Jawaban Wahid Hasyim saat Hisbullah akan Ditugaskan Jepang
Mereka meminta agar otoritas Nippon segera membentuk tentara sukarela, bukan semacam wajib militer, yang bertujuan mempertahankan Pulau Jawa. Pemerintah pendudukan menerima usulan ini.
Maka, pada 3 Oktober 1943, terbentuklah Pembela Tanah Air (Peta). Peta diisi kebanyakan oleh kaum Islam nasionalis. Para komandan batalion (daidan-cho) diambil dari kalangan ulama.
Bagaimanapun, Jepang tidak begitu saja mentransfer pengetahuan tentang kemampuan manajerial kepada mereka. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan menjadi senjata makan tuan, yakni sewaktu-waktu tebersit ide untuk memberontak terhadap Nippon.
Sebaliknya, tempaan yang total diberikan kepada para prajurit Peta. Mereka dibina dengan pelatihan militer yang profesional. Pembinanya didatangkan dari militer Jepang langsung.
Beberapa bulan sesudah berdirinya Peta, timbul keinginan dari pihak pemerintah pendudukan untuk memobilisasi tenaga santri. Mereka hendak diarahkan untuk bergabung dengan Heiho. Berbeda dengan Peta, di Heiho, para pemuda Indonesia tidak pernah ada promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Beberapa penulis bahkan mengibaratkan Heiho layaknya pertahanan sipil (hansip).
Niat Jepang untuk memasukkan para santri ke dalam Heiho ditentang oleh tokoh kiai. Apalagi, pemerintah pendudukan kemudian mengutarakan maksud bahwa santri yang tergabung dalam Heiho nantinya akan dikirim ke Birma (Myanmar) dan pulau-pulau di Pasifik. Mereka akan diperbantukan di kamp-kamp militer Jepang di sana.
KH Abdul Wahid Hasyim, seorang tokoh Masyumi, menolak permintaan Jepang untuk mengirimkan para santri ke Heiho. Ada beberapa argumentasi yang disampaikannya.
Di antaranya bahwa bagi kaum santri, mempertahankan sejengkal tanah di dalam negeri akan lebih menggugah semangat daripada bertempur di luar negeri apa pun alasannya.
Selain itu, lanjut putra Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini, sebaiknya Nippon memanfaatkan para prajurit profesional, alih-alih kalangan santri yang justru boleh jadi akan merepotkan basis militer Jepang sendiri di tiap negeri taklukan.
Akhirnya, dia menyarankan pemerintah pendudukan untuk membentuk wadah baru agar dapat menampung kaum santri yang ingin menerima pelatihan militer. Adanya Peta dinilainya belum cukup karena kesatuan tersebut ditujukan untuk pemuda nasionalis, bukan kaum pesantren.
Usulan KH A Wahid Hasyim itu lantas diterima Jepang. Pada 4 Desember 1944, dibentuklah Laskar Hizbullah. Sebagai pendampingnya, didirikan pula Las kar Sabilillah yang diisi kalangan kiai. Demikian dikutip dari buku Kelompok Paramiliter NU (2004).
Pelatihan pertama untuk mereka diadakan pada 28 Februari 1945 di Cibarusah kini termasuk wilayah Kabupaten Bekasi. Para pelatih didatangkan dari militer Jepang. Seorang di antaranya adalah mualaf-tentara bernama Haji Suzuki.
Berbeda dengan prajurit Peta, anggota Laskar Hizbullah saat itu sama sekali tidak diperbolehkan membawa senjata api. Walaupun begitu, tetap saja keberadaannya memantik semangat para santri.
Melihat adanya nama kiai-kiai besar di balik organisasi itu, mereka berduyun-duyun mendaftar. Dan, tentunya spirit perjuangan membela Tanah Air mendorongnya untuk itu.
Setiap pesantren di Jawa dan Madura diimbau untuk mengirim lima orang utusan sebagai peserta pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah. Bila ditotal, proses tersebut diikuti sekitar 500 pemuda Islam, berusia antara 18 dan 20 tahun.
Mengapa Cibarusah yang dipilih dan bukan, umpamanya, Jombang dipilih sebagai lokasi pelatihan? Hal ini karena ada ketokohan KH Raden Ma'mun Nawawi atau yang akrab disapa Mama Cibogo.
Santri KH Hasyim Asy'ari itu memiliki pesantren di Cibogo, Cibarusah. Sosok yang bersahabat baik dengan KH A Wahid Hasyim tersebut ditugaskan langsung oleh Mbah Hasyim untuk melakukan pembinaan mental dan menempa spirit perjuangan para anggota Laskar Hizbullah. Lulusan pelatihan ini ditempatkan di berbagai wilayah di Jawa.
Kepada mereka, diwajibkan untuk membentuk cabang Hizbullah pada masing-masing daerah tempat tinggal. Semua anggota laskar tersebut tidak digaji pemerintah. Otoritas militer Jepang di Jakarta hanya memberikan subsidi. Masyumi pun mengeluarkan dana untuk pembentukan Laskar Hizbullah.
Maka keberlangsungan cabang-cabang laskar tersebut di berbagai daerah disokong dukungan para kiai, pesantren, dan muslimin. Sebagai contoh, KH A Wahid Hasyim yang turut membentuk banyak cabang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Beberapa bulan kemudian, peristiwa besar terjadi sekaligus menutup PD II: Pihak Sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kabar ini diterima para pemuda dan tokoh nasionalis. Akhirnya, pada 17 Agustus 1945 Sukarno dan M Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan Republik Indonesia.
No comments:
Post a Comment