelahiran Ibn Barrajān tidak diketahui secara pasti. Yousef Casewit (2014: 133) memperkirakan tokoh sufi ini lahir sekitar tahun 450/1058.
Referensi biografis tentang Ibn Barrajān sama sekali tidak muncul di dalam Kitab al-Ṣila fī Ta’rīkh A’immat al-Andalus wa ᶜUlamā’ihim karya Ibn Bashkuwāl (w. 1183), seorang ulama Andalusia yang lebih muda tetapi hidup sezaman dengan Ibn Barrajān. Kitab al-Ṣila merupakan kamus biografis penting yang memberikan informasi tentang para imam dan ulama di Andalusia pada era itu.
Tidak munculnya nama Ibn Barrajān di dalam kitab ini menimbulkan spekulasi para akademisi yang meneliti tentangnya. Ibn Bashkuwāl sudah hampir berumur 40 tahun saat Ibn Barrajān wafat. Penulis al-Ṣila ini bersimpati terhadap tasawuf dan menulis secara positif tentang Ibn al-ᶜArīf (Aḥmad ibn Muḥammad al-Ṣanhājī), ulama tasawuf yang memiliki hubungan dekat Ibn Barrajān. Beberapa murid Ibn Barrajān juga ada yang menjadi murid Ibn Bashkuwāl. Yang terakhir ini juga tidak berada dalam kekangan politik yang menghalanginya untuk menulis tentang tokoh sufi dari Seville itu (Casewit, 2014: 120-121).
Jose Bellver (2013: 661) mengutip pandangan sebagian akademisi yang menyarankan bahwa nama Ibn Barrajān tidak muncul dalam al-Ṣila karena ia tidak dianggap sebagai ulama penting yang layak disebut namanya di dalam kitab itu.
Namun, Casewit (2014: 121) menolak pandangan ini dalam disertasinya tentang Ibn Barrajān. Menurutnya, mungkin hal itu disebabkan Ibn Barrajān telah dituduh sebagai ahli bid’ah oleh sidang fuqaha di Marrakesh (Maroko). Atau mungkin juga karena Ibn Bashkuwāl secara pribadi tidak menyukai Ibn Barrajān.
Terlepas dari itu, beberapa ulama selepas Ibn Bashkuwāl mulai menulis tentang Ibn Barrajān pada era-era berikutnya. Sumber biografis awal yang penting tentang Ibn Barrajān ditulis kurang lebih satu abad kemudian, oleh Ibn al-Abbār (w. 628/1260). Kitab yang ditulisnya, al-Takmila li-Kitāb al-Ṣila, merupakan kelanjutan dari kitab karya Ibn Bashkuwāl.
Ibn al-Abbār (2011: 151-152) menyebutkan bahwa Ibn Barrajān menguasai ilmu qira’ah, ilmu hadits, ilmu kalam, serta tasawuf. Ia merupakan seorang ahli ma’rifah yang zuhud dan banyak beribadah. Ia belajar Sahih Bukhari kepada Ibn Manẓūr (w. 469/1077) dan beberapa ulama lainnya, serta memiliki beberapa murid yang meriwayatkan darinya.
Ibn Manẓūr yang juga berasal dari Seville merupakan seorang pelopor teologi Asy’ari di kawasan itu. Mungkin Ibn Barrajān juga mempelajari Sahih Muslim dan teologi Asy’ari kepada ulama dari keluarga Bani Manẓūr ini (Casewit, 2014: 139-140).
Di antara ulama terkenal yang sempat menghadiri kelas Ibn Barrajān adalah Abū al-Qāsim al-Qanṭarī (w. 561/1166), yang juga berguru kepada Ibn Bashkuwāl dan Abū Bakr ibn al-ᶜArabī. Al-Qanṭarī adalah seorang pakar hadits dan sejarawan dari Silves, Andalusia (kini wilayah Portugis). Beberapa murid Ibn Barrajān lainnya adalah pakar hadits Ibn al-Kharrāt (w. 581/1185), ulama Maliki Ibn Khalīl al-Qaysī (W. 570/1174), dan Ibn ᶜĪsā al-Anṣārī (w. 574/1178).
Ibn al-Kharrāt yang disebut di atas sempat berguru ke timur, antara lain pada Ibn ᶜAsākir (w. 571/1175) di Damaskus. Selain bidang hadits, ia juga menonjol dalam ilmu tasawuf, memiliki hubungan dekat dengan Syaikh Abū Madyan, dan dapat dianggap sebagai penghubung sufisme Andalusia dan Afrika Utara. Muḥyī al-Dīn Ibn ᶜArabī di usia mudanya sempat berguru kepada Ibn al-Kharrāt (Casewit, 2014: 152-157).
Dalam hal fikih, posisi Ibn Barrajān tidak mudah ditempatkan di dalam konstelasi madzhab yang ada. Sumber-sumber yang ada tidak memperkenalkannya sebagai seorang ulama Maliki, madzhab resmi di Andalusia ketika itu.
Ia cenderung berada di posisi yang berseberangan dengan para ulama Maliki, terutama yang dekat dengan kekusaan, walaupun ia tidak mengkritik mereka secara frontal.
Karya-karyanya memperlihatkan beberapa kecenderungan literalis, sebagaimana kalangan madzhab Zahiri yang berpegang pada makna luaran dari teks-teks al-Qurán dan Hadits – tulisan-tulisan Ibn Ḥazm, tokoh penting madzhab Zahiri, tersebar luas di Andalusia ketika itu. Bagaimanapun, bagian-bagian lain dari tulisannya menunjukkan perbedaan yang penting dengan kalangan Zahiri.
Ibn Barrajān menerima posisi penting fikih sebagai pemelihara hukum-hukum agama. Tetapi baginya posisi para ahli ma’rifah (ᶜārifūn) dan kaum sufi kontemplatif (muᶜtabirūn) lebih utama ketimbang para ulama fiqh yang fokus pada aspek eksoteris agama.
Saat menggunakan istilah “fiqh” di dalam tulisannya, ia seringkali tidak memaknainya secara teknis sebagai “ilmu fikih”, tetapi lebih kepada makna dasarnya yang lebih luas, yaitu “pemahaman” dan yang semisalnya (Casewit, 2012-2013: 115-120).
Penggunaan istilah “fiqh” dalam makna dasarnya yang non-teknikal mengingatkan kita pada kritik al-Ghazālī di dalam al-Iḥyā’ berkaitan dengan penyempitan makna “fiqh” yang melulu menjadi hukum Islam. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, hal ini merupakan suatu pergeseran semantik yang dapat berimplikasi pada korupsi pengetahuan (al-Attas, 2001: 5-6; al-Attas, 2018: 11). Sebagaimana al-Ghazālī, Ibn Barrajān juga tampaknya hendak memberikan penekanan terhadap makna asal dari istilah ini.
Menariknya, Ibn Barrajān sendiri dikenal luas sebagai “al-Ghazālī dari Andalusia”. Ia memang ulama sufi yang sezaman dengan Imam al-Ghazālī. Namun, sebenarnya karyanya tidak mendapat pengaruh dari al-Ghazālī dan beberapa aspek pemikirannya juga berbeda dengan al-Ghazālī. Ia lebih banyak dipengaruhi oleh Ibn Masarra al-Jabali, ulama tasawuf Andalusia dari generasi yang lebih awal, oleh Sahl al-Tustari, Abū Ṭālib al-Makkī, dan juga Ikhwān al-Ṣafā.
Rekan-rekan Ibn Barrajān yang lebih mudalah, seperti Ibn al-ᶜArīf, yang sebenarnya menerima pengaruh al-Ghazālī. Gelar di atas karenanya lebih berkaitan dengan kedudukan Ibn Barrajān sebagai tokoh sufi yang paling menonjol di kawasan Maghrib pada eranya, sekaligus juga tokoh yang dianggap memotori “perlawanan” terhadap dominasi fuqaha Maliki yang berafiliasi dengan pemerintah (Casewit, 2012-2013: 113-115).
Hubungan di antara para ulama tasawuf dan fuqaha Maliki di Andalusia memang semakin tidak harmonis di era kepemimpinan ᶜAlī ibn Yūsuf ibn Tāshfīn (w. 537/1143) yang memerintah sejak tahun 1106, terutama sejak pelarangan dan pembakaran kitab Iḥyā’ karya Imam al-Ghazālī di wilayah kekuasaan Murabitun.
Ibn Barrajān belakangan memilih untuk tinggal di kawasan pedesaan al-Jarafe, satu kawasan penghasil minyak zaitun yang penting di luar kota Seville, walaupun ia tetap mengajar pada waktu-waktu tertentu di Seville. Ia menjauhi pos-pos resmi keagamaan dan memilih kehidupan yang sederhana.
Mungkin ia melakukan hal ini di tahun 1096 saat berusia 40, usia yang dianggapnya ideal untuk kembali melakukan taubat, mengabdi sepenuhnya pada Tuhan, dan menjauhkan diri dari dunia (Casewit, 2012-2013: 120-121). Jika benar, ini menggambarkan satu fase formatif yang paralel dengan al-Ghazālī, yang melakukan uzlah kurang lebih pada tahun 1095.
Ibn Barrajān menganggap kesendirian (waḥda) dan ketidakterkenalan (khumūl) sebagai jalan yang efektif bagi mencapai kesejahteraan yang sejati, bagi mereka yang berorientasi pada Tuhan dan hari akhir. Gagasan ini juga berkaitan dengan sikap menjaga jarak dari penguasa (inqibāḍ ᶜan al-sulṭān); tentunya dalam konteks penguasa zalim.
Ia juga menekankan bahwa membaca tanda-tanda ketuhanan di alam semesta dengan pandangan yang kontemplatif dapat memberikan manfaat spiritual yang lebih besar dibandingkan dengan menyelami buku-buku bacaan. Ia memberi saran agar orang-orang memandang “ke langit, bumi, angin, tanaman, hewan-hewan, dan makhluk-makhluk lainnya … dan atas dasar itu fikirkanlah tentang realitas mereka di alam ghaib” (Casewit, 2012-2013: 122-123).
Merenungi tanda-tanda di alam memang merupakan sesuatu yang sangat disarankan di dalam al-Qur’an. Dunia ini di satu sisi sebenarnya merupakan distraksi yang dapat menghalangi seseorang dari mengenali Allah dan akhirat, tetapi pada saat yang sama ia juga mengandung tanda-tanda yang dapat direnungkan untuk mendekatkan seseorang kepada Allah (al-Attas, 1993: 41-42).
Kisah berikut mungkin bisa menjadi contoh sederhana dari apa yang baru disebutkan di atas. Dalam satu kesempatan, Ibn Barrajān baru saja selesai menguburkan jenazah seseorang di timur Seville dan berbincang dengan beberapa orang di tepi kompleks makam. Tiba-tiba seekor hewan tunggangan berjalan cepat ke arah makam tersebut dan mendekatkan kepalanya seperti mendengarkan sesuatu dari arah makam, kemudian kembali ke tempatnya merumput di dekat situ. Hewan itu mengulangi tindakannya beberapa kali.
Kejadian itu membuat Ibn Barrajān teringat akan siksa kubur. Ibn Barrajān menceritakan kisah ini berikut refleksinya kepada murid-muridnya saat ia sedang mengajar Sahih Muslim (Casewit, 2014: 337-338).
Bagaimanapun, pemahaman Ibn Barrajān tentang hal-hal yang berkaitan dengan ini dapat dikatakan jauh lebih kompleks, karena ia tidak melihat keberadaan alam yang kelihatan (ᶜālam al-shahāda) dan yang tidak kelihatan (al-ghayb) sebagai sesuatu yang terpisah dan antagonis. Kedua alam terhubung sangat erat satu dengan yang lainnya.
“Tuhan menyembunyikan kehidupan yang berikutnya di bawah naungan dunia ini,” terangnya. Karenanya, setiap realitas ukhrawi menemukan gemanya di dunia, dan setiap fenomena duniawi merupakan jendela ke akhirat (Casewit, 2014: 339).
Ibn Barrajān dapat dikatakan tidak pernah menyerang penguasa Murabitun dan para ulama pendukungnya secara tajam dan terbuka, apalagi sampai mengorganisir gerakan opisisi. Namun, ketika itu gerakan perlawanan Muwahidun (al-Muwaḥḥidūn/Almohads) – yang nantinya bakal menumbangkan kekuasaan Murabitun – semakin menguat dan mengancam di Afrika Utara, sebagaimana gerakan oposisi Murīdūn yang berbasis tasawuf juga sudah hampir pecah di selatan Andalusia.
Hal ini membuat tokoh-tokoh agama berpengaruh yang dianggap berseberangan dengan kekuasaan serta memiliki perbedaan epistemologis dengan para fuqaha Maliki yang bernaung di bawah Dinasti Murabitun dilihat sebagai ancaman yang serius terhadap kemapanan yang ada (Casewit, 2014: 170-171).
Maka pada tahun 536/1141, Ibn Barrajān dipanggil oleh Sultan ᶜAlī ibn Yūsuf ke Marakesh bersama dua tokoh lainnya, yaitu Ibn al-ᶜArīf (w. 536/1141) dari Almeria dan Abū Bakr Ibn al-Mayūrqī (w. 537/1142) dari Granada. Ibn al-Abbār (1989: 27-28) menyebutkan bahwa Ibn al-ᶜArīf dipanggil penguasa karena para fuqaha Maliki di Andalusia menentang madzhabnya dan mereka memperingatkan Sultan [ᶜAlī] terhadap tokoh ini. Singkatnya, ketiganya dipanggil untuk diinterogasi dan ditahan/dihukum.
Kisah-kisah tentang nasib akhir ketiga tokoh ini berbeda-beda, tetapi semua sumber sepakat bahwa ketiganya wafat tidak lama setelah pemanggilan itu.
Ibn al-Mayūrqī, yang merupakan ulama madzhab Zahiri, dikatakan meloloskan diri ke Bijaya (Aljazair) sesaat sebelum ditangkap. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa ia sempat ditangkap dan dihukum di Marakesh, sebelum kembali ke Andalusia dan kemudian ke Bijaya, tempat ia meninggal dunia pada tahun berikutnya (Casewit, 2014: 172).
Sikap Sultan ᶜAlī dikatakan berbalik menjadi hormat saat menerima Ibn al-ᶜArīf di Marakesh. Ia kemudian diizinkan kembali ke Almeria, tetapi meninggal dunia di perjalanan. Ada yang mengatakan ia wafat diracun oleh pihak yang mengadukan dirinya (Casewith, 2014, 172-173).
Ibn al-ᶜArīf merupakan tokoh sufi yang penting di Andalusia yang memiliki hubungan dekat dengan Ibn Barrajān dan mengakui keunggulan yang terakhir ini. Menurut Casewit (2014: 159), peranannya dalam penyebaran tasawuf Sunni yang moderat di wilayah barat dunia Islam dapat disandingkan dengan Imam al-Qushayrī (w. 465/1073) di timur dunia Islam.
Di antara ketiga tokoh di atas, Ibn Barrajān merupakan yang paling berat ujiannya. Ia menjadi satu-satunya yang diinterogasi oleh para ulama di Marakesh atas tuduhan bid’ah, yang berkaitan dengan beberapa penakwilan agama yang ia lakukan. Ia memberikan jawaban atas tuduhan tersebut, tetapi sidang ulama tetap menganggap dirinya sebagai pelaku bid’ah. Ia kemudian ditahan dan meninggal dunia di penjara tak lama setelah itu. Atas perintah Sultan, jenazahnya dilemparkan ke tempat pembuangan sampah di kota itu tanpa disholatkan.
Saat mendengar kabar tentang hal di atas, Ibn Ḥirzihim (w. 559/1163), ulama penting di kota itu, memerintahkan seseorang untuk mengumumkan kepada orang-orang di pasar-pasar dan jalan-jalan Marakesh untuk menghadiri solat jenazah bagi Ibn Barrajān yang disebutnya sebagai ulama yang faqih, zuhud, dan memiliki keutamaan (Casewit. 2014: 173-177; al-Tādilī, 1984: 170). Maka jenazah Ibn Barrajān pun disolatkan dan dimakamkan dengan baik selepas itu.
Ibn Ḥirzihim sendiri dahulunya sempat tidak menyukai kitab Iḥyā’ karya al-Ghazālī dan ingin membakarnya. Lalu ia bermimpi buruk, dicambuk karena sikapnya itu. Maka pandangannya terhadap Iḥyā’ berubah seratus delapan puluh derajat. Ia akhirnya menemukan jawaban atas kritiknya sebelum itu dan mendapati kitab itu sejalan dengan al-Qurán dan Sunnah (al-Tādilī, 1984: 169).
Ibn Barrajān memiliki pemahaman gerak sejarah yang siklik, berbasis pada apa yang disebutnya sebagai “siklus-siklus ketetapan” (dawā’ir al-taqdīr/cycles of decree) (Casewit, 2014: 424). Saat satu siklus berakhir, maka sejarah akan kembali pada keadaannya yang awal. Sebagaimana bergantinya siang dan malam, maka “akhir dari siklus mesti kembali kepada awalnya” (wa wujūb rujūᶜ awākhir al-dawā’ir ᶜalā awā’ilihā) (Ibn Barrajān, 2016: 558). Yousef Casewit (2014: 297) menjelaskan tentang gagasan ini:
“seluruh ciptaan menjalani “siklus ketetapan” Tuhan (dawāʾir al-taqdīr), karena semuanya berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Dalam siklus besar asal dan kembali ini, berbagai eksistensi termasuk wahyu, peristiwa sejarah, dan takdir manusia menjalani siklus kecilnya sendiri: agama datang dan pergi, kerajaan naik dan turun, dan manusia terombang-ambing antara suka dan duka.”
Perhitungan yang dibuat oleh Ibn Barrajān terkait kemenangan Muslim atas orang-orang Eropa – dan penaklukkan kembali Yerusalem – terlalu panjang dan tidak relevan untuk dijelaskan secara detil di sini. Ibn Barrajān membuat prediksi itu saat menafsirkan beberapa ayat awal dari Surat al-Rum, terutama dalam menafsirkan perkataan tahun-tahun yang sedikit” (bidᶜ sinīn; 3-9 tahun), dan ia melipatgandakannya dengan hitungan seribu bulan.
Prediksi kemenangan Muslim pada tahun 1187, menurut Yousef Casewit, memang ditulis oleh Ibn Barrajān di dalam kitab tafsirnya, bukan catatan tambahan orang lain yang mungkin dibuat belakangan, sebagaimana yang diragukan oleh Ibn Khallikan. Bagaimanapun, prediksi ini mengandung beberapa hal yang menarik untuk dicermati.
Pertama, prediksi oleh Ibn Barrajān itu bukanlah satu bentuk penyingkapan ghaib (kashaf). Tokoh sufi ini mengajukan prediksinya berdasarkan hitung-hitungan matematis tertentu, dan karenanya mendapat kritik dari sebagian ulama, termasuk dari Ibn ᶜArabī (Bellver, 2014: 267-268).
Kedua, Ibn Barrajān sebenarnya mengaitkan kemenangan Muslim pada tahun 1187 itu dengan kemunculan Imam Mahdi (Ibn Barrajān, 2016: 558; Casewit, 2014: 429-430). Penjelasannya memberikan implikasi bahwa kemenangan yang terjadi pada tahun 1187 itu akan melibatkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Imam Mahdi. Casewit (2014: 169-170) menjelaskan bahwa Ibn Barrajān memang mempercayai bahwa ia hidup di akhir zaman dan bahwa Imam Mahdi akan muncul di era itu.
Bagian ini tentu saja tidak akurat. Tidak ada yang menganggap Ṣhalaḥuddīn, pemimpin Muslim yang mengalahkan tentara salib di Perang Hattin pada tahun 1187, sebagai Imam Mahdi, walaupun tentu saja ia diakui sebagai seorang pemimpin yang adil dan soleh. Prediksi tentang masa depan memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipastikan, karena itu perlu disikapi dengan hati-hati, sebagai sebuah kemungkinan, bukan kepastian.
Terlepas dari hal di atas, tidak sedikit dari sumbangan pemikiran Ibn Barrajān yang diakui oleh ulama-ulama lainnya, baik di zamannya maupun di era-era setelahnya. Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 26 Rabiul Awwal 1443/2 November 2021
Penulis adalah staf pengajar International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2001. “Welcoming Address”. International Conference on al-Ghazali’s Legacy: Its Contemporary Relevance. The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Bellver, Jose. 2013. “”Al-Ghazālī of al-Andalus”: Ibn Barrajān, Mahdism, and the Emergence of Learned Sufism on the Iberian Peninsula.”Journal of the American Oriental Society, Vol. 133 No. 4.
Bellver, Jose. 2014. “Ibn Barrağān and Ibn ᶜArabī on the Prediction of the Capture of Jerusalem in 583/1187 by Saladin.” Arabica, Vol. 61.
Ibn Barrajān, Abū al-Ḥakam ᶜAbd al-Salām. 2016. A Qur’ān Commentary by Ibn Barrajān of Seville d. 536/1141: Īḍāḥ al-Ḥikma bi-Aḥkām al-ᶜIbra (Ed. Gerhard Böwering & Yousef Casewit). Leiden: Brill.
Casewit, Yousef. 2012-2013. “A Reconsideration of the Life and Works of Ibn Barrajān.” Al-Abhath Vol. 60-61.
Casewit, Yousef Alexander. 2014. The Forgotten Mystic: Ibn Barrajān (d. 536/1141) and the Andalusian Muᶜtabirūn. Disertasi: Yale University.
Faure, A. 1986. “Ibn Barradjān,” dalam B. Lewis et.al. Encyclopaedia of Islam, Vol. III. Leiden: E.J. Brill.
Ibn al-Abbār. 1989. Al-Muᶜjam fī Aṣḥāb al-Qāḍī al-Ṣadafī. Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣrī
Ibn al-Abbār. 2011. Al-Takmila li-Kitāb al-Ṣila, Vol. 3. Jamīᶜ al-Ḥuqūq al-Maḥfūẓa.
Ibn Khallikan. 1843. Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, Vol. II. Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.
Al-Tādilī, Abū Yaᶜqūb. 1984. Al-Tashawwuf ilā Rijāl al-Taṣawwuf. Jamīᶜ Ḥuqūq al-Ṭabᶜ Maḥfūẓa.
No comments:
Post a Comment