Jejak Diponegoro di Museum Fatahillah (Bag.1)
Pagi itu, tanggal 2 Syawal, tanggalan Masehi menunjuk pada angka 28 Maret 1830. Sholat Subuh di mushola kecil Pesanggrahan Metesih berjalan seperti biasa. Usai sholat, diisi dengan wirid dan doa, serta wejangan singkat dari Diponegoro sendiri kepada para jamaah. Usai wejangan Diponegoro hendak keluar dari mushola namun dicegat oleh Panglima Muda Basah Gondokusumo.
“Maaf Kanjeng Pangeran, apakah tidak sebaiknya semua pengiring yang akan ke Wisma Residen pagi ini juga membawa serta senjata mereka? Saya punya firasat kurang enak…”
Diponegoro menepuk bahu salah seorang kepercayaannya itu dan tersenyum, “Aku rasa tidak perlu. Ini kunjungan biasa. Silaturahmi biasa saja. Cukuplah Allah sebagai penjaga kita semua. Bismillah… “
Panglima Muda Basah Gondokusumo sebenarnya ingin membantah, namun hal itu diurungkan karena tidak enak hati.
Setelah semua persiapan selesai di pagi hari itu, Diponegoro dan rombongan kecilnya mulai meninggalkan pesanggrahan menuju Wisma Karesidenan Kedu. Seribuan pasukannya diperintahkan untuk menunggu di pesanggrahan.
Pagi itu Diponegoro mengenakan pakaian yang biasa saja, jubah dan sorban putih seperti keseharian. Tidak ada tanda-tanda kebesaran yang dikenakan maupun yang dibawanya. Yang menyertai Diponegoro antara lain Pangeran Diponegoro II, Pangeran Djonet atau Raden Mas Djonet, dan Raden Mas Raib.
Empat orang panglima utamanya juga ikut yaitu: Basah Gondokusumo, Basah Mertonegoro, Basah Suryowinoto, dan Panglima Pasukan Kedu Utara, Basah Imam Musbah. Dua penasihat agamanya, yaitu Haji Ngiso dan Haji Badaruddin, serta dia punakawan setianya, Bantengwareng dan Joyosuroto, juga ikut.
Di sepanjang jalan, rakyat Magelang kembali menyambutnya. Demikian juga para serdadu Belanda yang berbaris rapi di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan tangannya. Semuanya tampak penuh suka cita dan kedamaian.
Di gerbang Wisma Residen Kedu, Diponegoro dan rombongan harus melewati barisan kehormatan serdadu Belanda yang mengapit di kedua sisi jalan. Jenderal De Kock, Kolonel Cochius, dan para pembesar lainnya berdiri menyambut di tangga Wisma. De Kock langsung mengajak Diponegoro memasuki ruang baca di mana telah ada empat buah kursi kayu jati menghadap meja persegi yang juga terbuat dari kayu jati. Sebuah kursi jati lagi berada agak di belakang.
“Silakan duduk Kanjeng Sultan,” ujar De Kock dengan ramah. Diponegoro saat itu memang tidak mau dipanggil lagi dengan sebutan ‘Pangeran Diponegoro’ karena gelar tersebut sudah dianugerahkan kepada salah satu anaknya, Diponegoro II, dan dia ingin disebut sebagai Sultan Ngabdulkamid.
Diponegoro alias Sultan Ngabdulkamid duduk di kursi yang menghadap lurus ke pintu utama. De Kock duduk dan tiga pendampingnya yaitu Residen Valck, Ajudan pribadi Mayor de Stuers, dan Kapten Roeps sebagai penterjemah juga duduk.[ Dalam versi sejarah Diponegoro tulisan Wardiman Djojonegoro (2019), yang duduk di ruangan itu selain Diponegoro dan De Kock adalah: Penerjemah militer Belanda untuk Bahasa Jawa Kapten Johan Jacob Roeps, lalu dua ajudan militer (Mayor De Stuers dan Letkol Roest. Residen Kedu Vlack tidak disebut disini. ]
Di luar, Basah Mertonegoro, Haji Isa, Haji Badaruddin, dan dua anak Diponegoro yang masih kecil duduk di ruang tengah. Sedangkan Basah Gondokusumo, Basah Suryowinoto, Basah Imam Musbah dan sejumlah adipati duduk di kursi luar.
Pembicaraan telah dimulai dengan basa-basi saling menanyakan kabar dan penyesalan mengapa peperangan harus terjadi.
Tiba-tiba De Kock berdiri, mohon izin ingin ingin ke toilet. Jenderal itu keluar ruangan menuju bagian belakang wisma. Di sebuah lorong yang sepi, De Kock mengetuk sebuah pintu perlahan dua kali. Pintu itu terbuka dan De Kock segera masuk. Di dalam, Mayor Michiels bersama sejumlah anak buahnya bersenjata lengkap memberi hormat dengan sikap sempurna.
“Laksanakan!” desis De Kock kepada Mayor Michiels. Setelah itu dia keluar ruangan lagi dan berjalan menuju kamar kecil.
Perwira Belanda berkepala botak itu bergerak cepat. Didampingi tiga pengawalnya, dia melompat ke kuda yang ditambatkan di bagian belakang wisma dan memacunya menuju lapangan yang berada dua ratusan meter jaraknya dari tempat pertemuan, di mana terdapat konsentrasi pasukan Infanteri dan hussar Belanda bersenjata lengkap dalam jumlah yang cukup banyak. Mereka langsung menuju pesanggrahan Metesih.
Di bawah komando Mayor Michiels, seluruh prajurit Diponegoro dilucuti. Kapten Michiels mengatakan jika hal itu atas seizin Pangeran Diponegoro. Ada sekira 1.400 laskar yang dilucuti. Setelah dari pesanggrahan Metesih, Michiels melanjutkan ke jalan besar dan ke depan Karesidenan di mana juga terdapat konsentrasi pasukan Diponegoro dalam jumlah yang jauh lebih kecil.
Ketika semua laskar sudah dilucuti senjatanya, Mayor Michiels melarikan kudanya ke depan pintu utama wisma di mana terdapat De Kock dan Diponegoro yang masih duduk mengobrol. Tiba di luar, Michiels meniup peluit.
Tidak ada yang mengetahui isyarat apa yang hendak disampaikan perwira Belanda itu kecuali Jenderal De Kock, Kolonel Cochius, dan segelintir perwira Belanda.
Tiba-tiba De Kock berkata kepada Diponegoro, “Sebaiknya Anda tidak kembali ke Metesih lagi. Tinggalah di sini bersama saya…”
Diponegoro dengan tenang menjawab, “Mengapa saya tidak boleh kembali? Apa yang harus saya kerjakan di sini? Saya datang dan hanya singgah sebentar di sini, semata-mata untuk kunjungan ramah tamah sebagaimana adat kami usai menunaikan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Sudah menjadi tradisi kami yang muda mengunjungi yang tua. Dalam hal ini Jenderal, Anda adalah pihak yang lebih tua, jadi saya mengunjungi Anda di sini…”
De Kock menjawab dengan suara meninggi, “Anda saya tahan di sini. Saya ingin semua persoalan di antara kita selesai hari ini juga!”
Diponegoro kaget. “Ada masalah apa dengan saya, Jenderal? Saya tidak punya masalah pribadi dengan Anda?”
De Kock kembali menjawab dengan tegas sehingga terjadi perdebatan yang cukup panjang. Diponegoro berusaha mengingatkan De Kock atas janjinya seperti yang diutarakan Kolonel Cleerens dalam pertemuan di Bagelen, jika Belanda ingin bertemu dalam suasana damai, bukan untuk menahan atau menangkapnya.
Tapi De Kock tidak mau lagi mendengar semua ucapan Diponegoro dan tetap pada keinginannya. Suasana berubah jadi gaduh. Hal itu membuat Diponegoro marah. Dalam posisi duduk, kedua tangannya mencengkeram erat sandaran tangan kursi, hingga tanpa terasa kuku jari tangan kanannya mampu mencungkil pegangan kayu jati yang teramat keras itu.[Bekas cungkilan kuku jari tangan kanan Diponegoro masih ada hingga sekarang di kursi asli yang disimpan di Museum Pengabdian Diponegoro di bekas Wisma Karesidenan Kedu, Magelang]
Dengan gagah Diponegoro bangkit dari kursinya. Dia berdiri menentang De Kock. Dengan kedua mata yang menyala dan telunjuk mengarah langsung kepada Jenderal De Kock, Diponegoro berkata lantang.
“Akulah pemimpin Jihad ini! Anda telah berlaku curang! Aku sama sekali tidak takut mati. Semua pertempuran telah aku lalui dan Allah telah melindungiku selama itu. Sekarang, sudah tidak ada lagi yang tersisa padaku selain kematian. Aku pantang menghindarinya. Bila aku mati, kembalikan jasadku ke Jimatan[Imogiri] agar bisa bersama dengan isteri [Raden Ayu Maduretno] saya!”
Ditatap seperti itu membuat De Kock gemetar. Keangkuhannya seketika luluh. Jenderal Belanda tersebut menundukkan wajahnya, tidak mampu menentang wajah Diponegoro yang terlihat begitu marah karena ditipunya. De Kock hanya bisa menjawab pelan.
“Sesungguhnya Paduka, saya sama sekali tidak berniat membunuh Anda…”
“Mengapa Anda takut berperang jika Anda memang lelaki sejati?”
De Kock tak sanggup lagi berlama-lama berdiri berhadapan dengan Diponegoro. Hatinya kecut. Dia lalu bergegas keluar ruangan dan memerintahkan Mayor Michiels dan Du Peron segera menyiapkan pasukannya. Suasana di luar menjadi tambah gaduh. Isak tangis kaum perempuan dan sebagian laskar terdengar. Mereka sedih melihat Pangeran Diponegoro ditipu mentah-mentah dan ditangkap.
Diponegoro kemudian duduk kembali di kursinya. Dia menengadah ke atas. Sungguh, jika dia mau maka dia bisa membunuh De Kock dengan sangat mudah saat itu. Tapi batin dan imannya menolak. Akhirnya Diponegoro merasa inilah waktunya dia harus tunduk pada suratan Illahi, takdir atas dirinya dari Allah subhana wa ta’ala.
Pangeran Diponegoro memilih tunduk pada takdir. Walau dia sangat marah pada De Kock yang telah menipunya habis-habisan dengan sangat licik dan hina, walau sungguh dia mampu membunuh Letnan Jenderal Belanda dan para cecunguknya dengan satu jentikan jari saja, namun hal itu tidak dilakukannya.
“Agamaku melarang umat-Nya untuk membunuh musuh di dalam perundingan. Agamaku memuliakan niat baik dan menjaganya, tidak mengkhianatinya. Jika orang-orang kafir itu berkhianat, biar saja. Aku sekarang telah ditangkap. Semua ini telah menjadi takdir hidup bagiku. Aku percaya, sangat percaya, jika semua ini suratan dari Allah Rabbul Izzati buatku. Aku sekarang akan mengikut kemana takdir ini akan membawaku…,” demikian batin Diponegoro.
Tubuhnya terguncang-guncang di dalam kereta yang dilarikan dengan cepat, demikian pula dengan tubuh Kapten Roeps dan Mayor De Stuers yang juga duduk mendampinginya. De Kock yang telah mempelajari tradisi dan budaya Jawa memerintahkan agar anak buahnya tidak mengikat tangan dan kaki Diponegoro. De Kock sangat yakin, seorang ksatria Jawa, seperti Pangeran Diponegoro tidak akan melarikan diri. Cukuplah dengan menempatkan dua perwira Belanda bersamanya di dalam kereta yang dikunci rapat dan dikawal ketat.
Walau hanya bisa melihat melalui celah jendela kereta yang kecil dan tertutup kain, Diponegoro tahu jika ratusan pasukan kavaleri ringan (hussar) bersenjata lengkap mengawal mereka. Derap kaki-kaki kuda terdengar begitu meriah, seolah meluapkan kegembiraan telah berhasil menangkap seorang pimpinan pemberontak yang teramat sulit ditundukan.
Walau telah menerima takdirnya tapi Diponegoro seorang manusia biasa. Berkali-kali bibirnya pelan bertanya pada dirinya sendiri, “Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa?”
Yang tidak diketahui Diponegoro dan seluruh pasukan Belanda yang mengawalnya, diam-diam sepasukan kecil berkuda mengikuti mereka dengan sangat hati-hati agar tidak diketahui siapapun. Mereka mengikuti namun tidak melewati jalan utama di mana kereta yang membawa Diponegoro dan lima ratusan pasukan kavaleri Belanda lewat, namun memilih melewati jalan setapak, menerabas pepohonan, dan menaiki perbukitan, sembari tetap mengawasi dari kejauhan. Pemimpin pasukan itu masih sangat muda. Usianya baru 15 tahun, namun sudah sangat mahir dalam mengendalikan kudanya. Pemuda tampan, pemberani, dan tangkas itu bernama Raden Djonet Dipomenggolo. Dia adalah anak sulung dari Pangeran Diponegoro. Ketika Puri Tegalredjo diserbu Belanda tahun 1825, Pangeran Djonet yang masih berusia 10 tahun ikut meloloskan diri, menyelamatkan diri ke gua Selarong, dan ikut dalam beberapa pertempuran.
Beberapa jam lalu, melihat ayah yang sangat dicintainya ditipu dan ditangkap Belanda, Pangeran Djonet tak mampu menahan airmatanya. Hatinya masygul. Marah, sedih, tak percaya, semuanya berbaur jadi satu. Dia sungguh tak percaya, di saat yang seperti itu ayahnya masih bisa tersenyum, walau getir dan setengah mengejek, kepada De Kock dan kafir Belanda yang lainnya.
“Jangan bersedih, Allah telah menuliskan takdirku seperti ini. Biarkan aku menjalani takdir seperti ini. Jangan sekali-kali menangisiku…,” demikian pesan Diponegoro.
Pangeran Djonet yang tadinya berdiri tepat di belakang ayahandanya, sedikit demi sedikit menyingkir dari kerumunan. Dia menyelinap keluar dan bergegas menuju satu tempat yang agak tersembunyi dimana beberapa anak buahnya telah siap menunggu apa pun yang akan diperintahkannya.
“Kita ikuti ayah!” ujarnya singkat.
“Siap, Kanjeng Pangeran!”
Pasukan yang tanpa memegang senjata itu pun segera bergerak mengikuti kuda yang ditunggangi Pangeran Djonet. Mereka termasuk laskar yang sangat setia pada Diponegoro. Bagi mereka, hidup di dunia tak ada artinya lagi tanpa kebersamaan dengan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Ketika kereta yang membawa Diponegoro telah bergerak menjauhi Karesidenan Kedu, dikawal sepasukan kavaleri Belanda bersenjata lengkap, Pangeran Djonet pun bergerak mengikutinya dari kejauhan.
“Mereka ke arah Ungaran!” ujar Mursyid, salah seorang laskar yang dikenal menguasai jalan-jalan tikus dan peta sambil terus mengendalikan kudanya.
“Ya, mungkin ke Benteng Ungaran [Fort De Ontmoeting (Willem II)]…,” jawab yang lain.
Mereka terus bergerak di perbukitan bagaikan pasukan siluman yang terus membayangi pasukan Belanda yang terus berjalan dengan cepat melintasi jalan utama di bawah. Keringat dan debu bercampur di wajah dan baju mereka, tapi sama sekali tidak mereka pedulikan. Para laskar itu cuma ingin membebaskan Pangeran Diponegoro dan mengembalikannya ke tengah rakyat Jawa.
Matahari telah tergelincir jauh ke arah barat, namun kereta yang membawa Diponegoro tidak juga berhenti. Demikian pula dengan pasukan siluman pimpinan Pangeran Djonet yang terus bergerak membayangi.
Akhirnya langit pun gelap, dan udara yang tadinya panas pun berubah menjadi sejuk, bahkan sesekali dingin. Untunglah malam itu langit cukup terang. Bulan menggantung tanpa sedikit pun terhalangi awan sehingga Pangeran Djonet dan pasukannya bisa melihat jalan dan terus memantau kereta ayahnya dari kejauhan.
Tiba di Ungaran ternyata kereta dan pasukan kavaleri Belanda hanya berhenti sebentar, memberi minum kuda dan sebagainya, lalu melanjutkan jalan, terus menuju utara.
“Mereka ke Semarang!” kata Pangeran Djonet yakin.
“Ya, sepertinya langsung ke Semarang…,” jawab yang lain.
Lewat tengah malam akhirnya tibalah pasukan kavaleri Belanda di gerbang Semarang. Sesuai dengan perintah yang diterima dari Batavia dimana Gubernur Van Den Bosch langsung yang mengeluarkannya, mereka tidak memenjarakan Diponegoro di penjara kota namun menitipkannya di rumah Karesidenan Semarang.(BERAMBUNG KE BAG.2)
No comments:
Post a Comment